Kekokohan
Kapitalisme, Gagalnya Revolusi, dan Konsep Hegemoni Gramsci
James
ADA berbagai masalah Marxisme, namun
semuanya terpusat pada kegagalan Teori Marxis diterapkan dalam kenyataan.
Contoh paling kuat, adalah masih Kokohnya mode produksi kapitalis, yang semula
dibayangkan oleh Marx pasti akan mengalami krisis akibat kontradiksi internal
dan konfliknya dengan politik demokrasi, lantas bakal bangkrut dengan sendirinya.
Ia membayangkan penderitaan universal dari kelas-kelas tertindas akan terus
mengakumulasi hingga bakal menggulingkan dominasi kelas-kelas berkuasa. Situasi
tidak stabil ini akan didahului oleh krisis ekonomi, yang kemudian bakal
memaksa kapitalisme digantikan oleh sosialisme. Namun, keniscayaan revolusi
proletariat, seperti yang diprediksi Karl Marx, telah gagal diwujudkan,
demokrasi kapitalis sekarang malah telah menjadi norma bagi
organisasi-organisasi sosial di sebagian besar negara di dunia saat ini.
Teori Marxis memang punya karakter
tidak sabaran. Sejarah telah memberikan
kesempatan
yang memadai bagi terpenuhinya prediksi-prediksi Marx, namun semua itu tidak
terjadi. Di tahun 1930-an misalnya, dunia mengalami krisis dan bencana ekonomi
besar pertama, namun tak satupun revolusi meletus di negara-negara maju. Di
Amerika Serikat misalnya, negara yang teknologinya paling maju dan karenanya
paling mungkin mengalami revolusi proletariat, ternyata tak ada satu
tanda-tanda pun bakal terjadinya revolusi.
Berangkat dari pertanyaan
"bagaimana kapitalisme bisa bertahan hidup dan terus kokoh?", (1)
Antonio Gramsci telah menawarkan cara paling menjanjikan Untuk menghidupkan
kembali teori Marxis. Untuk menjelaskan tetap bertahannya Mode produksi kapitalis,
Antonio Gramsci mengedepankan konsepnya tentang "hegemoni". Tulisan
ini bertujuan memaparkan bagaimana konsep tersebut menjelaskan jawaban atas
pertanyaan di atas dalam terminologi marxian.
Untuk mempertahankan Marxisme
sebagai teori politik yang masuk akal, Gramsci bukan saja harus memecahkan
masalah gagalnya prediksi-prediksi Marx, tapi juga tidak boleh mengingkari
aspek-aspek esensial dari filsafat Marxis.
Oleh banyak Marxis, konsep
"Hegemoni" diakui sebagai salah satu jawaban paling menjanjikan terhadap
masalah-masalah yang dihadapi Marxisme. Dalam pandangan Gramsci, dominasi dalam
hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis adalah sebuah
keniscayaan, namun itu tidak cukup dijadikan kondisi bagi dominasi sosial.
Kelas yang dominan secara ekonomis juga memerlukan "hegemoni" untuk
bisa berkuasa. Hegemoni adalah dominasi ideologis atas masyarakat. Maksudnya,
posisi sebuah ideologi yang disukai oleh kelas dominan disepakati oleh seluruh
masyarakat. Kelas-kelas tertindas dibujuk untuk menganut pandangan-pandangan
dan nilai-nilai yang konsisten dengan tetap berlanjutnya dominasi ekonomi dan
sosial kelas berkuasa. Lewat konsep itu, mungkin ditunjukkan bagaimana
kapitalisme dan demokrasi Bisa berdamai dalam kacamata marxian. Itulah sukses
terbesar karya Gramsci.
Aspek terpenting dalam pemikiran
tentang hegemoni adalah "persetujuan" (consent). Untuk mencapai
hegemoni, kelas yang dominan secara ekonomik harus membangun aliansi-aliansi
melalui berbagai kompromi dengan kelas-kelas dan kekuatan-kekuatan sosial lain
sehingga ia dimungkinkan memperoleh "kepemimpinan moral dan
intelektual". Hal itu terinspirasikan dari pemikiran Lenin yang menekankan
pentingnya para buruh tani membentuk aliansi dengan para petani untuk
menggulingkan rezim Tsar. Gramsci memperluas konsep itu, bukan saja sebagai
strategi yang dianjurkan bagi revolusi proletariat, tapi juga untuk menjelaskan
tetap terjaganya masyarakat kapitalis.
