Sumber : Google Image |
Tulisan
ini membahas pergeseran wacana diskriminasi terhadap perempuan menjadi
kekerasan terhadap perempuan dalam hukum positif dan studi perempuan di
Indonesia. Pergeseran wacana itu juga mengubah bentuk-bentuk kasus hukum
berbasis gender. Akibatnya adalah apabila wacana diskriminasi diarahkan
pada upaya memperjuangkan kesetaraan, maka sejak itu para feminis
Indonesia seperti melupakan perjuangan kesetaraan gender. Mereka seperti
sibuk mengurangi jumlah dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
yang tak dengan sendirinya akan bermuara pada kesetaraan gender. Pada
bagian akhir tulisan ini akan membahas makna pergeseran wacana tersebut
bagi perjuangan feminisme di Indonesia.
Pengantar
Kira-kira
sampai dengan tahun 2005 studi perempuan di Indonesia masih menggunakan
kata “diskriminasi” sebagai wacana utamanya. Istilah “diskriminasi
wanita” atau “diskriminasi gender” mendominasi tulisan para feminis
Indonesia. Tapi sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), istilah “kekerasan
terhadap perempuan” secara perlahan tapi pasti menggusur istilah
“diskriminasi gender” atau “diskriminasi terhadap perempuan” dari wacana
studi perempuan dan praktik hukum di Indonesia.
Pasal 1
UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Kekerasan terhadap Wanita mendefinisikan diskriminasi terhadap
wanita sebagai “setiap pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun oleh
kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar
persamaan antara pria dan wanita”. Uraian itu menunjukkan, bahwa
diskriminasi―yang berupa pembedaan, pengucilan dan
pembatasan―berdasarkan gender ditujukan untuk membuat seseorang tak bisa
mengakui, menikmati dan menggunakan HAM dan membuat pria dan wanita tak
setara.
Sementara Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan “kekerasan” dalam rumahtangga sebagai “…
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan Pasal 5 UU
PKDRT merumuskan bentuk kekerasan dalam rumahtangga sebagai kekerasan
fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumahtangga.
Kedua
pasal itu mengaitkan “kekerasan” dengan “kesengsaraan atau penderitaan”.
Kesengsaraan atau penderitaan adalah keadaan yang secara
empirik―setidaknya berdasarkan laporan korban―bisa dilacak. Kita bisa
melihat luka bekas pukulan, psikolog bisa melihat trauma, dan perkosaan
atau penelantaran ekonomis juga meninggalkan jejak. Bahkan pembentukan
UU PKDRT hanya didasarkan pada UUD 1945 dan bukan pada UU Nomor 7 Tahun
1984 yang Pasal 16-nya mewajibkan negara peserta konvensi membuat
peraturan penghapus diskriminasi terhadap wanita di perkawinan dan
hubungan kekeluargaan. Mungkin karena itu popularitas UU PKDRT ini telah
melampaui UU Nomor 7 Tahun 1984 dan tersingkirlah istilah diskriminasi
dari wacana hukum tentang perempuan di Indonesia.
Tulisan
ini hendak membahas bagaimana wacana kekerasan terhadap perempuan
menggeser wacana diskriminasi terhadap perempuan dalam hukum positif dan
tulisan para feminis. Tulisan ini juga akan membahas bagaimana
perubahan wacana itu mengubah bentuk kasus hukum berbasis gender. Pada
bagian akhir akan dibahas makna pergeseran wacana tersebut bagi
perjuangan feminisme di Indonesia.
Hukum sebagai Wacana
Carol Smart―seorang pemikir hukum feminis dari Inggris―menyatakan: “Although
law is not a ‘science’ it is well able to make the same claims to truth
as the sciences, and in so doing exercises a power which is not under
threat.”[1] Berdasarkan hal itu Smart menyatakan, bahwa kita lebih tepat memahami hukum sebagai sistem pengetahuan daripada sistem peraturan.[2] Alasannya, pertama, dalam kenyataannya hukum diterapkan berdasarkan kriteria hukum dan non-hukumyang
membuat banyak hakim sering menjatuhkan keputusan untuk kasus-kasus
sejenis secara tidak konsisten.[3] Yang penting adalah bagaimana akal
sehat masyarakat bisa menerima keputusan-keputusan pengadilan itu.
