Sumber : Google Image |
Hari Perempuan Internasional dirayakan oleh
perempuan sedunia untuk memperingati kesadaran perempuan-perempuan akan
kesamaan nasibnya yang mengalami opresi dan ketidaksetaraan. IWD yang dirayakan
setiap 8 Maret di seluruh dunia muncul bukan dengan tiba-tiba, namun dengan
proses yang sangat panjang, yang diawali oleh aksi para buruh perempuan.
Opresi terhadap perempuan pun tidak lepas dari konstruksi pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, di mana peran perempuan dalam ranah domestik yang tidak produktif dan laki-laki dalam ranah publik. Saat industrialisasi muncul, perempuan kemudian masuk ke dalam pabrik-pabrik tanpa adanya pengurangan beban dari peran domestik yang diberikan. Dalam hal tersebut, perempuan mengalami beban ganda. Ketidaksetaraan tersebut pun muncul dari lingkungan kerjanya, di mana upah perempuan dan laki-laki dibedakan.
Dalam keadaan seperti itulah perempuan mengalami tekanan dan ketidaksetaraan dalam hidupnya yang kemudian membawa perempuan menjadi lebih vokal dan aktif untuk mengkampanyekan suara-suara mereka sebagai cara untuk mendapatkan hak-haknya. Beberapa dari merekapun bergabung dengan organisasi buruh dan melakukan berbagai aksi. Tercatat pada 8 Maret 1857 aksi para perempuan buruh pabrik garmen di New York memprotes tempat kerja yang kumuh dan upah yang rendah. Aksi serupa kembali dilakukan pada 1908 di New York oleh 15.000 perempuan yang menuntut jam kerja yang lebih pendek dan memperoleh hak suara. Partai Sosialis di Amerika pun mengupaykan adanya Hari Perempuan Nasional di Amerika Serikat pada 28 Februari. Suara-suara tersebut kemudian disambut oleh perempuan aktivis sosialis, Clara Zetkin dan mengusulkan adanya IWD pada Konferensi Kaum Sosialis Internasional di Swiss 1910 dan disetujui oleh 100 perempuan dari 17 negara.
Setelah gagasan tersebut, tahun 1911 IWD mulai diperingati di Austria, Denmark, Jerman dan Swis pada 19 Maret oleh laki-laki dan perempuan mengkampanyekan pemenuhan hak-hak perempuan untuk bekerja, memiliki suara, dilatih, memegang jabatan publik dan mengakhiri diskriminasi. Sempat juga terjadi peristiwa yang mengenaskan, di mana sebuah pabrik garmen Triangle Shirtwaist Factory di New York terbakar pada 8 Maret 1911 dan menewaskan 140 orang pekerja perempuan. Kejadian tersebut diperingati sebagai aksi damai dan solidaritas para buruh perempuan.
Menjelang Perang Dunia, perempuan di dunia menggunakan tanggal 8 Maret sebagai peringatan IWD untuk menolak adanya perang, salah satunya dilakukan oleh perempuan Rusia pada 1913 dan 1917. Pada 8 Maret 1957, perempuan di New York, Amerika Serikat terus kembali melakukan aksi damai mengenang tragedi Triangle Shirtwaist Factory, namun kemudian dibubarkan oleh polisi karena ketidaksenangan pemerintah online casino Amerika Serikat. Peringatan IWD pun mulai terhenti hingga muncul gerakan feminis yang masiv di beberapa negara pada tahun 1960an membangkitkan kembali semangat perayaan IWD. IWD di 8 Maret mulai ditandai sebagai hari libur pada tahun 1965 di beberapa negara, seperti Cina, Vietnam, Kuba, Italia, Albania, Armenia, Mongolia, Serbia, Ukraina. Kebangkitan tersebut pun memuncak dengan ditetapkannya IWD oleh PBB mulai tahun
1975.
Di Indonesia sendiri, IWD belum ditetapkan sebagai tanggal penting, namun partisipasi organisasi perempuan Indonesia dalam IWD telah berlangsung puluhan tahun yang lalu, saat pemerintahan berada di tangan Soekarno. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) pernah bergabung dalam IWDF (Women International Democratic Federation), juga Gerwani yang memperingati IWD. Sayangnya, pada masa Orde Baru IWD di larang di Indonesia karena dinyatakan bermuatan komunis. Namun organisasi dan aktivis perempuan, seperti aktivis dan gerakan mahasiswa yang membentuk Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY), Kalyanamitra, LBH APIK, dan lain sebagainya, di mana tahun 1980an tetap melakukan kegiatan dan semakin terbuka pada tahun 1990an baik dalam diskusi, berdemo, pertunjukan seni, dan sebagainya.
Upaya-upaya yang dilakukan para aktivis perempuan untuk memperingati IWD bukan hanya skedar mengikuti agenda dunia, namun karena adanya kesadaran untuk terus memberi peringatan dan mengajak dunia menghentikan opresi dan ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan, mewujudkan aksinya untuk memajukan dan menghargai perempuan yang juga terdapat dalam agenda IWD 2015 Make It Happen. Warna ungu yang mewarnai IWD melambangkan keadilan dan martabat yang berhubungan erat dengan kesetaraan perempuan.
Penulis :
Mahasiswi S2 Sejarah FIB UGM, Siti Utami Dewi Ningrum. Saat ini sibuk dalam penelitian gender dan sejarah, aktif dalam gerakan feminis di Yogyakarta dan menjadi relawan di divisi Informasi, Dokumentasi & Publikasi Instituta Hak Asasi Perempuan.