Hegemoni menciptakan hubungan yang
lebih kompleks antara dua kelas yang secara fundamental bertentangan.
Aliansi-aliansi yang dibangun oleh suatu kelas hegemonik akan terbentuk, dan
kompromi-kompromi itu akan membuat kelas-kelas lain memastikan hal tersebut
memperoleh "persetujuan aktif" (active consent) dari masyarakat.
Gramsci mengunakan istilah "persetujuan aktif" untuk menunjukkan
bahwa seseorang, atau kelompok tidaklah pasif dalam penciptaan dan pemeliharaan
hegemoni. Aliansi-aliansi itu membutuhkan suatu aspek
"nasional-kerakyatan" dari hegemoni kelas dominan. Hanya dengan
menarik perhatian sebagian terbesar anggota masyarakat, sebuah kelas bisa
memperoleh persetujuan dari seluruh bangsa. Itu juga memperhitungkan
pandangan-pandangan demokratik dan kerakyatan yang tumbuh di masyarakat, dan
karenanya mencerminkan isu-isu lain yang penting bagi masyarakat tertentu,
misalnya ras, gender, lingkungan hidup dan sebagainya.
Hegemoni juga
mengakibatkan terbangunnya satu hubungan baru yang lebih kompleks antara negara
dan masyarakat sipil. Hegemoni diciptakan dan dikelola dalam masyarakat sipil.
Suatu kelas dominan membentuk sebuah "blok historis" yang
mengabungkan hegemoni dalam masyarakat sipil dan dominasi ekonomi. Menurut
Marxisme klasik, negara adalah cerminan dari kenyataan ekonomi dalam
masyarakat, dan menggunakan perbedaan basis-superstruktur untuk menggambarkan
keterikatan sebab-akibat antara keduanya. Tesis Gramsci menantang analogi itu,
sebab dalam konsep hegemoni dimungkinkan bagi kelas penguasa untuk juga
dipengaruhi oleh kenyataan politik. Dalam pandangan Gramsci, juga dimungkinkan
sebuah kelompok yang dominan secara ekonomi gagal mencapai hegemoni. Situasi
seperti itu memang jadi, tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. Yang paling
sering terjadi bagi sebuah kelas yang dominan secara ekonomik namun tidak
hegemonik, adalah kehilangan dominasi ekonominya. Gramsci menunjukkan
pentingnya dominasi ekonomi bagi sebuah kelompok hegemonik dalam kutipannya
berikut: "sekalipun hegemoni lebih berkarakter etis-politis, ia juga harus
ekonomik, harus niscaya didasarkan
oleh
fungsi penting yang dijalankan oleh kelompok pemimpin dalam inti aktivitas
ekonomi penting ". Jadi, Gramsci membenarkan teori Marxis soal keutamaan
basis ekonomi, sambil menambahkan bahwa politik juga punya satu peran yang
lebih penting dalam determinasi sosial.
Konsep hegemoni itu memberikan satu
set taktik baru bagi para pemimpin proletariat. Untuk mencapai hegemoni, kaum
proletar harus menggelar suatu "perang posisi" (war of position). Di
sanalah aliansi kelas dibangun dan dihancurkan, sehingga para pekerja
dimungkinkan mencari satu aliansi yang cocok dengan ideologi umum yang disukai
kaum proletar. Juga harus terjadi suatu reformasi moral dan ideologis, untuk
mengubah (atau menggusur) bias kelas dalam hegemoni yang tengah berlaku.
Ideologi adalah kunci, juga "semen" yang mengikat suatu blok-historis
dengan memberikan kesamaan dasar bagi anggota-anggotanya. Suatu "perang
posisi" adalah sebuah proses yang sangat gradual. Ia juga sangat sulit dan
berbahaya. Semisal, untuk membangun suatu aliansi ideologis baru, para pemimpin
proletariat harus beraksi dalam aliansi-aliansi borjuis yang ada. Menarik
dicatat bahwa Gramsci menjelaskan suatu strategi berbeda yang dijalankan bagi
kaum borjuis dalam suatu aliansi yang dibangunnya, yakni apa yang disebutnya
" revolusi pasif" (passive revolution). Ini adalah suatu gerakan dari
atas, dimana negara memainkan peran paling signifikan dalam revolusi.