Alasan keduaadalah sebagai sistem pengetahuan,
hukum juga mampu mendiskualifikasi berbagai kebenaran yang dimunculkan
oleh pengetahuan-pengetahuan lain seperti agama, filsafat, sains, ilmu
pengetahuan sosial ataupun pengalaman hidup seseorang.[4] Tentang alasan
yang kedua ini Smart menyatakan:
- If we accept that law, like science, makes a claim to truth and that this is indivisible from the exercise of power, we can see that law exercises power not simply in its material effects (judgements) but also in its ability to disqualify other knowledges and experiences. Non-legal knowledge is therefore suspect and/or secondary. Everyday experiences are of little interest in terms of their meaning for individuals. Rather these experiences must be translated into another form in order to become ‘legal’ issues and before they can be processed through the legal system.[5]
Smart
memperoleh gagasan tentang hukum sebagai sistem pengetahuan ini dari
pemikiran Michel Foucault.[6] Menurut Foucault, pengetahuan dan kuasa
bukan merupakan dua entitas yang berbeda. Kebenaran pengetahuan bukan
masalah kesesuaian antara pikiran (teori) dengan realitas di luar
pikiran, tapi masalah bagaimana sebuah form of knowledge ilmiah atau populer dibentuk oleh aturan main khusus
yang berupa proposisi, dapat menyatakan diri dalam suatu
perbincangan.Sehingga―kata Foucault―menerima atau menolak kebenaran
sebuah proposisi ilmiah sebenarnya merupakan“…the politics of the scientific statement”. Dengan kata lain, kebenaran sebuah pengetahuan adalah masalah politik wacana, alias masalah kuasa:
- Tapi dalam hal ini yang terpenting bukanlah perubahan seperti itu dapat dipercepat atau diperluas, melainkan perluasan dan percepatan ini hanyalah menandakan sesuatu yang lain –yaitu sebuah modifikasi peraturan-peraturan mengenai formasi dari berbagai pernyataan yang diterima sebagai kebenaran ilmiah. Jadi, hal ini sama sekali tidak menyangkut perubahan isi (penolakan atas berbagai kesalahan masa lalu, perbaikan atas kebenaran masa lalu), ataupun perubahan bentuk teoritis (pembaharuan paradigma, modifikasi atas berbagai kebetulan sistematis). Ini merupakan sebuah pertanyaan tentang apa yang mengendalikan (governs) pernyataan-pernyataan, dan tentang cara mereka saling mengendalikan, sehingga membentuk seperangkat proposisi yang secara ilmiah dapat diterima, dan karenanya dapat diverifikasi atau difalsifikasi melalui prosedur ilmiah. Pendeknya, semua itu adalah masalah rezim, masalah politik pernyataan ilmiah.[7]
Akibatnya seperti halnya berbagai pengetahuan lain, kata Smart, hukum juga tidak dapat menjadi sistem yang utuh (unified)
dan hanya mencerminkan kepentingan pria atau negara saja.[8] Setiap
orang, berdasarkan latar belakang budayanya, bisa membuat beragam tafsir
tentang sebuah ketentuan hukum. Setidaknya hal ini terbukti dari
perbedaan keputusan para hakim untuk kasus-kasus sejenis. Tapi, ujar
Smart, justru dengan menerima anggapan tentang hukum sebagai sistem
pengetahuan dan bukan sebagai sistem aturan, maka para feminis dapat
mempersoalkan kuasa hukum dalam mendefinisikan identitas perempuan. Dan
hal ini adalah strategi yang mengguncang efek kuasa (to decentre) yang ditimbulkan oleh hukum terhadap mereka:
- Yet at least this provides a useful model which indicates how the power of formal law can be decentred. (…) It is therefore important for feminism to sustain its challenge to the power of law to define women in law’s terms. Feminism has the power to challenge subjectivity and to alter women’s consciousness. It also has the means to expose how law operates in all its most detailed mechanisms. In doing this it can increase the resistance to law and may effect a shift in power.[9]
Secara lebih tegas Smart menyatakan, bahwa dengan men-decentre
hukum para feminis harus mulai mengurangi keinginan untuk menggunakan
hukum untuk mengatasi berbagai masalah perempuan. Smart bahkan tidak
setuju dengan perlunya membentuk teori hukum feminis (feminist jurisprudence).
Menurutnya penggunaan hukum untuk mengatasi berbagai masalah perempuan
dan pembentukan teori hukum feminis hanya akan menobatkan hukum di
hierarki tertinggi pengetahuan.[10] Baginya ini merupakan fetisisme
hukum yang dapat menimbulkan efek juridogenicpada masyarakat. Efek juridogenic ini mirip dengan iatrogenic
di dunia medis, yaitu timbulnya penyakit baru karena penggunaan obat
untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Dengan kata lain efek juridogenic adalah:
- (…) in exercising law we may produce effects that make conditions worse, and that in worsening conditions we make the mistake of assuming that we need to apply more doses of legislation.[11]
Menurut
Smart yang harus kita usahakan adalah tidak menjadikan berbagai
persoalan perempuan sebagai semata-mata persoalan hukum. Hanya dengan
cara ini, maka para feminis dapat melontarkan perlawanannya dari luar
arena hukum:
- I am uncertain that we should be searching for a feminist jurisprudence which we could substitute for this totality. Rather we should seek to shift the understanding of, for example, rape into a critical deconstruction of naturalist heterosexuality. Rape should not be isolated in ‘law’, it must be contextualized in the domain of sexuality. (...). Law cannot resolve these structures of power, least of all when we recognize that its history, and the history of these divisions coincide. Yet law remains a site of struggle. While it is the case that law does not hold the key to unlock patriarchy, it provides the forum for articulating alternative visions and accounts.[12]
Begitulah,
seperti yang dikatakan oleh Smart, sebagai sistem pengetahuan, hukum
memang tak hanya diterapkan untuk menyelesaikan kasus hukum, tapi
terutama untuk mendiskualifikasikan berbagai kebenaran yang dihasilkan
oleh berbagai ilmu pengetahuan lain dan pengalaman hidup konkret
seseorang atau kelompok orang. Misalnya, seorang perempuan tidak akan
bisa menganggap tindakan seorang pria yang secara seksual telah
meruntuhkan harga dirinya sebagai perkosaan, hanya karena―seperti yang
diatur dalam Pasal 285 hukum pidana Indonesia―tindakan pria itu tidak
dilakukan dalam bentuk penetrasi penis ke vagina.
Sebaliknya
bila seorang feminis memahami hukum sebagai sistem pengetahuan, maka ia
akan dapat melontarkan kritiknya terhadap hukum dari luar arena resmi
hukum. Seperti yang dikatakan oleh Smart, seorang feminis dapat
menjadikan hukum sebagai situs perjuangannya dengan mengkritik
materi-materi hukum yang patriarkis dan menawarkan pandangan
alternatifnya. Berdasarkan kerangka teori yang ditawarkan oleh Carol
Smart ini kami akan mempersoalkan bagaimana pergeseran wacana
diskriminasi perempuan menjadi kekerasan terhadap perempuan itu
terbentuk dalam berbagai hukum positif di Indonesia, bagaimana para
feminis memaknainya, bagaimana kasus-kasus hukum berubah karenanya, dan
apa makna pergeserasan wacana itu bagi perjuangan feminis di Indonesia.
