Melihat gambaran umum di Indonesia, kalangan Mahasiswa selalu di anggap sebagai kaum Intelektual, berbeda dengan seseorang yang masih berstatus seorang pelajar SMA/sederajat. Tapi itu kemudian tidak menjadi pembenaran untuk selalu beranggapan demikian. Terbukti bahwa banyak juga Pelajar SMA lebih luas kapasitas keilmuannya di bandingkan Seseorang yang berstatus Mahasiswa yang terkadang “dangkal” dalam berfikir.
Saya
tidak kemudian mencoba membanding-bandingkan antara kedua klas generasi
tersebut. Tapi lebih kepada kembali mengintropeksi diri secara pribadi dan
saling mengingatkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan betapa bahayanya
budaya apatisme dan hedonis yang kini secara masif menggerogoti aktifitas
Mahasiswa.
Kembali
pada anggapan masyarakat luas bahwa mahasiswa selalu di anggap sebagai orang
yang lebih berpengetahuan di bandingkan pelajar SMA. Dan “anggaplah” memang
seperti itu. Sehingga kita bisa menilai bahwa kenyataannya banyak kemudian
kalangan mahasiswa yang masih berwatak pelajar atau siswa, ekstrimnya – mau pelajar
SMA atau Mahasiswa sama saja.
Apa
yang kemudian menjadi sebab sehingga membedakan seorang Mahasiswa dan Pelajar
SMA itu begitu sulit hari ini. Ternyata yang menjadi benang merahnya terdapat
di lingkungan mahasiswa (kampus) itu sendiri. Tradisi keseharian mahasiswa yang
bersipat aktivisme dan revolusioner tak lagi banyak di tunjukkan mahasiswa hari
ini. Tapi lebih kepada keapatisan mahasiswa yang kini terlihat. Pergulatan mahasiswa
secara individu maupun kelompok/organisasi menjadi hal urgen yang kemudian
termanifestasikan ke kehidupan mahasiswa itu sendiri. Di tambah lagi dengan
kesibukan akademisi yang tak mampu di manage atau berlebihan sehingga akses
aktifitas keluar kampus jadinya berkurang bahkan hilang sama sekali. Hal itu
bukan tidak mempunyai sebab juga, bahkan dari kurikulum, regulasi kampus bahkan
sistem ekonomi politik pun menjadi hal yang mampu mempengaruhi terkikisnya
budaya-budaya kritik pada diri mahasiswa.
Perlu
kita ketahui bahwa regulasi, kurikulum dan media bisa menjadi jalur hegemoni
terhadap kehidupan mahasiswa yang pada hakikinya lebih membawa
orientasi-orientasi keapatisan dan hedonisme yang menghantam kehidupan
mahasiswa yang katanya mempunyai perisai yang mampu memfilter dengan kata lain
selektif terhadap perkembangan zaman, walau pada kenyataannya mahasiswa kini
tergerus oleh hal tersebut. Ketidakmampuan itulah yang kemudian memacu
mahasiswa-mahasiswa yang masih membudayakan budaya-budaya kritis untuk kembali
mendiskusikannya dana kemudian membawa mahasiswa kembali ke jalan yang benar.
Ini
hanya menjadi penilaian objektif yang menjadi awal untuk kita (mahasiswa)
mendiskusikan lebih jauh lagi. Pada intinya intropeksi diri untuk kembali
berfikir mengembalikan atau menghidupkan lagi budaya-budaya mahasiswa yang kini
terkikis oleh zaman.
AR.
0 komentar:
Posting Komentar