FEMINISME SOSIALIS
Emansipasi. Kita sering mendengar istilah tersebut. Tak jarang pula istilah tersebut dihubungkan dengan perempuan. Ya. Emansipasi perempuan. Lantas, apakah artinya? Emansipasi berarti pembebasan atau pemerdekaan. Karena itu, emansipasi perempuan berarti pembebasan atau pemerdekaan kaum perempuan. Ya, pembebasan dari penjara-penjara yang membuat perempuan menjadi manusia klas dua, dengan kedudukan serta harkat dan martabat yang lebih rendah daripada laki-laki. Ya, pembebasan dari belenggu-belenggu yang membuat perempuan tidak dapat beraktualisasi atau mewujudkan dirinya sendiri.
Feminisme dan Sosialisme
Sejak Marx dan Engels, Sosialisme selalu berkomitmen terhadap pembebasan perempuan. Dalam hal ini, Sosialisme sejalan dengan gerakan-gerakan perempuan yang lazim dinamakan Feminisme. Tapi Sosialisme dan Feminisme memiliki pendekatan dan visi yang sangat berbeda. Bagi kaum Feminis, terutama kaum Feminis Liberal, perempuan hidup dalam suatu masyarakat di mana laki-laki menindas perempuan. Penindasan itu berakar di dalam kodrat laki-laki. Ada sesuatu di dalam struktur biologis dan psikologis laki-laki yang membuat mereka memandang dan memperlakukan perempuan sebagai manusia yang lebih rendah. Pandangan dan perlakuan itu kemudian diwujudkan dalam patriarki, tatanan masyarakat yang di dalamnya laki-laki berkuasa dan kaum perempuan tunduk pada kekuasaan laki-laki. Dengan demikian, perempuan menjadi manusia klas dua. Hak-hak politik, ekonomi, dan sosialnya tidak setara dengan laki-laki. Bahkan perempuan tidak memiliki kuasa atas tubuh dan seksualitasnya sendiri. Karena itu, kaum perempuan harus bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mengakhiri penindasan laki-laki terhadap mereka.
Tanpa membuang rasa simpati kita terhadap kaum Feminis, sebagai kaum Sosialis kita tidak sejalan dengan pendekatan dan visi Feminisme. Secara hakiki, dengan melihat penindasan terhadap perempuan sebagai sesuatu yang berakar di dalam kodrat laki-laki, Feminisme memiliki konsep yang statis dan tidak dialektis tentang manusia. Konsepnya tentang kondisi manusia juga tidak-historis. Logikanya, konsep-konsep tersebut bermuara pada kesimpulan-kesimpulan yang pesimistis. Pasalnya, bila kita meyakini adanya sesuatu di dalam diri laki-laki yang membuatnya menindas perempuan, mustahil kiranya kita dapat memperbaiki situasi yang dialami perempuan saat ini. Kesimpulannya, penindasan laki-laki terhadap perempuan tidak akan pernah berakhir – kecuali tidak ada laki-laki lagi di dunia ini.
Sebagai kaum Sosialis, pendekatan dan visi kita terhadap pembebasan perempuan berpijak pada garis klas. Ini memungkinkan pendekatan dan visi yang bercorak dinamis, dialektis, dan historis. Bagaimana konkretnya? Begini. Menurut pandangan Sosialis, penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan muncul dari kepemilikan pribadi dan masyarakat klas. Studi-studi mengenai sejarah peradaban manusia semenjak zaman batu memperlihatkan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang tidak mengenal kepemilikan pribadi dan perbedaan klas kaum perempuan dan laki-laki sama-sama terlibat dalam proses produksi dengan kedudukan yang sejajar. Dalam masyarakat-masyarakat seperti itu, perempuan memiliki kebebasan dan kesetaraan dengan laki-laki. Munculnya kepemilikan pribadi atas alat produksi dan masyarakat klas telah menyingkirkan kaum perempuan dari proses produksi dan melemparkannya kepada pekerjaan-pekerjaan domestik (kerumahtanggaan). Dengan jalan itu, kebebasan perempuan terenggut, dan kesetaraannya dengan laki-laki lenyap. Karena itu, jelas bagi kita kaum Sosialis, bahwa pembebasan perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk mengakhiri kepemilikan pribadi atas alat produksi dan masyarakat klas. Ya, pembebasan perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Sosialis!
Kontradiksi
Saat ini kita, baik kaum perempuan maupun laki-laki, hidup dalam epos Kapitalisme. Perkembangan Kapitalisme telah mendatangkan perubahan yang sangat besar dalam hidup kita. Secara khusus, perubahan yang sangat besar ini juga berdampak pada kaum perempuan. Seturut dengan logikanya sendiri, Kapitalisme telah mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi, yakni sekarang kita temui kaum perempuan bekerja di pabrik, di kantor, dan banyak tempat kerja lainnya. Tentu, sebagai buruh alias pekerja upahan. Dengan demikian, kaum perempuan pun bekerja mencari nafkah, tidak lagi terkungkung dalam kerja rumahtangga.
Kenyataan ini mengandung potensi yang luar biasa bagi kaum perempuan. Secara potensial kaum perempuan memiliki kemandirian ekonomi, tidak harus bergantung pada laki-laki, baik sebagai ayah maupun suami, untuk hidup sehari-hari. Di samping itu, bila kaum perempuan mengorganisir diri secara kolektif, mereka juga mampu memperjuangkan hak-hak mereka. Sangat berbeda dengan “nasib” mereka sebelumnya, bukan? Kaum perempuan tidak lagi “ditakdirkan” untuk menjadi manusia klas dua! Pada titik ini, bisa disimpulkan bahwa basis material bagi penindasan terhadap kaum perempuan sebenarnya sudah lenyap.