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempua.
Perempuan
dan pria memang berbeda. Tapi perbedaan tersebut akan secara
psikologis, sosial, politik, dan ekonomi merugikan perempuan bila
menjadi pembedaan gender. Pembedaan ini merugikan perempuan, karena akan
membuat mereka secara psikologis, sosial, politik dan ekonomi
tergantung pada pria. Karena itu pembedaan jenis kelamin atau gender ini
disebut sebagai diskriminasi gender. Arah dari pembahasan tentang
diskriminasi gender adalah untuk mewujudkan kesetaraan gender antara
pria dan perempuan.[13]
Sementara
para feminis internasional mendefinisikan kekerasan gender―dalam hal
ini kekerasan terhadap perempuan―adalah berbagai tindakan yang
mengakibatkan penderitaan fisik, seksual dan psikologis perempuan.
Berbagai tindakan yang mereka kategorikan sebagai kekerasan itu adalah
ancaman, pemaksaan atau pembatasan kebebasan, baik di ruang privat
maupun ruang publik. Ini adalah definisi yang mereka ambil dari
Deklarasi PBB tahun 1993 tentang “Elimination of Violence Against Women”.[14]
Dengan demikian bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan bisa
dikenali oleh pancaindra. Luka di tubuh, bekas perkosaan atau luka batin
bisa diukur dan dikenali oleh korban, orang di sekitarnya, dokter atau
psikolog.
Penyebab
kekerasan terhadap perempuan adalah diskriminasi gender, yakni
pandangan yang bias gender tentang hubungan antara pria dan perempuan.
Seorang pria bisa memukul, memerkosa, membatasi ruang gerak dan memaki
perempuan, karena ia dan masyarakat di sekitarnya menganggap status
sosial pria lebih tinggi daripada perempuan. Seperti yang dinyatakan
oleh Johnson, Ollus dan Navela:
- Individual acts of violence are supported overtly or tacitly by cultural, social or religious norms and economic inequalities, which can serve to undermine legal prohibitions against such acts. The term “gender-based violence” underscores the links between women’s social and economic status and their vulnerability to male violence.[15]
Tujuan
dari pembentukan wacana kekerasan terhadap perempuan ini adalah untuk
mengakhiri atau setidaknya mengurangi jumlah kekerasan terhadap
perempuan. Tak aneh bila banyak negara anggota PBB yang meratifikasi
Deklarasi PBB tahun 1993 tentang “Elimination of Violence Against Women”
tersebut dan kemudian menerbitkan berbagai ketentuan hukum nasional
yang mengkriminalkan berbagai bentuk kekerasan fisik, seksual,
psikologis dan ekonomi terhadap perempuan. Bahkan, kini kekerasan
terhadap perempuan dianggap sebagai kejahatan terhadap hak-hak asasi
perempuan.[16]
Tapi
apakah kriminalisasi atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan
tersebut akan mengakhiri atau setidaknya mengurangi diskriminasi
terhadap perempuan? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab kalau kita bisa
secara jelas membedakan diskriminasi terhadap perempuan dari kekerasan
terhadap perempuan. Apakah benar diskriminasi gender (dalam hal ini
diskriminasi negatif, bukan diskriminasi positif) adalah dasar dari
munculnya bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan? Kalau benar
demikian, maka apakah diskriminasi gender itu bukan merupakan sebuah
kekerasan? Apakah membedakan dan menganggap peran sosial dan budaya
perempuan sebagai lebih rendah daripada pria itu bukan merupakan
kekerasan?
Pembedaan
diskriminasi dari kekerasan terhadap perempuan hanya akan membuat
jumlah kekerasan terhadap perempuan bisa berkurang (dengan syarat aparat
penegak hukum memahami berbagai ketentuan hukum tentang kekerasan
terhadap perempuan ini). Tapi hal itu tak dengan sendirinya akan
mengurangi bentuk-bentuk dan jumlah diskriminasi terhadap perempuan.
Sulitnya hukum untuk mengakhiri diskriminasi gender disebabkan oleh
kenyataan, bahwa gender bukan satu-satunya identitas yang membentuk
hubungan antara pria dan perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari secara
konfiguratif identitas gender berperan bersama dengan berbagai identitas
yang lain―seperti orientasi seksual, agama, etnisitas, ras, usia,
status sosial, kelas sosial, usia dan nasionalisme―saat membentuk relasi
antara pria dan perempuan. Misalnya di Indonesia seorang perempuan
Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual di tempat kerjanya tak bisa
begitu saja menuntut pelakunya yang beretnis Jawa dan beragama Islam ke
pengadilan. Karena bisa jadi saat kasusnya diproses di kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan ia mengalami kekerasan berbasis etnis dan agama
baik oleh aparat penegak hukum atau kelompok masyarakat yang lain. Hal
ini tentu tak terjadi bila korban pelecehan seksual di tempat kerja itu
adalah perempuan Jawa yang beragama Islam.
Karena―seperti
yang dicatat oleh Carol Smart―hukum tak bisa secara mudah mengakhiri
diskriminasi terhadap perempuan. Sebab bahasa dan sistem hukum yang baik
adalah bahasa dan sistem hukum yang netral terhadap para pihak yang
bersengketa dan juga netral terhadap sengketa berbasis gender. Asas
praduga tidak bersalah terhadap tersangka dan terdakwa, alat bukti dan
barang bukti akan seringkali mempersulit proses pembuktian terjadinya
diskriminasi gender. Sebab diskriminasi gender adalah nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat dan yang mendapat pembenaran budaya ataupun agama.
