HASAN RAID
DENGAN GERAKAN ISLAM TRANSFORMATIF MENUJU MASYARAKAT TAUHIDI
Saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan sanak saudara dalam
dialog yang takkan terlupakan ini. Melalui dialog ini kita berusaha menggali
kebenaran dan kebenaran itu untuk kita kembangkan, untuk kita tegakkan.
Memang tak mudah untuk dapat menemui kebenaran. Maklumlah dalam memandang
suatu hal ikwal saja, kita dapat berbeda pendapat, baik karena tempat
berpijaknya berlainan, apalagi bila berseberangan. Bagi yang satu mungkin seluruh
hal ikwal itu dapat dilihatnya, sedang bagi sementara yang lain, mungkin yang
tampak hanya sementara hal ikwal saja. Karenanya, kesimpulannya tak mungkin
sama.
Dengan dialog, masing-masing sama mengemukakan kebenaran yang dilihatnya,
dan dengan demikian akan terjadi saling melengkapi kebenaran dan dari situ akan
lahir kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itulah saya merasa gembira dengan berlangsungnya pertemuan ini,
meskipun beberapa hari sebelum berlangsung pertemuan ini, saya terpaksa merombak
makalah yang telah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Perombakan makalah itu
saya lakukan, atas permintaan pihak peyelenggara, yang mengganggap tema yang
lama kurang tepat. Dengan senang hati saya penuhi harapan penyelenggara.karena
itu uraian yang kini akan saya sampaikan berjudul “Dengan Gerakan Islam
Transformatif menuju Masyarakat Tauhidi”.
Saya tidak tahu, apakah dengan tema ini telah terpenuhi harapan
penyelenggara, entahlah. Sekiranya belum, harapan dimaafkan. Semoga pada lain
kesempatan dapat lebih baik. Saya mulai dengan permasalahannya.
Islam Tunggal hanya dalam Ide
Melalui harian Pelita (8/12/1995) Arif Rahman menulis “Islam tunggal hanya
ada dalam ide”. Untuk membuktikan kesimpulannya, dikemukakannya
fenomena-fenomena, diantaranya :
Beberapa negara yang mengaku dirinya sebagai “negara Islam” ternyata sampai
dewasa ini belum bisa bersatu, apalagi mengungguli geliat dan eksistensi
peradaban barat, terutama dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketika terjadi perang Irak-Iran beberapa tahun yang lalu, orang mulai bertanya,
mana yang Islam, atau takkala terjadi “linkage” (hubungan)yang renggang antara
Saudi dan Iran, orang kembali bertanya mana yang Islam atau “lebih” tinggi
Islamnya?
Atau ketika berbedanya pendapat antara NU dan Muhammaddiyah dan MUI dalam
menetapkan hariraya Idul Fitri, orang menjadi binggung dan bertanya “ijtihad
mana yang diikuti”.
Arif Rahman malah secara
tegas mengatakan bahwa secara de facto historis umat Islam memang belum pernah
bersatu (dalam arti tidak saling mendepak), terkecuali marhalah (masa)
Rasulullah. Namun setelah sepeninggal beliau, apalagi sepeninggal Khulafah
Al-Rasyidin, beberapa wajah umat Islam tidak lagi menampakkan wajah kedamaian.
Mereka cenderung menjadikan agama (Islam) tameng atau topeng untuk melegitimasi
kekuasaan, kedudukan dan kepentingan parsial. Meraka tak sungkan-sungkan
memberi lebel gerakan dan tidakkannya dengan “mengatasnamakan” Islam, padahal
di belakangnya bersembunyi niat-niat hipokrit dan heteronom. Mereka inilah
orang yang memiliki sentimen bahamiyah (hewani).
Untuk lebih memperkuat
kesimpulannya, Arif Rahman mengutip Nurcholis Madjid yang mengatakan “Islam
barangkali memang tunggal secara utuh, namun ketunggalan secara utuh itu hanya
dalam ide, sedang kenyataan historis selama 15 abad kehadirannya, Islam
menunjukkan keragaman dari satu masa dan dari satu tempat keragaman itu, tidak
klurang kompleks dan ruwetnya dibanding dengan apa yang terjadi pada agama atau
sistem ideologi manapun (Nurcholis Madjid dalam Taher, 1994:30).
Beberapa tahun sebelum
tulisan Arif Rahman diatas, Masdar F. Mas’udi ketika berlangsung diskusi
“agama, kritik dan kebangsaan” yang diselenggarakan oleh senat mahasiswa IAIN
Syarif Hidayahtullah 5-7 Oktober 1992 (Kompas, 6/10/92) tokoh mengemukakan bisa
berbedanya tafsir Al’quran antara mufasir yang satu dengan yang lain, karena
berbeda komitmen kemenusiaannya.
