Gerakan Mahasiswa dari Masa
ke Masa
Angkatan muda Indonesia dalam
sejarahnya turut memberi andil dalam perubahan sosial yang terjadi.di
Indonesia, baik pada masa pra kemerdekaan, kemerdekaan, orde zaman
Soekarno, dan zaman Soeharto. Pada tahun ’98 ketika Soeharto
berhasil turun akibat aksi massa mahasiswa (dan juga bahwa turunnya
Soeharto adalah karena pihak ekonomi internasional tidak lagi percaya
kepadanya), seperti terulangnya peristiwa ’66 ketika Soekarno juga
turun karena desakan mahasiswa. Status mahasiswa kembali menguat
dengat mitos sebagai agen perubahan sosial di masyarakat. Padahal
turunnya Soekarno pun akibat pertarungan politik angkatan darat
didalamnya, yang mencoba mem’backing’ gerakan mahasiswa yang
menuntut perubahan. Lalu apakah sepenuhnya benar bahwa gerakan
mahasiswa itu mampu menjadi agen utama perubahan sosial? bukankah
justru sebuah gerakan rakyat, -gerakan mahasiswa turut berkorelasi
didalamnya- yang dapat mengubah tatanan kehidupan sosial secara
keseluruhan, misal: mahasiswa ‘68 di Prancis (meskipun akhirnya
tidak berhasil penuh melakukan revolusi, tapi yang perlu diingat
gerakan ini berawal dari gerakan mahasiswa yang menuntut pemenuhan
sos-ek bagi mahasiswa, yang akhirnya meluas menjadi gerakan rakyat).
Pra kemerdekaan, awal dari
munculnya gerakan pemuda di Indonesia adalah dibentuknya Boedi Oetomo
1908 diprakarsai oleh dr. Soetomo. Selanjutnya, para pelajar STOVIA
membentuk sebuah organisasi yang bernama Trikoro Dharmo pada tahun
1915, dalam kerangka pemuda (bukan mahasiswa) dan juga belum
menemukan konsep nasionalisme yang jelas untuk memerdekakan diri.
Setelah itu, mulailah menjamur organisasi kepemudaan di Indonesia,
namun masih bersifat kedaerahan, seperti: Jong Sumatera, Jong
Celebes, Jong Minahasa, dsb. Pada tahun ‘belasan’ ini, para
mahasiswa yang berada di negeri Belanda pun turut membentuk sebuah
organisasi bernama Indische Partij. Selanjutnya, angkatan ’20 dalam
organisasi pemuda mulai meleburkan diri menjadi satu dengan mulai
menemukan semangat nasionalisme, adanya Sumpah Pemuda 1928.
Sementara itu, akibat mulai
maraknya pemberontakan PKI (1926) dan pemogokan buruh, maka
pemerintahan kolonial mulai represif terhadap organisasi. Alternatif
pergerakan kepemudaan yang muncul adalah dibentuknya kelompok studi,
seperti Indoneische Studie Club (IS), Algemenne Studie Club (AS).
Aktivitas kelompok studi ini adalah mempelajari kondisi dan persoalan
konkrit yang berhubungan dengan rakyat, dan mencari alternatif bagi
perbaikan terhadap persoalan tersebut, juga turut dalam mendukung
pemogokan buruh. Kelompok studi tersebut, pada tahun 1930-an
bertransformasi menjadi partai: PBI, PNI, Parindra, Partindo.
Ketika Jepang datang menjajah,
semua organisasi pemuda dibubarkan. Pemuda dimasukkan dalam Seinenden
Keibodan (Barisan Pelopor), dan PETA (Pembela tanah air) untuk di
didik politik untuk kepentingan fasisme. Pilihan logis bagi pemuda
untuk bergerak melawan fasis Jepang adalah dengan gerakan bawah tanah
(rapat gelap, penyebaran pamflet), namun masih berhubungan dengan
organisasi legal pro kemerdekaan.
Pada masa kemerdekaan,
perjuangan kaum muda terlihat dengan mengorbankan jiwa dan raga demi
kemerdekaan nasional, tanpa pamrih.
Pasca kemerdekaan, terjadi
peningkatan kuantitas mahasiswa. Pada tahun 1946-1947, tercatat ada
387 mahasiswa, namun pada tahun ’50,’60, terjadi peledakan jumlah
mahasiswa. Pada tahun ’65, tercatat sekitar 280 ribu mahasiswa.
Ormas mahasiswa pun ramai bermunculan: Himpunan Mahasiswa Islam (5
Februari 1947), Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (25 Mei
1947), Gerakan mAhasiswa Nasional Indonesia (23 Maret 1954), Central
Gerakan Mahasiswa Indonesia (1956). Biasanya kemunculan ormas
tersebut adalah memiliki hubungan dengan partai tertentu, baik karena
“seideologi” ataupun “onderbouw”: HMI (Masyumi), PMKI
(Parkindo), GMNI (PNI), CGMI (PKI).
Sebuah terminologi ‘gerakan
mahasiswa’ muncul pada tahun ’66 ketika mahasiswa menuntut
diturunkannya rezim Soekarno. Padahal gerakan mahasiswa ini adalah
akibat permainan politik elit yang turut membawa mahasiswa secara
tidak sadar ikut berperan dalam permainan yang diselenggarakan oleh
TNI (Soeharto). Hubungan yang mesra antara militer dan mahasiwa
terjadi, terbukti dengan sering diadakannya diskusi politik mengenai
pemerintahan Soekarno, yang mahasiswa mengundang pejabat militer
sebagai pembicara. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) adalah
alat mahasiswa untuk menjatuhkan Soekarno. KAMI didirikan atas
kerjasama HMI, GMNI, SEMMI, SOMAL,PELMASI, MAPANTJAS dengan
diprakarsai oleh Prof Dr. Syarif Thayeb pada tgl 25 Oktober 1965.
Meskipun Syarif Thayeb secara formal adalah menteri pendidikan pada
masa pemerintahan Soekarno, namun secara fungsional ia adalah berasal
dari TNI yang saat itu sedang bermanuver untuk melumpuhkan PKI.
Rezim pengganti Soekarno, yaitu
yang mengaku dirinya Orde Baru (Soeharto), mengagungkan perjuangan
mahasiswa yang turun ke jalan dengan aksi massa dan anti PKInya.
Namun, Soeharto sadar bahwa gerakan mahasiswa itu haruslah tetap
sesuai dengan jalur skenario politik sesuai keinginannya. Fungsi
gerakan mahasiswa tidak ada arti lagi bagi Soeharto karena toh telah
menaikkan dirinya menjadi seorang penguasa.
Pasca peristiwa Malari (15
Januari 1974) membuktikan alokasi peran mahasiswa yang diberikan oleh
pemerintah. Malari adalah gerakan mahasiswa yang menentang orba
akibat akumulasi dari praktek-prakek orde baru yang ternyata penuh
korupsi, campur tangan modal asing (Jepang dan AS). Maka kedatangan
PM Jepang Tanaka pada tgl 15 Januari, dihadang dengan aksi massa
mahasiswa yang besar, namun berhasil diredam dengan militer, yang
mengakibatkan 9 orang meninggal, dan penjarahan, pembakaran terjadi
di ibukota. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah mengeluarkan SKM
(surat keputusan menteri) 028/1974 yang mengatur bahwa mahasiswa
wajib mendapatkan izin pimpinan perguruan tinggi apabila hendak
melakukan diskusi atau seminar yang menyangkut dengan pemerintah.
SKM 028 tersebut ternyata banyak
kampus yang tidak terlalu ketat melaksanakannya. UI pun masih dapat
mengundang pihak luar dalam diskusi politik mengenai kritik terhadap
pemerintahan Orba. Pada tahun 1977, ternyata kondisi sosial ekonomi
Indonesia mengalami keterpurukan. Pengangguran makin meningkat, 8,3
juta orang menganggur pada ’77 dibandingkan pada tahun ’61 yang
hanya terdapat 3,6 juta orang. Hutang pun meningkat, dari 11,255 juta
dolar pada tahun’77 dibandingkan dengan 600 juta dolar pada masa
orde lama. Mahasiswa mendapatkan kebohongan akan janji pemerintah
yang pada peristiwa malari menjanjikan akan memperbaiki kesejahteraan
rakyat. Menjelang pemilu ’77, mahasiswa mengkampanyekan golput.