Tentang hal ini Smart menulis:
- Law is undoubtedly sexist at one level. However, this attribution did not really begin to tap the problem that law poses and does, I would suggest, slightly misrepresent the problem. The argument that law is sexist suggests that a corrective could be made to a biased vision of a given subject who stands before law in reality as competent and rational as a man, but who is mistaken for being incompetent and irrational. This corrective suggests that law suffers from a problem of perception which can be put right such that all legal subjects are treated equally. This form of argument is by no means a simplistic one. It is framed with different degrees of sophistication from those who suggest that the introduction of gender neutral language into law rids us of the problem of differentiation and hence discrimination (e.g. spouse instead of wife, parent instead of mother) to those who appreciate that discrimination is part of a system of power relations which needs to be addressed before the sexism can be ’extracted’. For the former, sexism is a surface problem to be tackled by re-education programmes and a rigorous policy of hiding visible signs of difference. For the latter, law is embedded in politics and culture and the route to fairer treatment for women lies in changes which will allow women to occupy different positions in society so that differentiation will become redundant.[17]
Maka
berlakunya berbagai ketentuan hukum tentang kekerasan terhadap perempuan
tidak dengan sendirinya akan mengurangi jumlah kekerasan terhadap
perempuan. Karena diskriminasi terhadap perempuan tak hanya terjadi
dalam bentuk pembedaan gender, tapi juga dalam bentuk pembedaan
identitas orientasi seksual, agama, etnisitas, ras, status sosial, kelas
sosial, usia dan nasionalisme. Karena itu pandangan yang dikotomis
tentang diskriminasi terhadap perempuan dengan kekerasan terhadap
perempuan harus ditinjau ulang dengan memerhatikan konfigurasi beragam
identitas non-gender tersebut yang juga berperan dalam membentuk
hubungan antara pria dan perempuan.
Hukum tentang Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Hilangnya Hasrat akan Kesetaraan Gender
Adalah
Majelis Umum PBB dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang membuat
istilah “diskriminasi”―yang dalam Konvensi CEDAW dan UU Nomor 7 Tahun
1984 dianggap sebagai pelanggaran HAM―menjadi suatu konsep yang abstrak,
tak terjangkau oleh pancaindra dan karenanya tak bisa dijatuhi sanksi
hukum. Setelah itu mereka mengusulkan agar “diskriminasi” diwujudkan
menjadi “kekerasan” yang oleh Pasal 5 UU PKDRT dirinci menjadi kekerasan
fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumahtangga. Apa dampak dari
pembedaan dan pemisahan diskriminasi dari kekerasan ini?
Diskriminasi
terhadap perempuan, seperti yang dinyatakan di Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun
1984, adalah “setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat
berdasarkan jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun oleh kaum wanita, terlepas
dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan
wanita”. Dari uraian itu tampak, bahwa diskriminasi berdasarkan
gender―yang berupa pembedaan, pengucilan dan pembatasan―akan berakibat
pada ketakmampuan seseorang untuk mengakui, menikmati dan menggunakan
HAM atau membuat pria dan perempuan tak setara. Dengan kata lain
seharusnya diskriminasi adalah tindak kekerasan.
Tapi
bagian “Menimbang” UU PKDRT merumuskan “kekerasan” adalah suatu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan dan sebagai bentuk diskriminasi.
UU PKDRT ini menganggap “kekerasan” adalah sebentuk “diskriminasi”. Tapi
apa itu diskriminasi? Apakah diskriminasi juga merupakan kekerasan?
Cara perumusan “kekerasan sebagai bentuk diskriminasi” itu telah membuat
UU PKDRT bukan hanya membedakan kekerasan dari diskriminasi, tapi
terutama membuat diskriminasi menjadi sebuah konsep yang abstrak (tak
terjangkau oleh pancaindra) dan tak bisa dikriminalkan. Pancaindra dan
hukum baru bisa menjangkaunya saat diskriminasi itu mewujud dalam bentuk
kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumahtangga.
Tampaknya
pengabstrakan konsep diskriminasi ini bukan hanya kekeliruan para
pembuat UU PKDRT. PBB―dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1992 tentang
“Kekerasan Terhadap Perempuan”―juga menyatakan bahwa “Kekerasan
berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius
menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya
atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Kemudian
pada tahun 1993 Majelis Umum PBB menerbitkan “Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan”. Di deklarasi itu Majelis Umum menganggap,
bahwa efektifitas Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (yang diratifikasi oleh Pemerintah RI sebagai UU
Nomor 7 Tahun 1984) akan mendukung penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, dan bahwa Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
ini akan memperkuat dan melengkapi proses tersebut. Pernyataan ini
membuktikan, bahwa Majelis Umum PBB secara eksplisit menganggap Konvensi
CEDAW (UU Nomor 7 Tahun 1984) itu tak efektif. Ia akan diefektifkan
oleh Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Jadi Majelis
Umum PBB menganggap “diskriminasi” sebagai sebuah rumusan yang abstrak,
tak terjangkau pancaindra dan tak bisa dihukum. Agar bisa dijatuhi
sanksi hukum dan dihapuskan, maka diskriminasi harus diwujudkan secara
empirik dalam berbagai bentuk kekerasan.