Tetapi, mengapa sampai saat ini kaum perempuan masih tertindas? Dalam hal ini, kapitalisme, yang berintikan kepemilikan atas alat-alat produksi berada dalam tangan segelintir orang (yakni para burjuis alias kapitalis), memperlihatkan kontradiksinya. Logika kapitalisme pada saat yang sama mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengerangkeng mereka di dalam keluarga-keluarga dalam artian tradisional. Kok bisa? Pertama, Kapitalisme mempergunakan lembaga keluarga tradisional untuk memastikan kaum buruh laki-laki tetap memiliki kondisi yang prima untuk bekerja. Peran kaum perempuan, dalam status mereka sebagai istri, adalah melayani suami-suami mereka. Kedua, Kapitalisme mempergunakan lembaga keluarga tradisional untuk memastikan kaum buruh memiliki anak-anak yang kelak akan menjadi generasi buruh menggantikan mereka. Peran kaum perempuan, dalam status mereka sebagai ibu, adalah merawat dan membesarkan anak-anak mereka untuk menjadi buruh-buruh para tuan/nyonya majikan.
Dalam batasan keluarga tradisional, seburuk-buruknya kaum perempuan mengalami penindasan kapitalistik yang terjadi melalui lembaga keluarga tradisional. Sebaik-baiknya, mereka mengalami penghisapan sebagai buruh perempuan sekaligus “ditakdirkan” untuk tugas-tugas domestik: melayani para suami dan membesarkan anak-anak mereka. Dalam kedua kasus tersebut, kaum perempuan dihambat dari kemungkinan untuk mewujudkan dirinya. Di lain pihak, si kapitalis akan menikmati keuntungan yang sangat besar. Dalam kasus yang pertama, ia selalu memiliki buruh laki-laki dalam kondisi prima dan mempunyai “pasokan tenaga kerja” yang dipersiapkan oleh kaum perempuan. Dalam kasus yang kedua, keuntungannya semakin besar, karena ia juga memiliki buruh perempuan, yang lazimnya bisa dibayarnya lebih murah daripada buruh laki-laki.
Visi Sosialis
Berkomitmen pada pembebasan sejati kaum perempuan, Sosialisme menyatakan bahwa tatanan masyarakat yang mengenal perbedaan klas (dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi sebagai akar atau basis materialnya) adalah lahan yang subur bagi kekuasaan laki-laki (patriarki) dan penindasan terhadap kaum perempuan. Masyarakat perbudakan dan masyarakat feodal menyingkirkan kaum perempuan dari proses produksi dan menempatkan mereka dalam posisi yang bergantung sepenuhnya pada laki-laki. Penyingkiran dan penempatan ini dilembagakan dalam pranata sosial berupa keluarga tradisional. Di dalamnya kaum perempuan “menunaikan tugas mulia”: melayani suami dan mengasuh anak.
Masyarakat kapitalis mewarisi keluarga tradisional dari epos sebelumnya. Di satu sisi Kapitalisme menggoyang keluarga tradisional dengan membawa kembali kaum perempuan ke dalam proses produksi. Dengan jalan itu, sebenarnya kaum perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki. Tapi di sisi lain kapitalisme berkepentingan terhadap kelestarian keluarga tradisional karena memberinya keuntungan atau manfaat yang sangat besar. Karena itu, melalui para “produsen ideologi”-nya, yakni kaum cendikia yang nafkahnya bergantung pada “cipratan” profit (nilai lebih) yang dihisap kaum kapitalis dari hasil kerja kaum buruh, kapitalisme berusaha meyakinkan rakyat pekerja bahwa “keluarga tradisional” itu merupakan fondasi yang kekeramatannya harus dijaga demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Agama-agama digunakan oleh kelas penguasa sebagai “paduan suara” yang mengagungkan ”keluarga tradisional” yang pada dasarnya menjadi sarana kapitalisme menindas kaum perempuan itu.
Pada titik ini tentulah kita mengerti visi Sosialisme: pembebasan kaum perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan mengakhiri kepemilikan pribadi dan masyarakat klas serta membangun masyarakat baru, masyarakat Sosialis. Dengan perkataan lain, pembebasan kaum perempuan terlaksana melalui perjuangan Sosialis. Hanya di dalam tatanan masyarakat di mana alat-alat produksi dimiliki, dikontrol, dan diakses secara demokratis oleh laki-laki dan perempuan rakyat pekerjalah pembebasan kaum perempuan akan benar-benar dapat diwujudkan. Hanya dalam masyarakat seperti itulah kaum perempuan akan benar-benar dapat beraktualisasi atau mewujudkan dirinya secara penuh. Dalam masyarakat tersebut pranata sosial yang bernama keluarga, andaikata toh masih ada, akan kehilangan karakter “tradisional”-nya sebagai unit penindasan kaum perempuan. Keluarga rakyat pekerja dalam masyarakat Sosialis adalah wahana perayaan cinta kasih manusiawi yang murni dari insan-insan yang merdeka, mandiri, dan setara, tanpa noda perhambaan pihak yang satu kepada pihak yang lain, apalagi terkooptasi kepentingan Kapital.
Apakah visi tersebut pernah menjadi kenyataan?