Aksi mahasiswa pun kembali marak di jalan: menolak kemenangan Golkar
yang dinilai cacat, menuntut Soeharto mundur, tidak mempercayai lagi
MPR, dan mengatakan bahwa demokrasi telah mati di bawah kuasa orde
baru.
Melihat situasi demikian, orba
tidak ingin peristiwa Malari terulang kembali. Pemerintah
memberlakukan SK 0156/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus, dan
SK 037/1979 tentang badan Koordinasi kemahasiswaan. NKK/BKK lebih
mengetatkan peraturan ’74 sebelumnya tentang segenap kegiatan
mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler dikontrol oleh
perguruan tinggi. Dewan mahasiswa dibubarkan.
Di samping itu, pada tahun yang
sama juga dikeluarkan SK 0124, mengenai pemberlakuan sistem kredit
semester yang terprogram secra intensif, yang harus ditempuh oleh
mahasiswa maksimal 12 semester.
Ketatnya kewajiban mahasiswa
menyelesaikan beban studi dan juga ketatnya pembinaan kegiatan non
akademik, membuat alternatif gerakan mahasiswa pada tahun 80-an
adalah berupa kelompok studi, dan aktif di LSM. Namun, akibat
depolitasisi yang diberlakukan orba ini membuat minimnya jumlah
mahasiswa yang menjadi aktivis dalam kelompok studi ataupun LSM.
Mayoritas dari mereka memanfaatkan SKS untuk segera lulus dan
memasuki lapangan kerja
Depolitisasi ini membuat
mayoritas mahasiswa pasif terhadap realitas masyarakat dan kebijakan
pemerintah. Mereka berorientasi individu untuk cepat lulus dan kerja.
Mahasiswa terjebak dengan sistem pendidikan yang liberal. Namun, bagi
gerakan ‘kiri’ mahasiswa, ia tetap bertahan dengan taktik
menyiapkan kader untuk mengorganisir sektor rakyat. Perlawanan rakyat
yang dibantu mahasiswa pun mulai muncul, seperti kasus Kedungombo.
Gerakan mahasiswa yang besar
muncul pada tahun ’98 adalah sebagai akibat krisis ekonomi yang di
derita Indonesia sejak ’97. Maka kita dapat mengasumsikan bahwa
gerakan mahasiswa ’98 adalah memang karena perjuangan gerakan
mahasiswa, namun ada juga campur tangan pihak luar yang memang ingin
mengganti rezim Soeharto untuk lebih mempraktekkan liberalisme
ekonomi. Gerakan mahasiswa ’98 pun ternyata sama seperti ‘gerakan’
lainnya, hanya menggantikan rezim, yang mengantar sebuah rezim baru
yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Gerakan mahasiswa tidak
mempunyai arahan yang jelas mengenai bentuk perjuangannya. Padahal
sejak saat itu, ’99 di UI mulai diberlakukan DPKP (Rp 750.000)
untuk biaya semester-an. Artinya, mahasiswa sendiri mempunyai
permasalahan di kampusnya sendiri, yaitu biaya yang mahal, dan masih
diberlakukannya sistem NKK/BKK yang membuat mahaiswa tidak bebas
berekspresi di kampusnya sendiri, bahkan permasalahan pelik pun
dihadapi mahasiswa ketika ia lulus, apakah ada lapangan pekerjaan
yang memadai dari pemerintah?.
Gerakan mahasiswa yang selaras
dengan gerakan rakyat adalah penting. Perjuangan mahasiswa di kampus
pun dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri adalah tetap kok
berpihak kepada rakyat. Rakyat butuh akan pendidikan murah,
berkualitas. Solidaritas mahasiswa terhadap gerakan buruh, tani pun
penting untuk menggantikan sistem yang ada, bukan hanya ganti rezim.
0 komentar:
Posting Komentar