Berdasarkan
argumentasi itulah kemudian Komnas Perempuan merumuskan 15 jenis
kekerasan terhadap perempuan, yakni (1) perkosaan; (2) pelecehan
seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan
seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman
atau percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan;
(9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan
perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk pemaksaan
busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan
moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa
seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan; (15) pemaksaan
kontrasepsi/sterilisasi.[18]Ke-15 bentuk kekerasan terhadap perempuan
itu diatur dalam KUHP. Namun demikian, para feminis Indonesia termasuk
Komnas Perempuan, justru menilai berbagai ketentuan hukum yang merugikan
perempuan―misalnya Perda Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pelacuran, UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan berbagai Perda
Syariah―sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang diskriminatif terhadap
perempuan.[19]
Feminis Indonesia dan Pergeseran Wacana Diskriminasi menjadi Kekerasan terhadap Perempuan
Dampak
dari pembedaan diskriminasi dari kekerasan tersebut bukan hanya makin
tak populernya UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Penghapusan Segela Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita” atau tergusurnya wacana diskriminasi oleh
wacana kekerasan, tapi terutama hilangnya hasrat para feminis Indonesia
untuk memperjuangkan kesetaraan pria dan perempuan. Kini para feminis
Indonesia lebih suka mencermati apakah sebuah tindakan merupakan
kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana menghukumnya.
Pada tahun 1994, sepuluh tahun setelah pemerintah Indonesia meratifikasi CEDAW Convention
menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita”, sejumlah dosen perempuan Universitas
Indonesia dan sejumlah aktivis LSM perempuan mendirikan “Kelompok Kerja
Convention Watch”. Mereka mengadakan serangkaian ceramah dan siaran
radio untuk mensosialisasikan UU Nomor 7 Tahun 1984. Mereka menganggap
sosialisasi ini penting, karena banyak penegak hukum dan perguruan
tinggi yang belum mengetahui apalagi memahami isi UU tersebut.[20]
Tak
hanya sampai di situ, pada tahun 1996 sampai 1999 mereka mengadakan
beberapa lokakarya dengan peserta para dosen fakultas hukum di Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Jember, Denpasar,
Manado dan Ujung Pandang. Tulisan para dosen fakultas hukum yang
membahas diskriminasi terhadap perempuan dalam Hukum Adat, Hukum
Perkawinan, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Internasional, Hukum
Perkawinan Islam, Hukum Waris Islam, Hukum Kesehatan, Hukum Tata Negara,
dan Hukum Administrasi Negara tersebut mereka bukukan dengan judul “Penghapusan Kekerasan terhadap Wanita”.[21]
Terbitnya buku ini turut menyumbang topik baru dalam kajian perempuan
di berbagai Pusat Studi Wanita yang ada di berbagai perguruan tinggi
negeri dan swasta. Topik baru tersebut adalah kajian gender terhadap
hukum positif, hukum adat dan hukum agama. Berbagai tulisan dengan topik
yang sama pun muncul di sejumlah media massa nasional dan lokal.
Semua
ini berlangsung sampai awal tahun 2005, yakni setahun setelah berlakunya
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Tapi pada tahun 2000 Nursyahbani
Katjasungkana―salah seorang feminis Indonesia, aktivis di beberapa LSM
Perempuan, LBH perempuan, anggota Komnas Perempuan, dan anggota DPR
2004-2009―menulis tentang diabaikannya istilah “kekerasan terhadap
perempuan” dalam berbagai khasanah hukum di Indonesia. Menurutnya
Indonesia berbeda dari berbagai negara Barat yang telah mengenal istilah
“gender based violence” dan “sexual violence”:
- Dalam khasanah hukum di Indonesia, tidak ada satu peraturan pun yang memakai istilah kekerasan terhadap perempuan atau pun kejahatan seksual. Dalam rancangan undang-undang (RUU) KUHP yang baru pun istilah ini tidak dipakai melainkan tetap menggunakan istilah yang terdapat dalam KUHP lama, yaitu “Kejahatan terhadap Kesusilaan”.
- Namun dalam beberapa literatur asing dapat kita temukan istilah “sexual violence” (yang dapat diterjemahkan sebagai “kejahatan seksual”) yang pada umumnya diartikan sebagai perbuatan pidana yang berkaitan dengan seksualitas/perkelaminan, yang dapat dilakukan terhadap laki-laki dan perempuan.
- Namun karena pada umumnya kejahatan ini banyak dilakukan terhadap perempuan dan berkaitan pula dengan kedudukan subordinasi perempuan dalam masyarakat, maka kejahatan seksual dikonotasikan sebagai kejahatan terhadap seseorang karena ia berkelamin perempuan dan karena itu disebut juga sebagai “gender based violence”.[22]
Tampak
dari kutipan itu, bahwa sampai dengan tahun 2000-an itu berbagai hukum
positif dan bahkan para feminis Indonesia masih tak menyadari dampak
dari pengkategorian kejahatan seksual atau kejahatan terhadap tubuh
perempuan sebagai “kejahatan terhadap kesusilaan”. Dampaknya, menurut
Nursyahbani Katjasungkana, adalah “kejahatan terhadap kesusilaan” hanya
bisa dijadikan kasus hukum apabila terjadi di ruang publik dan mengusik
keyakinan etik (kesusilaan) sejumlah orang menyaksikannya. Tapi
perkosaan suami terhadap istrinya atau kekerasan lain yang terjadi di
rumah tangga tak akan dianggap sebagai kejahatan:
- … sistematika penempatan bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut di atas dalam bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan (crime against ethics) telah mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual, yakni pelanggaran terhadap integritas dan eksistensi diri manusia. Seharusnya kejahatan seksual ini lebih tepat jika diletakkan dalam bab tentang kejahatan yang membayakan orang (crime against person), yakni dalam bab V KUHP.