Tentu saja! Revolusi Bolshevik 1917 berhasil mewujudkan kebebasan dan kemandirian kaum perempuan serta mengukuhkan kesetaraannya dengan laki-laki. Hak-hak perempuan untuk menentukan sikap terhadap seks, perkawinan, dan kehamilan dijamin sepenuhnya. “Pekerjaan-pekerjaan rumahtangga” seperti mengasuh anak, mencuci pakaian, menyiapkan makanan, dan merawat orangtua yang sudah lanjut usia menjadi tanggungjawab masyarakat. Dengan demikian kaum perempuan dapat mengontrol sendiri hidup mereka serta memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk beraktualisasi. Itulah pencapaian sebuah revolusi Sosialis!
Sayangnya, badai kontra-revolusi yang dilancarkan oleh musuh-musuh Negara Buruh yang baru lahir itu lambat-laun membalikkan keadaan itu. Rakyat pekerja Uni Soviet menghadapi musuh di dua front, yakni gabungan pasukan-pasukan imperialis dari luar dan kekuatan-kekuatan anti Uni Soviet dari dalam. Sementara itu, revolusi-revolusi sosialis di negeri-negeri kapitalis maju mengalami kegagalan. Negara Buruh itu kehilangan banyak kaum buruh revolusionernya yang gugur di medan laga, mengalami kemacetan industri dan wabah kelaparan. Saat itulah birokrasi Stalinis, yang tak lain dari kekuatan kontra-revolusi dalam tubuh Partai Bolshevik, muncul dan mengambilalih kekuasaan dari tangan rakyat pekerja. Kediktatoran birokrasi Stalinis, yang meyakini bahwa Sosialisme dapat didirikan di dalam satu negeri, mengembalikan keluarga-keluarga tradisional yang berkarakter menindas perempuan itu ke posisinya sebagai fondasi yang keramat bagi pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara. Perempuan pun kembali mengalami penindasan.
Kita percaya bahwa pembebasan kaum perempuan hanya dapat dicapai melalui kekuatan kolektif proletariat alias klas buruh. Hanya dengan persatuan revolusioner kaum buruh perempuan dan kaum buruh laki-laki bersama-sama dengan saudara-saudara dan saudari-saudari kaum tertindas lainnya, masyarakat klas akan berakhir, Sosialisme akan dimulai, dan pembebasan kaum perempuan akan menjadi kenyataan.
Pada tingkatan tertentu, mungkin tak terlalu pas dijabarkan,
feminisme sosialis telah ada sejak lama. Kau adalah perempuan di dalam
masyarakat kapitalis. Kau dilanda amarah: menyangkut pekerjaan,
tagihan-tagihan, suamimu (atau mantan), sekolah anak-anak, pekerjaan rumah,
cantik atau tak cantik, diperhatikan atau tak diperhatikan (dan juga tak
didengar), dll. Jika kau memikirkan semua ini dan bagaimana semua itu cocok
satu sama lain, serta apa yang harus diubah, kemudian kau mencari kata-kata
yang sekaligus menyiratkan semua pikiran ini dalam bentuk singkat, kau akan
hampir mendapatkan apa yang disebut “feminisme sosialis.”
Banyak diantara kita menjadi feminisme sosialis hanya
dari cara semacam itu. Kita sedang mencari sebuah kata/istilah/frasa untuk
mulai mengekspresikan semua keresahan kita, semua prinsip kita, dengan cara
yang sepertinya bukan “sosialis” maupun “feminis”. Aku harus akui bahwa banyak
kaum feminis sosialis yang aku kenal juga tak senang dengan istilah “feminis
sosialis”. Di satu sisi (istilah) itu terlalu panjang (aku tak berharap pada
suatu sambungan pergerakan massa); di sisi lain nama itu juga masih
terlalu pendek untuk apa yang disebut feminisme sosialis internasionalis
antirasis dan anti heteroseksis.
Persoalan ketika memberi label baru pada sesuatu
adalah ia serta merta menciptakan aura sektarianisme. “Feminisme sosialis”
menjadi suatu tantangan, suatu misteri, suatu bahasan dalam dan pada dirinya
sendiri. Kita memiliki para pembicara, konferensi-konferensi, artikel-artikel
mengenai “feminisme sosialis”—meskipun kita tahu persis bahwa baik “sosialisme”
dan “feminisme” terlalu besar dan terlalu umum sebagai bahan yang bagus untuk
setiap pidato, konferensi, artikel, dll. Orang, termasuk yang menyatakan diri
sebagai feminis sosialis, bertanya pada diri mereka sendiri, “Apa itu feminisme
sosialis?” Ada semacam ekspektasi bahwa ia adalah (atau akan demikian dalam
beberapa saat, mungkin dalam pidato, konferensi atau artikel berikutnya)
sintesis yang brilian dari bagian-bagian historis dunia—suatu lompatan
evolusioner Marx, Freud, dan Wollstonecraft. Atau ia akan berubah menjadi tiada
arti, suatu model yang digunakan oleh segelintir feminis dan sosialis feminis
yang resah, suatu gangguan sementara saja.
Aku mau mencoba menerobos beberapa misteri yang telah
tumbuh disekitar feminisme sosialis. Suatu cara logis memulainya adalah
dengan melihat sosialisme dan feminisme secara terpisah. Bagaimana
seorang sosialis, lebih tepatnya, seorang Marxis, melihat dunia? Bagaimana
seorang feminis? Untuk memulainya, Marxisme dan Feminisme memiliki memiliki
satu kesamaan penting: keduanya adalah cara pandang kritis dalam
melihat dunia. Keduanya menghancurkan mitologi rakyat dan
kebiasaan “awam” dan memaksa kita untuk melihat pengalaman dengan suatu cara
baru. Keduanya mencoba memahami dunia—bukan dalam bentuk keseimbangan
statis, simetris, dll (seperti dalam ilmu sosial konvensional)—namun dalam
bentuk yang antagonisme. Keduanya menuju kesimpulan yang
menggelegar dan menggelisahkan dan, disaat bersamaan, juga membebaskan.