Masyarakat pada umumnya "pasif", dan hanya memainkan suatu peran
marjinal. Gramsci mencontohkan itu dengan Risorgimento, unifikasi Italia.
Meskipun massa memang memainkan suatu peran dalam beberapa aspek revolusi
tersebut, aktor paling penting di sana adalah para tentara dan monarki Piedmont
(Italia Utara).
Gramsci juga memberikan peran bagi
kelompok intelektual dalam suatu revolusi. Ini satu lagi masukan bagi teori
Marxis secara keseluruhan, sebab pandangan deterministik dari Marxis-marxis
klasik tidak memberi cukup ruang analisis perihal para pemimpin partai atau
para intelektual yang aktif berpolitik. Para intelektual yang dimaksudkan
Gramsci adalah mereka yang "organik". Artinya, mereka adalah bagian
dari kelas yang mereka tampilkan, secara aktual terikat sebagai bagian dari
suatu massa "nasional-kerakyatan". Mereka memainkan peran sebagai
pemimpin partai, serta memotori reformasi moral dan ideologis yang dibutuhkan
bagi suatu "perang posisi".
Tingkat konsentrasi kekuasaan dalam
suatu negara menentukan dibutuhkan tidaknya suatu "perang posisi".
Hal itu bisa diilustrasikan oleh perbandingan yang digunakan oleh Gramsci
sendiri. Dalam Revolusi Rusia ada suatu "perang gerakan" (war of
movement), sebuah peristiwa bersejarah, dimana kekuasaan kelas berkuasa
diambil-alih. Lantaran kekuasaan telah terkonsentrasi di tangan rezim Tsar,
taktik itu memang paling cocok untuk dijalankan. Suatu "perang gerakan"
tidak akan cocok di sebuah negara Barat yang modern, dimana kekuassan telah
disebar dan diserapkan ke dalam berbagai hubungan antara negara dan masyarakat
sipil. Karena suatu "perang posisi" dibutuhkan lantaran suatu
"perang gerakan" tidak menghasilkan suatu hegemoni proletariat, tapi
hanya sebuah perebutan kekuasaan negara. Untuk bisa bertahan hidup, suatu rezim
harus bergantung pada kekuatan dan paksaan, jika ia tidak dimungkinkan
memerintah dengan persetujuan. Sebagai
salah satu contoh hegemoni kelas penguasa, Gramsci menganalisis apa yang
disebutnya sebagai Fordisme/Taylorisme di Amerika Serikat tahun 1920-1930-an,
yang ditandai oleh pertumbuhan produksi massal dalam mengatasi krisis ekonomi
di sana. Produksi ditingkatkan dan diperbaiki dengan mencopot semua tuntutan-tuntutan intelektual
jauh-jauh dari para pekerja dengan memberinya sejumlah tugas individual yang
kecil, dan dengan memberi tiap pekerja suatu ganjaran finansial individual.
Gramsci mengatakan, "hegemoni dilahirkan di dalam pabrik". Ia memperlihatkan
perluasan hegemoni dengan menunjuk etika kerja Protestan dalam mempercepat
produksi dan tujuan-tujuan industri.
Gramsci menyelamatkan Marxisme dari
tuduhan "instrumentalisme pasifis, katastrofisme simplistik, dan
reduksionisme ekonomistik. Tuduhan-tuduhan itu muncul dari konsep-konsep bahwa
negara hanyalah sebuah instrumen dari kelas dominan, bahwa kelas-kelas akan
makin terpolarisasi dan saling bertentangan hingga sebuah revolusi yang tak
terhindarkan bakal terjadi, dan bahwa semua aspek dari superstruktur politis
dan ideologis bisa direduksi ke basis ekonomis. Ketiga konsep itu membahayakan
teori Marxis, sebab ketiganya menyuguhkan pandangan yang sangat deterministik
atas politik dan masyarakat. Pemikiran tentang hegemoni memberikan aspek sosial
dan politik suatu peran yang lebih signifikan dalam Marxisme, begitu pula
ilustrasi lebih lanjut mengenai hubungan yang kompleks antara struktur ekonomi
dan masyarakat. Oleh sejumlah kalangan, karya Gramsci itu bisa dipandang
sebagai suatu "Revolusi Copernican" atas teori Marxis, sebab teorinya
tentang hegemoni memberikan suatu visi baru bagi para teoritisi Marxis.