- (…) Dengan kata lain jika kesusilaan itu diserang di muka umum maka hukum pidana dapat ikut campur (dalam arti mengatur). Dengan demikian maka tidak semua perbuatan asusila dapat dikualifisir sebagai suatu kebijakan yang berkaitan dengan seberapa jauh negara (hukum pidana) dapat melakukan intervensi terhadap kehidupan pribadi warga negaranya.[23]
Tak lama
setelah itu Komnas (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap)
Perempuan―yang didirikan dengan Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan kemudian
disempurnakan dengan Keppres Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan―menerbitkan sebuah buku yang memberi
pemahaman baru terhadap para aktivis perempuan dan para pengajar gender
di perguruan tinggi tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
di hampir seluruh pelosok wilayah Indonesia. Buku yang berjudul Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia (terbit pada Oktober 2002) ini ditulis berdasarkan “Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”
yang diterbitkan oleh PBB pada 20 Desember 1993 dan juga kerja-kerja
LSM Perempuan dan LBH Perempuan di Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya,
Kupang, dan Papua. Buku itu memetakan berbagai bentuk kekerasan yang
kerap terjadi pada perempuan Indonesia, yakni kekerasan dalam keluarga,
kekerasan dalam hubungan personal (pacaran), kekerasan terhadap istri,
kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan di tempat kerja, kekerasan
terhadap pekerja seks, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap
perempuan di media massa, iklan dan musik populer.[24]
Apakah
hukum positif yang di Indonesia dapat mencegah dan mengatasi berbagai
bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut? Menurut Komnas Perempuan
KUHP, berbagai hukum positif yang berlaku di Indonesia dan bahkan banyak
penegak hukum yang juga melakukan kekerasan terhadap perempuan. Karena
itu mereka merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki KUHP dan aparat penegak hukum agar lebih peka gender:
- Hukum adalah salah satu alat yang sebenarnya amat diandalkan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Hukum sangat diharapkan dapat memberikan keadilan bagi perempuan korban. Namun fakta menunjukkan lain. Hukum di Indonesia justru seringkali melakukan kekerasan terhadap perempuan. Akibat hukum yang tidak berperspektif gender, perempuan korban kekerasan justru dapat dipersalahkan, diperlakukan secara tidak hormat, atau dikorbankan lebih jauh lagi (re-victimised).
- Tidak hanya perangkat hukum yang tidak berperspektif gender, namun juga para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara) serta budaya penegakan hukum yang juga tidak ramah pada perempuan korban. Ketiga pilar yang ada (perangkat hukum, penegak hukum, dan budaya penegakan hukum) dalam realitasnya selalu berjalin berkelindan, sehingga hukum yang berperspektif gender saja tidak cukup tanpa penegak hukum dan budaya penegakan hukum yang berperspektif gender. Begitu pula sebaliknya.[25]
Setelah
itu sejumlah feminis Indonesia, baik yang mengajar di perguruan tinggi
ataupun yang bekerja di berbagai LSM perempuan, menerbitkan sejumlah
buku dengan topik kekerasan terhadap perempuan. Beberapa yang bisa
disebutkan di sini adalah buku yang berjudul Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan(Sulistyowati
Irianto ed., Jakarta, buku Obor, 2006). Buku ini walau berjudul
Kesetaraan, tapi berisi sejumlah artikel yang mempersoalkan kekerasan
terhadap perempuan baik di sektor publik dan privat, atau yang
dibenarkan oleh agama dan adat. Buku Perempuan Di Persidangan: Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan
(Sulistyowati Irianto dan L.I. Nurtjahjo, Jakarta, Buku Obor, 2006)
yang membahas proses pengadilan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan dan sejauh mana aparatur penegak hukum mengulangi
bentuk-bentuk kekerasan tersebut.
Barang
tentu yang tak dapat diabaikan adalah buku-buku terbitan Komnas
Perempuan telah makin menyedot perhatian para feminis pada bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Buku-buku tersebut antara lain adalah:
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa sejak awal 2004 sampai sekarang
perhatian feminis Indonesia telah beralih dari persoalan diskriminasi
terhadap perempuan ke kekerasan terhadap perempuan. Peralihan wacana ini
berimbas pada meningkatnya jumlah kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan yang diterima oleh berbagai LBH Perempuan di seluruh Indonesia
seperti yang dikumpulkan dalam Catatan Tahuan (Catahu) yang diterbitkan
Komnas Perempuan pada setiap bulan Desember mulai tahun 2002. Dalam
Catahu itu bukan hanya dilaporkan peningkatan dan penurunan
bentuk-bentuk kekerasan tertentu terhadap perempuan, tapi juga jumlah
kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai kota di Indonesia.
Masing-masing bentuk kekerasan berjumlah di atas 5000 kasus. Tingginya
pelaporan bentuk-bentuk kekerasan ini tentu terkait dengan makin
meningkatnya jumlah anggota masyarakat dan perempuan yang mengenal
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut. Mereka juga
mencatat, bahwa tak semua kasus kekerasan terhadap perempuan ini bisa
diselesaikan di pengadilan.
Makna Pergeseran Wacana
Akibat
dari “Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan” yang
dikeluarkan oleh PBB dan UU PKDRT itu konsep diskriminasi makin tak
dipahami sebagai kekerasan dan berubah menjadi konsep yang abstrak.