Tak akan bisa memiliki cara pandang Marxis atau feminis dan tetap sekadar
menjadi seorang penonton. Untuk memahami realitas yang dijentrengkan oleh
analisa ini, artinya bergerak menjadi aksi untuk mengubahnya.
Marxisme mengarahkan dirinya pada dinamika kelas dalam
masyarakat kapitalis. Setiap ilmuwan sosial tahu bahwa masyarakat kapitalis
ditandai oleh, lebih kurang, ketidaksetaraan yang sistemik. Marxisme mengerti
ketidaksetaraan ini muncul dari proses yang melekat pada kapitalisme sebagai
suatu sistem ekonomi. Minoritas orang (kelas kapitalis) memiliki seluruh
pabrik-pabrik/sumber-sumber energi/sumber-sumber daya, dll, yang membuat
mayoritas orang lain bergantung padanya untuk dapat bertahan hidup. Mayoritas
(kelas pekerja) harus memenuhi semua kebutuhan, di bawah kondisi yang
diciptakan oleh kapitalis, sesuai upah yang dibayar kapitalis. Karena kapitalis
menghasilkan keuntungan dengan membayar upah lebih rendah daripada nilai
sebenarnya yang diciptakan oleh pekerja, hubungan antara dua kelas ini tak
terhindarkan menjadi salah satu antagonisme yang tak terdamaikan. Kelas
kapitalis bergantung hidup pada kesinambungan eksploitasi atas kelas pekerja.
Apa yang mempertahankan sistem kekuasaan kelas ini, pada akhirnya, (adalah)
kekerasan. Kelas kapitalis mengontrol (secara langsung maupun tak langsung)
alat-alat kekerasan terorganisir dalam wujud negara—polisi, penjara, dll. Hanya
dengan mengobarkan perjuangan revolusioner yang bertujuan mengambil alih
kekuasaan negara maka kelas pekerja dapat membebaskan dirinya, dan pada akhirnya,
semua orang.
Feminisme mengarahkan dirinya pada ketidaksetaraan
yang lazim lainnya. Seluruh masyarakat manusia ditandai oleh sekian derajat
ketidaksetaraan antar jenis kelamin. Jika kita sekilas mengamati masyarakat
manusia, disepanjang sejarah dan di berbagai benua, kita lihat bahwa mereka
sama-sama dicirikan oleh: penundukan perempuan di bawah otoritas laki-laki,
baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat secara umum; pemberhalaan
perempuan sebagai sebuah properti; pembagian kerja seksual dimana perempuan
dibatasi pada aktivitas seperti pemeliharaan anak, merawat orang tua laki-laki,
dan bentuk-bentuk khusus kerja produktif (biasanya bereputasi rendah).
Kaum feminis, diserang oleh kelaziman yang
hampir-hampir universal dari semua itu, telah mencari suatu penjelasan dari
‘takdir’ biologis yang terdapat di sepanjang kehidupan sosial manusia.
Laki-laki secara fisik lebih kuat dari perempuan rata-rata, khususnya
dibandingkan perempuan hamil atau perempuan yang menyusui bayi. Lebih jauh
lagi, laki-laki memiliki kekuasaan untuk membuat perempuan hamil. Oleh karena
itu bentuk-bentuk ketidaksetaraan seksual terletak—meski beragam bentuknya dari
satu budaya ke budaya lain–, akhirnya, pada apa yang dengan jelas berupa
kelebihan fisik yang laki-laki miliki atas perempuan. Yang artinya, akhirnya,
terletak pada kekerasan, atau pada ancaman kekerasan.
Akar biologis dan paling awal dari supremasi
laki-laki—sebenarnya kekerasan laki-laki—biasanya dikaburkan oleh hukum-hukum
dan konvensi yang mengatur hubungan antar jenis kelamin dalam budaya tertentu
di manapun. Namun, penindasan itu ada menurut analisis feminis. Kemungkinan
serangan/pelecehan laki-laki terjadi sebagai suatu peringatan terus menerus
terhadap perempuan yang “nakal/jahat” (melawan, agresif), dan membuat perempuan
“baik” menjadi bertanggung jawab ke dalam supremasi laki-laki. Penghargaan
karena telah menjadi “baik” (“cantik”, “patuh”) adalah (mendapat) perlindungan
dari berbagai kekerasan laki-laki dan, dalam beberapa kasus, jaminan ekonomi.
Marxisme menghancurkan mitos mengenai “demokrasi” dan
“pluralisme”nya dengan menunjukkan suatu sistem kekuasaan kelas yang
bersandarkan pada pemaksaan eksploitasi. Feminisme menghancurkan mitos mengenai
“insting” dan cinta romantis untuk menunjukkan aturan laki-laki sebagai aturan
kuasa. Kedua analisa menghendaki kita melihat pada ketidakadilan yang
mendasar. Pilihannya adalah memenuhi kehendak mitos-mitos tersebut, atau
seperti Marx menyebutnya, memperjuangkan tata kehidupan sosial yang tidak
membutuhkan mitos-mitos untuk mempertahankannya.