Menurut Masdar, makna
Al’quran bagi masyarakat kelas bawah yang mengingini perubahan tentu berbeda
dengan makna Al’quran untuk kelompok kelas atas, yang selalu mempertahankan
keadaan.
Berbagai sebutan untuk Gerakan
Transformatif
Tentang Islam tunggal hanya ada dalam ide, dan dalam
praktek tidak tunggal, juga telah dikemukkan Gus Dur ketika memberikan ceramah
di Australia pada bulan Novevember 1995. Gus Dur mengemukakan 3 macam gerakan
Islam di Indonesia. Islam Ideologis yang menginginkan Indonesia
menjadi negara Islam; gerakan Islam kultural yang menginginkan
pembudayaan Islam; dan gerakan Sosio Kultural yang menginginkan
masyarakat Indonesia yang adil (Kompas, 27/11/95). Gus Dur sendiri adalah
pendukung gerakan sosio kultural tersebut.
Dalam pada itu Mansur Fakih pada
tahun 1989, melalui tulisannya “mencari Teologi untuk kaum tertindas”, yang
dimuat dalam buku “ Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam”, antara lain
mengemukakan ada beberapa alasan mengapa teologi kaum tertindas, sangat
diperlukan dalam konteks Indonesia saat ini.
Pertama : teologi tradisional “sunni”
yang selain berwatak feodalistik, juga dibangun atasdasar paradigma fatalisme
predeterminism. Dengan watak kesadaran magic dan watak yang tidak demokratis
dari paradigma tradisionalisme yang sulit diharap lahir perubahan sosial yang
mendasar.
Kedua : paradigma pembaharu, dengan
watak yang elitisme, juga lebih
menekankan reformsi dan bukan transformasi. Juga tidak mempunyai arti terhadap
perubahan yang mendasar.
Ketiga : yang juga hadir dalam konteks
Indonesia adalah lahirnya paradigma fundamentalisme. Kelompok fundamentalisme
meletakkan dasar asumsi keterbelakangan umat Islam, karena umat Islam dianggap
telah menjahui Al’quran. Konsentrasi paradigma fundamentalisme juga tidak
setuju kepada analisa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan secara analisa
kesejarahan dan struktural, akan tepat digolongkan dibangun di atasa dasar
magis pula. Paradigma fundamentalisme, karena wataknya yang lebih merupakan
teolog untuk untuk kebesaran Tuhan, maka tidak mempunyai makna terhadap
perubahan nasib kaum miskin tertindas.
Islam dalam prespektif teologi kaum tertindas, pada
dasarnya merupakan agama pembebasan. Tauhid dalam prespektif teologi kaum
tertindas lebih ditekankan kepada keesaan umat manusia. Dengan kata lain
doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit,
kasta, ataupun kelas. Konsep masyarakat tauhid suatu konsep penciptaan
masyarakat tanpa kelas.
Lain pula dengan Amien Rais ketika menyongsong Seminar
“Tauhid Sosial” yang diselenggarakan Universitas Muhammaddiyah Yogyakarta
(22-23 November 1995). Amien Rais selaku Ketua Umum Muhammaddiyah emgnatakan
kepada wartawan bahwa Muhammaddiyah sebagai gerakan pembaharu (tajdid) perlu
mempertajam tauhid sosial, disamping harus tetap memegang teguh tauhid akidah.
Pemahaman tauhid yang lebih komprehensif dan sesuai
tuntutan zaman, sambung Amien Rais, harus tetap dikembangkan. Selama ini tauhid
seolah-olah hanya merupakan sistem keyakinan. Ada kecenderungan untuk melupakan
sosio-kultural, sosio-politik, maupun sosio-ekonomi dari ketauhidan.
Jikalau hal ini dibiarkan bukan mustahil orang akan
menilai Islam kehilangan relevansi sosio-kultural. Tauhid akidah harus
diimplementasikan dalam tatanan sosial, misalnya menegakkan keadilan dalam
masyarakat. keadilan merupakan mahkota ajaran Islam dan Tauhid (keesaan)
merupakan esensi Tuhan.
Tauhid sosial sangat relevan digunakan sebagai konsep
menegakkan keadilan sosial, karena di penghujung abad ke XX ini ketimpangan dan
kesenjangan sosial semakin terasa dan perbedaan kelompok kaya dab miskin juga
kian lebar. Jarak antara yang kuat dan kaya dengan yang lemah dan miskin
semakin menyolok mata. Kaum dhuafa (lemah dan miskin) terhimpit oleh struktur
ekonomi, sosial dan hidup tanpa masa depan.
Amien Rais menambahkan dilihat dari kacamata tauhid,
setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia pengingkaran terhadap persamaan
derajat manusia di depan Allah. Jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya
dan miskin, yang selalu disertai kehidupan yang eksploitatif merupakan fenomena
anti tauhid.