Akibatnya adalah hukum dan para feminis Indonesia cenderung hanya
memerhatikan dan membicarakan kekerasan terhadap perempuan. Hukum juga
tak bisa secara langsung menjangkau diskriminasi. Di sinilah kita perlu
menuliskan ulang pemikiran gagasan Carol Smart di atas tentang hukum
sebagai wacana (diskursus):
- If we accept that law, like science, makes a claim to truth and this is indivisible from the exercise of power, we can see that law exercise power not simply in its material effects (judgements) but also in its ability to disqualify other knowledges and experiences. Non-legal knowledge is therefore suspect and/or secondary. Everyday experiences are of little interest in terms of their meaning for individuals. Rather these experiences must be translated into another form in order to become ‘legal’ issues and before they can be processed through the legal system.[26]
Kutipan
itu membantu kita memahami, bahwa UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita
sebenarnya merupakan UU yang belum efektif, karena isinya hanya
mewajibkan pemerintah menerbitkan berbagai peraturan yang melarang
berbagai bentuk diskriminasi. Tapi hingga kini berbagai peraturan itu
belum ada. Yang muncul justru UU PKDRT yang―walaupun menganggap
kekerasan sebagai wujud dari diskriminasi―sama sekali tak menjadikan UU
Nomor 7 Tahun 1984 itu sebagai rujukannya. Karena itu “diskriminasi”,
seperti yang dikatakan oleh Smart, masih merupakan “non-legal knowledge” dan karena itu membutuhkan peraturan hukum lain untuk mengubahnya menjadi “legal issues” agar “can be processed through the legal system”.
Jadi,
seperti yang dikatakan oleh Smart, hukum sebagai sebuah wacana yang
punya klaim kebenarannya sendiri akan mendiskualifikasi dan mereduksi
berbagai bentuk pengalaman perempuan akan diskriminasi gender. Pendapat
Smart ini sejalan dengan pendapat David Nelken yang menganggap hukum
sebagai sebuah pengetahuan yang akan membatasi berbagai bentuk
pengetahuan lain dalam memahami sebuah peristiwa:
- The task of understanding law as a form of knowledge also involves understanding the limits faced by any ‘external’ form or site of knowledge (including its own) in grasping law’s internal operations. (…) Should we be more worried by law colonizing other disciplines or vice versa? Is our problem how to stop law producing ‘junk science’ or is it how to ensure that it successfully plays a role as a bulwark against all encompassing technical rationality?”.[27]
Florence
Dore juga mengemukakan pendapat sejenis, yaitu sebagai sebuah
pengetahuan yang disampaikan dalam bahasa, hukum akan selalu berusaha
memberi wujud empirik pada sebuah gagasan. Tapi karena bahasa adalah
konstruksi yang tak memiliki dasar alamiah, maka seperti halnya sastra,
hukum akan selalu memproduksi ketakpastian dan keambiguitasan bahasa.
Bahasa hukum selalu menghasilkan skeptisisme: “…literature
and law are both linguistic phenomena, and to revivify a lost
skepticism about the possibility of grounding representational ambiguity”.[28]
Sedangkan Sara Ahmed menganggap, bahwa seorang yang non-hukum atau yang
tak memiliki pengetahuan hukum akan mempertanyakan kepastian dan
integritas hukum sebagai sebuah wacana:
- This immediate sense of being outside, of lacking an authority which would make me, not simply read but recognized as writing with legitimacy, as writing lawfully, is one, needless to say, of anxiety and uncertainty. But that anxiety and uncertainty is not the end of the story. For it is a theoretical questioning of the conceptual apparatus of law, or of The Law, that has suggested that the integrity of law as a system is always under threat by its ’others’, by that (and those) which it seeks to exclude and repress. Indeed, what the law excludes through the process of policing its boundaries (the demarcation of the ’non-legal’), can be rearticulated as internal to law, to law’s self-definition as law. In this sense, speaking from ’outside’ of law is an impossible position, or a position which reveals the impossibility of sustaining law as an integrity, of excluding or repressing the terrain of the non-legal, the realms of subjectivity, the body, ethics and politics.[29]
Pertanyaan
dari “luar hukum” seperti yang diajukan oleh Sara Ahmed ini penting
untuk membantu kita dalam mempersoalkan sejauh mana kriminalisasi
terhadap beragam bentuk diskriminasi terhadap perempuan sebagai
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan bisa secara efektif untuk
mengurangi bentuk-bentuk kekerasan dan bahkan diskriminasi terhadap
perempuan. Sebab dengan bertanya dari “luar hukum” kita akan menyingkap
batas-batas dan bahkan ketakmungkinan hukum sebagai pengetahuan yang
utuh (integrity) atau tentang ketakmungkinan
hukum menyingkirkan pengetahuan-pengetahuan lain untuk memahami
diskriminasi/kekerasan terhadap perempuan secara lain: “…
speaking from ’outside’ of law is an impossible position, or a position
which reveals the impossibility of sustaining law as an integrity, of
excluding or repressing the terrain of the non-legal, the realms of
subjectivity, the body, ethics and politics”.[30]
Dengan
demikian membahas pergeseran wacana diskriminasi terhadap perempuan
menjadi kekerasan terhadap perempuan adalah pembahasan tentang hukum
sebagai sebuah bentuk pengetahuan atau wacana yang bersaing dengan norma
hukum lainnya dan juga memengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satu
bentuknya adalah hilangnya minat hukum positif dan para feminis
Indonesia untuk mempersoalkan diskriminasi. Setidaknya mereka tak lagi
menganggap diskriminasi sebagai kekerasan.
Donny Danardono, Joko Purwoko dan V. Hadiyono (Pengajar di Fakultas Hukum & Komunikasi Unika Soegijapranata, Semarang) donnydanardono@yahoo.com, jokopurwoko.jp@gmail.com, hadiyonovenatius@yahoo.comAbstrak
KEPUSTAKAAN
Ahmed, Sara, 1995, “Deconstruction and Law’s Other: Towards a Feminist Theory of Embodied Legal Rights”, London,Social Legal Studies Vol. 4.