Adalah mungkin untuk menjumlahkan Marxisme dan
feminisme dan hasilnya “feminisme sosialis.” Sebetulnya, mungkin, inilah cara
pandang yang kerap digunakan oleh banyak kaum feminis sosialis–semacam hibrida,
mendorong feminisme kita ke dalam lingkaran sosialis, sosialisme kita ke
lingkaran feminis. Namun, satu persoalan ketika meninggalkannya demikian,
adalah, membuat orang tetap bertanya-tanya “Baiklah, tapi apa sebenarnya itu?”
atau menuntut pada kita “Apa kontradiksi pokoknya.” Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini, yang kedengarannya memaksa dan otoriter, seringkali menghentikan
kita dalam perjalanan: “Buatlah pilihan!” “Satu atau yang lainnya!” Namun
kita tahu bahwa terdapat suatu konsistensi politis terhadap feminisme sosialis.
Kita bukanlah hibrida atau netral tak bersikap.
Untuk menuju pada konsistensi politis tersebut kita
harus membedakan diri kita, sebagai feminis, dari feminis yang lain, dan
sebagai Marxis, dari Marxis lainnya. Kita harus mengawasi (maaf atas terminologinya) feminisme
jenis feminis sosialis dan sosialisme jenis sosialis feminis. Hanya dengan
begitu terdapat satu kemungkinan hal-hal akan “berarti” lebih dari (sekadar)
suatu penyajaran (pensejajaran) yang problematik.
Kupikir banyak kaum feminis radikal dan feminis
sosialis akan setuju pada kapsul karakterisasi ku terhadap feminisme sejauh
ini. Masalahnya dengan kaum feminisme radikal, dari sudut pandang feminis
sosialis adalah, ia tak akan menuju ke mana-mana. Ia tetap terpaku pada
universalitas supremasi laki-laki—hal yang tak pernah benar-benar berubah;
semua sistem sosial yakni patriarki; imperialisme, militerisme, dan kapitalisme
adalah semata-mata ekspresi dari agresifitas bawaan laki-laki. Dan lain-lain.
Masalahnya dengan ini, dari sudut pandang sosialis
feminis, adalah bukan saja tak menyertakan laki-laki (dan kemungkinan
rekonsiliasi dengan mereka atas landasan yang benar-benar setara dan
kemanusiaan) namun juga meninggalkan banyak hal buruk tentang perempuan.
Contohnya, mendistorsi negeri sosialis seperti China sebagai “patriarki”— saya
dengar kaum feminis radikal mengatakannya—adalah mengabaikan perjuangan nyata
dan capaian jutaan perempuan. Feminis sosialis, sambil bersetuju bahwa terdapat
hal yang universal dan tanpa batas waktu menyangkut penindasan perempuan, telah
menegaskan bahwa hal itu memiliki berbagai bentuk berbeda dalam seting
berbeda-beda, dan perbedaan itu adalah sangat penting. Terdapat perbedaan
antara suatu masyarakat dimana seksisme diekspresikan dalam bentuk pembunuhan
bayi perempuan, dan suatu masyarakat dimana seksisme mengambil bentuk
perwakilan tak setara di dalam Komite Sentral. Dan perbedaan tersebut pantas
diperjuangkan hidup dan mati.
Salah satu variasi historis menyangkut seksisme, yang
harus diperhatikan seluruh kaum feminis, adalah seperangkat perubahan yang
muncul bersama dengan transisi dari suatu masyarakat agraris ke masyarakat
industri kapitalisme. Ini bukanlah isu akademik. Sistem sosial yang
digantikan kapitalisme industrial pada dasarnya adalah sistem sosial
patriarkis, dan aku menggunakan istilah ini sekarang dalam makna aslinya, untuk
mengartikan suatu sistem dimana produksi dipusatkan dalam rumah tangga dan
dipimpin oleh laki-laki tertua. Kenyataannya adalah bahwa kapitalisme
industrial hadir dan merobek sistem tersebut dari bawah patriarki. Produksi
dibawa ke pabrik-pabrik dan individu ditarik dari keluarga untuk menjadi
pekerja upahan “bebas”. Mengatakan bahwa kapitalisme mengacaukan organisasi
produksi patriarkal dan kehidupan keluarga, bukan, tentu saja, mengatakan bahwa
kapitalisme menghapuskan supremasi laki-laki! Namun benar bahwa bentuk-bentuk
tertentu dari penindasan jenis kelamin yang kita alami saat ini, hingga derajat
yang signifikan, adalah perkembangan yang baru. Suatu
diskontinuitas historis terbentang antara kita dan patriarki yang sebenarnya. Jika
kita hendak memahami pengalaman kita sebagai perempuan hari ini, kita harus
bergerak pada suatu pemikiran mengenai kapitalisme sebagai suatu sistem.
Pasti terdapat cara lain agar aku dapat sampai pada
poin yang semacam ini. Aku dapat saja sekedar bilang bahwa, sebagai feminis,
kita paling banyak tertarik pada perempuan yang paling tertindas—perempuan
miskin dan kelas pekerja, perempuan di dunia ketiga, dll—dan atas alasan ini
kita mengarah pada kebutuhan untuk memahami dan mengkonfrontasi kapitalisme.
Aku dapat saja bilang bahwa kita butuh menekankan sistem kelas karena kita
adalah anggota kelas. Namun aku mencoba menunjukkan hal lain mengenai
perspektif kita sebagai feminis: bahwa tak mungkin kita mengerti seksisme
sebagai suatu tindakan atas hidup kita, tanpa meletakkannya ke dalam konteks
historis kapitalisme.