Sementara bagi kalangan lainnya, Gramsci memang dipandang hanya mengembangkan
sejumlah aspek teoritik yang sudah ada dalam Marxisme. Haruslah diingat bahwa bagi
Marx siapa yang disebut sebagai kelas dominan adalah mereka yang juga merupakan
"para pemilik sarana penyebarluasan dan reproduksi ide-ide". Hal itu
sama saja dengan ide "dominasi ideologis" sehingga konsep hegemoni
dari Gramsci hanyalah memperjelas apa yang telah dipaparkan sendiri oleh Marx.
Namun hal itu tidak mengecilkan arti penting Gramsci. Kemampuan bagi Marxisme
untuk menciptakan suatu masyarakat konsensual adalah lonjakan besar dalam teori
Marxis. Dari situlah dimungkinkan menarik jarak antara Marxisme dan rezim-rezim
penindas yang diciptakan dengan mengatasnamakannya.
Hoffman menafsirkan tujuan-tujuan
analisis Gramsci untuk mengawinkan Marxisme dan ide politik konsensual. Ia
berpendapat bahwa persetujuan dibutuhkan untuk menolong doktrin Marxis dalam
praktik agar mampu menghindari contoh-contoh opresif yang dijalankan oleh
rezim-rezim Komunis yang dibangun oleh Blok Uni Soviet. Ia juga berusaha
memperlihatkan bahwa Gramsci dalam upaya itu. Ia memperlihatkan bahwa ide
Gramsci tentang "persetujuan aktif" masih didasarkan pada kekuatan
dan paksaan. Hoffman menggunakan satu definisi koersi yang lebih luas. Ia
melihar negara sebagai wilayah dimana kelas dominan menjustifikasi dominasinya.
Ideologi hegemoni didesakkan pada kehidupan sosial, yang artinya masyarakat
dipaksa untuk mengikuti ideologi tersebut. Karenanya kemudian Hoffman
berpendapat bahwa "kepemimpinan hegemonik" tidak terpisahkan dari
koersi dan peragaan kekuatan. Itu berarti bahwa masih tetap tidak ada ruang
bagi persetujuan di bawah suatu pandangan Marxis tentang masyarakat.
Hoffman tidak mengabaikan ide yang
dikemukakan oleh Kolakowski dan kawan-kawan, bahwa hegemoni bergantung pada
suatu aliansi antara kelas yang dominan secara ekonomik dan kelas-kelas
subordinat. Hegemoni hanya bisa bertahan dalam aliansi seperti itu, dan sebuah
aliansi hanya bisa diciptakan dan bertahan bila ada suatu kompromi antara
kelas-kelas. Kompromi itulah yang menciptakan "persetujuan aktif" -
semua pihak bersedia bersepakat, sebab mereka melihatnya demi kepentingan
bersama.
Saat menilik skema besar teori
Marxis, Gramsci menandai suatu kecenderungan dan tradisi baru dalam teori
Marxis di awal abad ke-20, namun akar dari doktrinnya masih tertanam mantap di
ranah Marxis. Masih bisa dipertanyakan apakah pemikiran-pemikiran Gramsci
memberikan suatu tempat yang kokoh bagi persetujuan dalam teori Marxis, namun
itu bisa terjawab jika menilik hegemoni sebagaimana yang ada dalam aliansi
kelas-kelas. Marx melicinkan jalan menuju analisis serupa itu, namun
menjabarkan bahwa kombinasi antara mode produksi kapitalist dan suatu demokrasi
parlementer sebagai suatu yang tidak stabil dan transisional. Gramsci
menggunakan premis-premis Marxis, dan menginvestigasi superstruktur politik dan
sosial. Ia menemukan bahwa bisa saja kapitalisme bertahan hidup dengan
demokrasi, yakni melalui politik konsensual. Investigasi itu adalah responnya
atas masalah-masalah determinisme kaum Marxis, dan juga turut memberi dasar
yang kokoh bagi Marxisme.***
0 komentar:
Posting Komentar