Dore, Florence, 2006, “Law’s Literature, Law’s Body: the Aversion to Linguistic Ambiguity in Law and Literature”, London,Law, Culture and Humanities Vol. 2.
Foucault, Michel, 2002, “Truth and Power” dalam Michel Foucault: Essential Works of Foucault 1954-1984, vol. 3, James D. Faubion (ed.), London, Penguin Books.
Ihromi,
T.O., Sulistyowati Irianto, Achie Sudiarti Luhulima (eds.), 2000, “Kata
Pengantar” dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Bandung,
Penerbit Alumni.
Johnson, Holly, Nathalia Ollus, Sami Navela, 2008, Violence Against Women: An International Perspective, New York, Springer.
Katjasungkana,
Nursyahbani, 2000, “Aspek Hukum Kekerasan terhadap Perempuan” dalam
Nursyahbani Katjasungkana, Loekman Soetrisno dan Afan Gaffar (eds.), Potret Perempuan: Tinjauan Politik, Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Lam, Maria, 2004, “The Perception of Inaqualities: A Gender Case Studies”, London, Sage Publications - Sociology vol. 38 (1), London.
Nelken, David, 2006, “Law and Knowledge/Law as Knowledge”, London, Socio & Legal Studies Vol. 15 (4).
Smart, Carol, 1989, Feminism and the Power of Law, London, Routledge.
Smart, Carol 1992, “The Woman Legal Discourse”, London, Sage Publications – Social & Legal Studies Vol. 1.
Smart, Carol, 1995, “Legal Regulations or Male Control” dalam Carol Smart (ed.), Law, Crime and Sexuality: Essays In Feminism, London, Sage Publications.
Tubs, Margot Tubbs, 1993, “Feminism and Legal Positivism” dalam D. Kelly Weisberg (ed.), Feminist Legal Theory, Philadelphia, Temple University Press.
Komnas Perempuan, 2002, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta, Amepro.
Komnas Perempuan, 2012, Kekerasan Seksual, www.komnasperempuan.or.id, diunduh 16 April 2014.
Jurnal Perempuan Nomor 60, September 2008 yang bertema “Awas Perda Diskriminatif”.
CATATAN BELAKANG
[1] Carol Smart, 1989, Feminism and the Power of Law, London, Routledge, hal. 14.
[2] Ibid., hal. 11.
[3] Kriteria hukum adalah asas-asas dan berbagai ketentuan yang secara eksplisit diatur dalam hukum. Kriteria non-hukum
adalah sebaliknya.
[4] Di Indonesia, misalnya, pemerintah dapat secara hukum menentukan
agama-agama yang boleh dan yang dilarang dianut oleh rakyatnya. Dengan
demikian, dalam hal ini, kebenaran versi hukum lebih tinggi statusnya
daripada kebenaran versi agama.
[5] Ibid., hal. 11.
[6] Ibid., hal. 6-14.
[7]Michel Foucault, 2002, “Truth and Power” dalam Michel Foucault: Essential Works of Foucault 1954-1984, vol. 3, James D. Faubion (ed.), London, Penguin Books, hal. 114.
[8]Carol Smart, 1995, “Legal Regulations or Male Control” dalam Carol Smart (ed.), Law, Crime and Sexuality: Essays In Feminism, London, Sage Publications, hal. 137-138.
[9]Carol Smart, 1989, op.cit., hal. 25.
[10] Ibid., hal. 88-89.
[11] Ibid., hal. 161.
[12] Ibid., hal. 88
[13]Maria Lam, 2004, “The Perception of Inaqualities: A Gender Case Studies”, London, Sage Publications - Sociology vol. 38 (1), London, hal. 7-8.
[14]Holly Johnson, Nathalia Ollus, Sami Navela, 2008, Violence Against Women: An International Perspective, New York, Springer, hal. 1
[15] Ibid., hal. 2.
[16] Ibid., hal. 16.
[17] Carol Smart, 1992, “The Woman Legal Discourse”, London, Sage Publications – Social & Legal Studies Vol. 1, hal. 31.
[18]Komnas Perempuan, 2012, Kekerasan Seksual, www.komnasperempuan.or.id, diunduh 16 April 2014.
[19]Tentang hal ini lihat berbagai artikel di Jurnal Perempuan Nomor 60, September 2008 yang bertema “Awas Perda Diskriminatif”.
[20] T.O. Ihromi, Sulistyowati Irianto, Achie Sudiarti Luhulima (eds.), 2000, “Kata Pengantar” dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita,
Bandung, Penerbit Alumni, hal. x-xxi
[21] Ibid.
[22] Nursyahbani Katjasungkana, 2000, “Aspek Hukum Kekerasan terhadap
Perempuan” dalam Nursyahbani Katjasungkana, Loekman Soetrisno dan Afan
Gaffar (eds.), Potret Perempuan: Tinjauan Politik, Ekonomi, Hukum di
Zaman Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 77-78.
[23] Ibid., hal. 84 dan 88.
[24]Komnas Perempuan, 2002, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta, Amepro.
[25] Ibid., hal. 200.
[26] Carol Smart, 1989, op.cit., hal. 11.
[27] David Nelken, 2006, “Law and Knowledge/Law as Knowledge”, London, Socio & Legal Studies Vol. 15 (4), hal, 570.
[28] Florence Dore, 2006, “Law’s Literature, Law’s Body: the Aversion to Linguistic Ambiguity in Law and Literature”, London, Law, Culture and Humanities Vol. 2, hal. 28.
[29] Sara Ahmed, 1995, “Deconstruction and Law’s Other: Towards a Feminist Theory of Embodied Legal Rights”, London, Social Legal Studies Vol. 4, hal. 55.
[30] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar