photo hhhhhhhhiii_zps9dd37855.jpeg" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />
Home » » Kekokohan Kapitalisme, Gagalnya Revolusi, dan Konsep Hegemoni Gramsci

Kekokohan Kapitalisme, Gagalnya Revolusi, dan Konsep Hegemoni Gramsci

Kekokohan Kapitalisme, Gagalnya Revolusi, dan Konsep Hegemoni Gramsci
James
            ADA berbagai masalah Marxisme, namun semuanya terpusat pada kegagalan Teori Marxis diterapkan dalam kenyataan. Contoh paling kuat, adalah masih Kokohnya mode produksi kapitalis, yang semula dibayangkan oleh Marx pasti akan mengalami krisis akibat kontradiksi internal dan konfliknya dengan politik demokrasi, lantas bakal bangkrut dengan sendirinya. Ia membayangkan penderitaan universal dari kelas-kelas tertindas akan terus mengakumulasi hingga bakal menggulingkan dominasi kelas-kelas berkuasa. Situasi tidak stabil ini akan didahului oleh krisis ekonomi, yang kemudian bakal memaksa kapitalisme digantikan oleh sosialisme. Namun, keniscayaan revolusi proletariat, seperti yang diprediksi Karl Marx, telah gagal diwujudkan, demokrasi kapitalis sekarang malah telah menjadi norma bagi organisasi-organisasi sosial di sebagian besar negara di dunia saat ini.
            Teori Marxis memang punya karakter tidak sabaran. Sejarah telah memberikan
kesempatan yang memadai bagi terpenuhinya prediksi-prediksi Marx, namun semua itu tidak terjadi. Di tahun 1930-an misalnya, dunia mengalami krisis dan bencana ekonomi besar pertama, namun tak satupun revolusi meletus di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, negara yang teknologinya paling maju dan karenanya paling mungkin mengalami revolusi proletariat, ternyata tak ada satu tanda-tanda pun bakal terjadinya revolusi.
            Berangkat dari pertanyaan "bagaimana kapitalisme bisa bertahan hidup dan terus kokoh?", (1) Antonio Gramsci telah menawarkan cara paling menjanjikan Untuk menghidupkan kembali teori Marxis. Untuk menjelaskan tetap bertahannya Mode produksi kapitalis, Antonio Gramsci mengedepankan konsepnya tentang "hegemoni". Tulisan ini bertujuan memaparkan bagaimana konsep tersebut menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas dalam terminologi marxian.
            Untuk mempertahankan Marxisme sebagai teori politik yang masuk akal, Gramsci bukan saja harus memecahkan masalah gagalnya prediksi-prediksi Marx, tapi juga tidak boleh mengingkari aspek-aspek esensial dari filsafat Marxis.
            Oleh banyak Marxis, konsep "Hegemoni" diakui sebagai salah satu jawaban paling menjanjikan terhadap masalah-masalah yang dihadapi Marxisme. Dalam pandangan Gramsci, dominasi dalam hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis adalah sebuah keniscayaan, namun itu tidak cukup dijadikan kondisi bagi dominasi sosial. Kelas yang dominan secara ekonomis juga memerlukan "hegemoni" untuk bisa berkuasa. Hegemoni adalah dominasi ideologis atas masyarakat. Maksudnya, posisi sebuah ideologi yang disukai oleh kelas dominan disepakati oleh seluruh masyarakat. Kelas-kelas tertindas dibujuk untuk menganut pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang konsisten dengan tetap berlanjutnya dominasi ekonomi dan sosial kelas berkuasa. Lewat konsep itu, mungkin ditunjukkan bagaimana kapitalisme dan demokrasi Bisa berdamai dalam kacamata marxian. Itulah sukses terbesar karya Gramsci.
            Aspek terpenting dalam pemikiran tentang hegemoni adalah "persetujuan" (consent). Untuk mencapai hegemoni, kelas yang dominan secara ekonomik harus membangun aliansi-aliansi melalui berbagai kompromi dengan kelas-kelas dan kekuatan-kekuatan sosial lain sehingga ia dimungkinkan memperoleh "kepemimpinan moral dan intelektual". Hal itu terinspirasikan dari pemikiran Lenin yang menekankan pentingnya para buruh tani membentuk aliansi dengan para petani untuk menggulingkan rezim Tsar. Gramsci memperluas konsep itu, bukan saja sebagai strategi yang dianjurkan bagi revolusi proletariat, tapi juga untuk menjelaskan tetap terjaganya masyarakat kapitalis.
            Hegemoni menciptakan hubungan yang lebih kompleks antara dua kelas yang secara fundamental bertentangan. Aliansi-aliansi yang dibangun oleh suatu kelas hegemonik akan terbentuk, dan kompromi-kompromi itu akan membuat kelas-kelas lain memastikan hal tersebut memperoleh "persetujuan aktif" (active consent) dari masyarakat. Gramsci mengunakan istilah "persetujuan aktif" untuk menunjukkan bahwa seseorang, atau kelompok tidaklah pasif dalam penciptaan dan pemeliharaan hegemoni. Aliansi-aliansi itu membutuhkan suatu aspek "nasional-kerakyatan" dari hegemoni kelas dominan. Hanya dengan menarik perhatian sebagian terbesar anggota masyarakat, sebuah kelas bisa memperoleh persetujuan dari seluruh bangsa. Itu juga memperhitungkan pandangan-pandangan demokratik dan kerakyatan yang tumbuh di masyarakat, dan karenanya mencerminkan isu-isu lain yang penting bagi masyarakat tertentu, misalnya ras, gender, lingkungan hidup dan sebagainya.
            Hegemoni juga mengakibatkan terbangunnya satu hubungan baru yang lebih kompleks antara negara dan masyarakat sipil. Hegemoni diciptakan dan dikelola dalam masyarakat sipil. Suatu kelas dominan membentuk sebuah "blok historis" yang mengabungkan hegemoni dalam masyarakat sipil dan dominasi ekonomi. Menurut Marxisme klasik, negara adalah cerminan dari kenyataan ekonomi dalam masyarakat, dan menggunakan perbedaan basis-superstruktur untuk menggambarkan keterikatan sebab-akibat antara keduanya. Tesis Gramsci menantang analogi itu, sebab dalam konsep hegemoni dimungkinkan bagi kelas penguasa untuk juga dipengaruhi oleh kenyataan politik. Dalam pandangan Gramsci, juga dimungkinkan sebuah kelompok yang dominan secara ekonomi gagal mencapai hegemoni. Situasi seperti itu memang jadi, tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. Yang paling sering terjadi bagi sebuah kelas yang dominan secara ekonomik namun tidak hegemonik, adalah kehilangan dominasi ekonominya. Gramsci menunjukkan pentingnya dominasi ekonomi bagi sebuah kelompok hegemonik dalam kutipannya berikut: "sekalipun hegemoni lebih berkarakter etis-politis, ia juga harus ekonomik, harus niscaya didasarkan
oleh fungsi penting yang dijalankan oleh kelompok pemimpin dalam inti aktivitas ekonomi penting ". Jadi, Gramsci membenarkan teori Marxis soal keutamaan basis ekonomi, sambil menambahkan bahwa politik juga punya satu peran yang lebih penting dalam determinasi sosial.
            Konsep hegemoni itu memberikan satu set taktik baru bagi para pemimpin proletariat. Untuk mencapai hegemoni, kaum proletar harus menggelar suatu "perang posisi" (war of position). Di sanalah aliansi kelas dibangun dan dihancurkan, sehingga para pekerja dimungkinkan mencari satu aliansi yang cocok dengan ideologi umum yang disukai kaum proletar. Juga harus terjadi suatu reformasi moral dan ideologis, untuk mengubah (atau menggusur) bias kelas dalam hegemoni yang tengah berlaku. Ideologi adalah kunci, juga "semen" yang mengikat suatu blok-historis dengan memberikan kesamaan dasar bagi anggota-anggotanya. Suatu "perang posisi" adalah sebuah proses yang sangat gradual. Ia juga sangat sulit dan berbahaya. Semisal, untuk membangun suatu aliansi ideologis baru, para pemimpin proletariat harus beraksi dalam aliansi-aliansi borjuis yang ada. Menarik dicatat bahwa Gramsci menjelaskan suatu strategi berbeda yang dijalankan bagi kaum borjuis dalam suatu aliansi yang dibangunnya, yakni apa yang disebutnya " revolusi pasif" (passive revolution). Ini adalah suatu gerakan dari atas, dimana negara memainkan peran paling signifikan dalam revolusi. Masyarakat pada umumnya "pasif", dan hanya memainkan suatu peran marjinal. Gramsci mencontohkan itu dengan Risorgimento, unifikasi Italia. Meskipun massa memang memainkan suatu peran dalam beberapa aspek revolusi tersebut, aktor paling penting di sana adalah para tentara dan monarki Piedmont (Italia Utara).
            Gramsci juga memberikan peran bagi kelompok intelektual dalam suatu revolusi. Ini satu lagi masukan bagi teori Marxis secara keseluruhan, sebab pandangan deterministik dari Marxis-marxis klasik tidak memberi cukup ruang analisis perihal para pemimpin partai atau para intelektual yang aktif berpolitik. Para intelektual yang dimaksudkan Gramsci adalah mereka yang "organik". Artinya, mereka adalah bagian dari kelas yang mereka tampilkan, secara aktual terikat sebagai bagian dari suatu massa "nasional-kerakyatan". Mereka memainkan peran sebagai pemimpin partai, serta memotori reformasi moral dan ideologis yang dibutuhkan bagi suatu "perang posisi".
            Tingkat konsentrasi kekuasaan dalam suatu negara menentukan dibutuhkan tidaknya suatu "perang posisi". Hal itu bisa diilustrasikan oleh perbandingan yang digunakan oleh Gramsci sendiri. Dalam Revolusi Rusia ada suatu "perang gerakan" (war of movement), sebuah peristiwa bersejarah, dimana kekuasaan kelas berkuasa diambil-alih. Lantaran kekuasaan telah terkonsentrasi di tangan rezim Tsar, taktik itu memang paling cocok untuk dijalankan. Suatu "perang gerakan" tidak akan cocok di sebuah negara Barat yang modern, dimana kekuassan telah disebar dan diserapkan ke dalam berbagai hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Karena suatu "perang posisi" dibutuhkan lantaran suatu "perang gerakan" tidak menghasilkan suatu hegemoni proletariat, tapi hanya sebuah perebutan kekuasaan negara. Untuk bisa bertahan hidup, suatu rezim harus bergantung pada kekuatan dan paksaan, jika ia tidak dimungkinkan memerintah dengan persetujuan.          Sebagai salah satu contoh hegemoni kelas penguasa, Gramsci menganalisis apa yang disebutnya sebagai Fordisme/Taylorisme di Amerika Serikat tahun 1920-1930-an, yang ditandai oleh pertumbuhan produksi massal dalam mengatasi krisis ekonomi di sana. Produksi ditingkatkan dan diperbaiki dengan  mencopot semua tuntutan-tuntutan intelektual jauh-jauh dari para pekerja dengan memberinya sejumlah tugas individual yang kecil, dan dengan memberi tiap pekerja suatu ganjaran finansial individual. Gramsci mengatakan, "hegemoni dilahirkan di dalam pabrik". Ia memperlihatkan perluasan hegemoni dengan menunjuk etika kerja Protestan dalam mempercepat produksi dan tujuan-tujuan industri.
            Gramsci menyelamatkan Marxisme dari tuduhan "instrumentalisme pasifis, katastrofisme simplistik, dan reduksionisme ekonomistik. Tuduhan-tuduhan itu muncul dari konsep-konsep bahwa negara hanyalah sebuah instrumen dari kelas dominan, bahwa kelas-kelas akan makin terpolarisasi dan saling bertentangan hingga sebuah revolusi yang tak terhindarkan bakal terjadi, dan bahwa semua aspek dari superstruktur politis dan ideologis bisa direduksi ke basis ekonomis. Ketiga konsep itu membahayakan teori Marxis, sebab ketiganya menyuguhkan pandangan yang sangat deterministik atas politik dan masyarakat. Pemikiran tentang hegemoni memberikan aspek sosial dan politik suatu peran yang lebih signifikan dalam Marxisme, begitu pula ilustrasi lebih lanjut mengenai hubungan yang kompleks antara struktur ekonomi dan masyarakat. Oleh sejumlah kalangan, karya Gramsci itu bisa dipandang sebagai suatu "Revolusi Copernican" atas teori Marxis, sebab teorinya tentang hegemoni memberikan suatu visi baru bagi para teoritisi Marxis. Sementara bagi kalangan lainnya, Gramsci memang dipandang hanya mengembangkan sejumlah aspek teoritik yang sudah ada dalam Marxisme. Haruslah diingat bahwa bagi Marx siapa yang disebut sebagai kelas dominan adalah mereka yang juga merupakan "para pemilik sarana penyebarluasan dan reproduksi ide-ide". Hal itu sama saja dengan ide "dominasi ideologis" sehingga konsep hegemoni dari Gramsci hanyalah memperjelas apa yang telah dipaparkan sendiri oleh Marx. Namun hal itu tidak mengecilkan arti penting Gramsci. Kemampuan bagi Marxisme untuk menciptakan suatu masyarakat konsensual adalah lonjakan besar dalam teori Marxis. Dari situlah dimungkinkan menarik jarak antara Marxisme dan rezim-rezim penindas yang diciptakan dengan mengatasnamakannya.
            Hoffman menafsirkan tujuan-tujuan analisis Gramsci untuk mengawinkan Marxisme dan ide politik konsensual. Ia berpendapat bahwa persetujuan dibutuhkan untuk menolong doktrin Marxis dalam praktik agar mampu menghindari contoh-contoh opresif yang dijalankan oleh rezim-rezim Komunis yang dibangun oleh Blok Uni Soviet. Ia juga berusaha memperlihatkan bahwa Gramsci dalam upaya itu. Ia memperlihatkan bahwa ide Gramsci tentang "persetujuan aktif" masih didasarkan pada kekuatan dan paksaan. Hoffman menggunakan satu definisi koersi yang lebih luas. Ia melihar negara sebagai wilayah dimana kelas dominan menjustifikasi dominasinya. Ideologi hegemoni didesakkan pada kehidupan sosial, yang artinya masyarakat dipaksa untuk mengikuti ideologi tersebut. Karenanya kemudian Hoffman berpendapat bahwa "kepemimpinan hegemonik" tidak terpisahkan dari koersi dan peragaan kekuatan. Itu berarti bahwa masih tetap tidak ada ruang bagi persetujuan di bawah suatu pandangan Marxis tentang masyarakat.
            Hoffman tidak mengabaikan ide yang dikemukakan oleh Kolakowski dan kawan-kawan, bahwa hegemoni bergantung pada suatu aliansi antara kelas yang dominan secara ekonomik dan kelas-kelas subordinat. Hegemoni hanya bisa bertahan dalam aliansi seperti itu, dan sebuah aliansi hanya bisa diciptakan dan bertahan bila ada suatu kompromi antara kelas-kelas. Kompromi itulah yang menciptakan "persetujuan aktif" - semua pihak bersedia bersepakat, sebab mereka melihatnya demi kepentingan bersama.
            Saat menilik skema besar teori Marxis, Gramsci menandai suatu kecenderungan dan tradisi baru dalam teori Marxis di awal abad ke-20, namun akar dari doktrinnya masih tertanam mantap di ranah Marxis. Masih bisa dipertanyakan apakah pemikiran-pemikiran Gramsci memberikan suatu tempat yang kokoh bagi persetujuan dalam teori Marxis, namun itu bisa terjawab jika menilik hegemoni sebagaimana yang ada dalam aliansi kelas-kelas. Marx melicinkan jalan menuju analisis serupa itu, namun menjabarkan bahwa kombinasi antara mode produksi kapitalist dan suatu demokrasi parlementer sebagai suatu yang tidak stabil dan transisional. Gramsci menggunakan premis-premis Marxis, dan menginvestigasi superstruktur politik dan sosial. Ia menemukan bahwa bisa saja kapitalisme bertahan hidup dengan demokrasi, yakni melalui politik konsensual. Investigasi itu adalah responnya atas masalah-masalah determinisme kaum Marxis, dan juga turut memberi dasar yang kokoh bagi Marxisme.***

0 komentar:

Posting Komentar

Download Buletin

Populer Post

 
Hak Cipta : Komite Pusat - Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik SGMK Kota Parepare | ' | AR. Ame' FB
Copyright © 2013. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik Parepare - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by RED LEFT