Kupikir, sejauh ini, mayoritas feminis sosialis juga
akan setuju dengan kemasan kapsul teori Marxis. Dan masalahnya lagi-lagi adalah
bahwa banyak sekali orang (aku menyebutnya ”Marxis mekanik”) yang tidak
beranjak ke mana-mana. Kepada orang-orang ini, satu-satunya yang “nyata” dan
penting yang terjadi dalam masyarakat kapitalis adalah hal-hal yang terkait
proses produktif atau lapangan politik konvensional. Dari sudut pandang
tersebut, setiap bagian lain pengalaman dan keberadaan sosial—hal-hal yang
terkait pendidikan, seksualitas, rekreasi, keluarga, seni, musik, kerja rumah
tangga (sebutkan saja)—merupakan pinggiran dari dinamika utama perubahan
sosial; hal tersebut adalah bagian dari “superstruktur” atau “kebudayaan”.
Feminis sosialis berada pada kubu yang sangat berbeda
dari apa yang aku sebut “Marxis mekanik.” Kita (bersama dengan banyak, banyak
Marxis lainnya yang tidak feminis) melihat kapitalisme sebagai suatu totalitas
sosial dan kebudayaan. Kita memahami bahwa dalam kepentingannya mencari pasar,
kapitalisme berkehendak memasuki setiap pojok dan celah kehidupan sosial.
Khususnya pada fase kapitalisme monopoli, lapangan konsumsi sekecil apapun sama
penting, dari sudut pandang ekonomi saja, seperti halnya dalam lapangan
produksi. Sehingga kita tidak bisa memahami perjuangan kelas sebagai sesuatu
yang terbatas pada isu upah dan jam kerja, atau sebatas isu-isu tempat kerja. Perjuangan
kelas terjadi dalam setiap arena dimana kepentingan-kepentingan kelas
berkonflik, dan itu termasuk pendidikan, kesehatan, seni, music, dll. Kita
bertujuan untuk mentransformasi tak hanya kepemilikan alat-alat produksi,
melainkan totalias kehidupan sosial.
Sebagai Marxis, kita mendekati feminisme dari tempat
yang benar-benar berbeda ketimbang Marxis mekanik. Karena kita melihat
kapitalisme monopoli sebagai sebuah totalitas politik, ekonomi, dan kebudayaan,
kita memiliki ruang di dalam bingkai Marxis terhadap isu-isu feminisme yang tak
berhubungan jelas dengan produksi atau “politik”, isu-isu yang memiliki
hubungan dengan keluarga, layanan kesehatan, dan kehidupan “pribadi”.
Lebih jauh lagi, di dalam jenis Marxisme kita, tidak
ada “persoalan perempuan”, karena sejak awal kita tidak pernah
mengkompartementalisasi perempuan keluar dari “superstruktur” atau (diletakkan)
di tempat lain. Marxis dengan kecenderungan mekanik terus menerus mendengungkan
isu perempuan tak berupah (ibu rumah tangga): apakah ia anggota kelas pekerja?
Tepatnya, apakah ia benar-benar memproduksi nilai lebih? Kita bilang, tentu
saja ibu-ibu rumah tangga adalah anggota kelas pekerja—bukan karena kita
memiliki bukti jelas apakah mereka benar-benar memproduksi nilai lebih—namun
karena kita mengerti, bahwa kelas terdiri dari orang-orang, dan memiliki suatu
kehidupan sosial yang jauh (berbeda) dari areal produksi yang didominasi
kapitalis. Ketika kita memikirkan kelas dengan cara ini, lalu kita lihat bahwa
pada dasarnya perempuan yang tampak paling terpinggir, ibu-ibu rumah tangga,
berada (justru) pada jantung kelasnya—membesarkan anak, menyatukan keluarga,
memelihara jaringan kultural dan sosial komunitas.
Kita menjadi satu jenis feminisme dan satu jenis
Marxisme yang kepeduliannya beriring berjalan secara cukup natural. Kupikir
sekarang kita sampai pada posisi untuk melihat mengapa feminisme sosialis telah
begitu dimistifikasi: gagasan feminisme sosialis merupakan misteri besar atau
paradoks, sepanjang yang dimaksud sosialisme adalah yang aku sebut “Marxisme
mekanik” dan apa yang dimaksud dengan feminisme adalah suatu jenis feminisme
radikal yang ahistoris. Kedua hal ini tak bisa sekadar dihubung-hubungkan;
mereka tak sama.
Namun jika kau rekatkan bersama sosialisme jenis lain
dan feminisme jenis lain, seperti yang aku coba definisikan, kau akan dapat
beberapa landasan yang sama dan itu adalah salah satu yang terpenting mengenai
feminisme sosialis saat ini. Ia adalah ruang—bebas dari penciutan atas
feminisme yang dipendekkan dan versi Marxisme yang dipendekkan—dimana kita
dapat mengembangkan jenis politik yang mengurusi totalitas
politik/ekonomi/kebudayaan dari masyarakat kapitalis monopoli. Kita hanya dapat
menuju ke sana, sejauh ini, melalui jenis feminisme yang sudah ada, jenis
Marxisme konvensional, dan lalu kita harus memutus untuk menjadi sesuatu yang
tidak terlalu terbatas dan tak lengkap dalam pandangannya tentang dunia. Kita
harus mengambil nama baru, “feminisme sosialis”, bertujuan untuk menyatakan
kehendak kita menyatukan keseluruhan pengalaman kita dan membangun suatu
politik yang merefleksikan totalitas dari kesatuan tersebut.
Namun demikian, aku tidak mau meninggalkan teori
feminisme sosialis sebagai suatu “ruang” atau landasan bersama. Hal-hal
memang mula-mula berkembang dalam “landasan” tersebut. Kita menjadi lebih dekat
pada suatu sistesis dalam pemahaman kita mengenai seks dan kelas, kapitalisme
dan dominasi laki-laki, dibandingkan beberapa tahun lalu. Di sini aku akan
mengindikasikan, hanya dengan sekilas-ringkas, menyangkut garis pemikiran
tersebut:
- Pemahaman Marxis/feminis bahwa dominasi kelas dan seks bersandarkan, akhirnya, pada kekerasan adalah benar, dan ini tetap menjadi kritik paling jahat terhadap masyarakat kapitalis/seksis. Namun terdapat banyak hal terkait pernyataan “akhirnya” tersebut. Dalam hal kesehariaan, banyak orang rela pada dominasi kelas dan seks tanpa dibariskan oleh ancaman kekerasan, dan seringkali bahkan tanpa ancaman kekurangan material.
- Maka sangat penting kemudian, untuk mencari tahu apa itu, jika bukan penggunaan kekerasan secara langsung, dalam menjalankan segala sesuatu. Menyangkut kelas, sudah banyak yang menulis tentang kenapa kelas pekerja AS kurang memiliki kesadaran kelas yang militan. Tentu saja pembagian etnik, khususnya pemisahan hitam/putih, merupakan bagian kunci jawabannya. Namun aku berpendapat, selain dibuat pemisahan, kelas pekerja secara sosial sudah diatomisasi (dipisah-pisah). Lingkungan kelas pekerja telah dihancurkan dan dibuat rusak; hidup telah diprivatisasi sedemikian rupa dan mementingkan diri sendiri; keterampilan yang dahulu dimiliki kelas pekerja telah diambil alih oleh kelas kapitalis; dan “kebudayaan massa” yang dikontrol kapitalis menyisihkan hampir semua institusi dan kebudayaan asli kelas pekerja. Bukannya kolektifitas dan kemandirian sebagai sebuah kelas, (namun justru) terdapat saling isolasi dan ketergantungan kolektif pada kelas kapitalis.
- Penundukan perempuan, yang dikarakterisasi oleh masyarakat kapitalis tahap lanjut, merupakan kunci dari proses atomisasi kelas ini. Atau dengan kata lain, kekuatan-kekuatan yang telah mengatomisasi kehidupan kelas pekerja dan mempromosikan ketergantungan material/kebudayaan pada kelas kapitalis adalah kekuatan yang sama yang bertanggung jawab terhadap penundukan perempuan. Perempuan lah yang paling terisolasi dalam keberadaan keluarga yang telah semakin terprivatisasi (bahkan juga ketika mereka bekerja di luar rumah). Itulah, dalam banyak contoh, keterampilan perempuan (keterampilan produksi, pengobatan, kebidanan, dll), yang telah diragukan bahkan dilarang demi melapangkan jalan bagi komiditas. Perempuanlah, pertama-tama, yang didorong menjadi benar-benar pasif/tidak kritis/bergantung (dengan kata lain “feminin”) berhadapan dengan sebaran penetrasi kapitalis ke dalam kehidupan pribadi. Secara historis, penetrasi kapitalis tahap lanjut pada kehidupan kelas pekerja telah memilih perempuan sebagai target utama pasifikasi/”feminisasi”—karena perempuan adalah para pemegang-kebudayaan kelas mereka.
- Selanjutnya terdapat interkoneksi mendasar antara perjuangan perempuan dengan apa yang secara tradisional dipahami sebagai perjuangan kelas. Tidak semua perjuangan perempuan secara inheren memiliki desakan antikapitalis (khususnya bukan mereka yang hanya menghendaki kekuasaan dan kekayaan bagi kelompok perempuan tertentu), namun, semua yang membangun kolektivitas dan kemandirian kolektif di kalangan perempuan, sangat penting untuk pembangunan kesadaran kelas. Selain itu, tidak semua perjuangan kelas secara inheren memiliki desakan antiseksis (khususnya bukan mereka yang menggandol nilai-nilai patriarkal praindustri), namun, semua yang berkehendak membangun otonomi sosial dan kebudayaan kelas pekerja, sangat berkaitan dengan perjuangan pembebasan perempuan.
Ini merupakan, dalam garis besar yang sangat kasar,
satu arah yang diambil oleh analisis feminis sosialis. Tak ada yang
mengharapkan suatu sintesa muncul yang akan menjatuhkan perjuangan feminis dan
sosialis menjadi hal yang sama. Kapsul rangkuman yang aku berikan
sebelumnya mengandung kebenaran “akhir”: bahwa terdapat aspek-aspek penting
dari dominasi kapitalis (seperti penindasan rasial) yang perspektif feminis
murni tidak dapat mengaitkan atau mengatasinya—tanpa distorsi yang aneh.
Terdapat aspek-aspek penting dari penindasan seks (seperti kekerasan laki-laki
di dalam keluarga) yang sangat sedikit ada dalam pemikiran sosialis—lagi, tanpa
distorsi dan banyak pengaretan. Oleh karena itu butuh untuk terus menjadi
sosialis dan feminis. Namun, terdapat cukup sistesis, baik dalam apa yang kita
pikirkan dan apa yang kita lakukan, untuk mulai percaya diri memiliki identitas
sebagai feminis sosialis.
Kaum perempuan, emansipasikanlah
dirimu dengan turut berjuang bersama proletariat menumbangkan kapitalisme dan
mendirikan masyarakat Sosialis! Di sanalah pembebasanmu! Di sanalah aktualisasi
sejatimu!
0 komentar:
Posting Komentar