Tegasnya mempertajam tauhid sosial, berarti mempertajam
perjuangan menentang eksploitasi manusia atas manusia, sampai pada tingkat
perang pembebasan kaum yang teraniaya, seperti yang diperingatkan surat Annisa
75.
Cukup jelas mengenai gerakan Islam transformatif ini
sebutannya tidak sama antara tokoh Islam yang satu dengan yang lain. Bagi
Abdurrahman Wahid namanya “sosio-kultural”, bagi Mansour Fakih “agama
pembebasan”, bagi Amien Rais “pertajam tauhid sosial”.
Membumikan Isi Al Quran
Tujuan dari gerakan Islam
transormatif ini, baik dengan memakai sitilah “sosio-kultural”, “agama
pembebasan”, “tauhid sosial”, semuanya adalah membumikan isi Al Quran, sehingga
tidak terdapat lagi manusia mengeksploitasi manusia, telah terdapat keadilan
sosial dan menuju masyarakat tauhidi, masyarakat tanpa kelas. Ayat-ayat Al
Quran, yang mana, mengemukakan hal itu?
- Memerangi Kapitalisme
Islam cukup jelas
menentang adanya manusia mengeksploitasi manusia lain. Itu tercermin dari surat
Al An’am ayat 145 yang mengatakan haram hukumnya “memakan darah yang mengalir”.
Memakan darah yang mengalir, bukan hanya secara harafiah, yaitu melukai kulit
seseorang, kemudian menghirup darah dari tempat yang dilukai, tetapi yang
hakiki ialah tuan budak memeras tenaga para budaknya, tuan tanah memeras tenaga
hamba taninya, kaum kapitalis “mencuri” tenaga kerja kaum buruh. Budak, tani
hamba, buruh tidak akan dapat diperas, bila darah tidak megnalir lagi dalam
tubuh mereka.
Begitu juga surat Al
Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: janganlah sebagian kamu memakan harta
orang lain dengan batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu
mengetahuinya.
Dan yang lebih tegas lagi
adalah ayat 1-4 surat Al Humazah. Yang jelas-jelas mengutuk orang-orang yang
menumpuk-numpuk harta. Dan orang-orang yang menumpuk harta tersebut ialah kaum
kapitalis.
Mengenai Islam menentang
kapitalisme ini telah dikemukakan dengan jelas oleh HOS Tjokroaminoto,
melalalui bukunya yang berjudul “Islam dan Sosialisme”. Bukunya itu ditulis
pada tahun 1924 di Mataram. Ini diantaranya yang dikatakan HOS Tjokroaminoto:
“Menghisap keringatnya
orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan
keuntungan yang semestinya (dengan seharusnya) menjadi bagian lain orang yang
turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu,--semua perbuatan yang serupa ini
(oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan ‘meerwaarde’ (nilai lebih) adalah
dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan
‘riba’ belaka. Dengan begitu maka nyatalah, agama Islam memerangi kapitalisme
sampai pada ‘akarnya’, membunuh kapitalisme mulai darui ‘benihnya’, oleh karena
pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan
‘meerwaarde’ sepanjang pahamnya Karl Marx, dan ‘memakan riba’ sepanjang
pahamnya Islam” (Penerbit Bulan Bintang, Jkt, 1954, hal: 17).
b. Menegakkan Sosialisme
Islam hendak menegakkan
keadilan sosial, menegakkan sosialisme. Lihatlah surat Al Qashash ayat 5-6. Di
sana dengan gamblang dikemukakan janji Tuhan yang akan menjadikan kaum
tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) sebagai pemimpin di bumi dan
mewarisi bumi. Bila kaum tertindas telah menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi
bumi, tidak ada tempat lagi bagi kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya)
untuk melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kaum mustadafhin. Keadilan
sosial tegak.
Tentang Islam akan
menegakkan sosialisme, juga telah dikemukakan H. Agus Salim dalam Kongres
Nasional VI SI, bulan Oktober 1921 di Surabaia. H. Agus Salim antara lain
mengatakan: “Nabi Muhammad Saw sudah mengajarkan sosialisme, sejak 1200 tahun
sebelum Karl Marx” (Sekneg: G 30-S Pemberontakan PKI”, 1994, hal: 11).
Masyarakat yang
berkeadilan sosial, masyarakat sosialis adalah masyarakat transisi menuju
masyarakat Tauhidi, “umat yang satu” seperti yang dikemukakan surat Al Mukminun
ayat 52.
Umat yang satu, yang
dimaksud surat Al Mukminun ayat 52 ini, tentu umat yang tidak terpecah lagi
dalam kaum-kaum tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) dan kaum
mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya). Tentu bukan umat yang satu bila
sementara lain hidup dengan melimpah-ruah, sedang sementara hidup serba
kekurangan. Umat yang satu, baru ada, bila setiap orang mendapat menurut
kebutuhannya, bukan lagi menurut prestasi kerjanya, apalagi mendapat menurut
“kontrak kerja” seperti yang berlaku dalam sistem kapitalis.
Mengenai masyarakat
Tauhidi ini, Asghar Ali Engineer melalui bukunya “Islam dan Pembebasan”
mengemukakan bahwa Tauhid tidak hanya menyatakan keesaan Allah, tetapi juga
kesatuan manusia dalam semua hal. Suatu masyarakat jami’-i tawhid yang Islami,
tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu didasarkan
pada ras, agama, kasta maupun kelas. Masyarakat tauhid yang sejati menjamin
kesatuan sempurna diantara manusia dan untuk mencapai ini, perlu untuk
membentuk masyarakat tanpa kelas. Keesaan Allah mengharuskan kesatuan
masyarakat dengan sempurna dan masyarakat demikian tidak mentolerir perbedaan
dalam bentuk apapun, bahkan perbedaan kelas sekalipun. Tidak akan terjadi
solidaritas imam sejati, kecuali segala bentuk perbedaan ras, bangsa, kasta,
kelas dihilangkan. Pembagian kelas menegaskan secara tidak langsung dominasi
yang kuat atas yang lemah dan dominasi ini merupakan pengingkaran terhadap
pembentukan masyarakat yang adil (hal: 94).
c. Pertentangan Kelas
dan Perjuangan Kelas
Tentang sejarah semua
sususan masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah pertentangan kelas
dan perjuangan kelas, itu telah dikemukakan Al Quran melalui surat Al Mukminun
(53), Al Qashash (5-6) dan Ar Ra’du (11):
Al Mukminun 53: Mereka terpecah-belah sesamanya tentang urusannya, menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan gembira dengan yang ada pada mereka.
Al Qashash: 5-6: Dan kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang
tertindas (mustadahin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka sebagai
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami
tegakkan kedudukan mereka di bumi.
Ar Ra’du 11: Sesungguhnya Allah tiada akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
Ketiga surat-surat di
atas mengandung petunjuk bahwa masyarakat manusia tidak satu lagi, tetapi telah
terpecah-pecah dalam yang menindas dan yang tertindas. Tuhan dalam hal ini
terang-terangan memihak kepada kaum yang tertindas. Itu tercermin dari janji
Tuhan dalam Al Qashash (5-6).
Melalui surat Ar Ra’du 11
cukup jelas dikemukakan, bahwa keadaan mereka yang tertindas dan miskin tetap
akan tertindas dan miskin, bila mereka sendiri tidak bangkit melemparkan
belenggu yang dililitkan kaum penindas atas leher mereka. Usaha kaum atau
perjuangan kelas dari kaum tertindas sendirilah yang menentukan terjadinya
perubahan. Bantuan dari luar berupa sedekah, infak, zakat bukan faktor yang
menentukan untuk terjadinya perubahan yang mendasar.
Perjuangan kelas seperti
yang dikemukakan surat Ar Ra’du 11 itu untuk membebaskan kaum yang tertindas
dari penindasan yang mereka alami, lebih dipertegas tentang pentingnya
pembebasan mereka itu dalam surat An
Nisa ayat 75. Mengapa tiada kamu mau berperang pada sabilillah dan untuk
(membebaskan) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, perempuan-perempuan
dan anak-anak, sedang mereka itu berdoa: Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari
negeri ini yagn aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang Wali dari
sisiMu dan adakanlah untuk kami yang mengurus pekerjaan dari kamu.
Imbauan berperang untuk
membebaskan orang-orang yang teraniaya dari surat Annisa 75, menunjukkan Tuhan
mengizinkan jalan kekerasan guna menegakkan keadilan. Malah dalam surat Al
Hajji ayat 39 dengan tegas dikatakan: “Telah diizinkan (berperang) kepada
orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka teraniaya. Sesungguhnya Allah
mahakuasa menolong mereka itu. Islam menentang kekerasan yang tidak adil.
Seperti kekerasan untuk menjajah negeri lain, untuk merampas harta orang lain,
atau yang menimbulkan bencana pada orang lain.
Hadis Nabi Muhammad Saw
juga mengatakan: Bila engkau melihat kemungkaran ubahlah dengan tangan
(kekuatan, kekerasan), dan bila tidak mampu, ubahlah dengan lidah (kritik,
nasehat) dan bila tidak mampu juga, ubahlah dalam hati dan itulah
selemah-lemahnya iman. Bagi yang imannya kuat, kemungkaran harus diubah dengan
tangan.
Islam dan Komunisme
Dengan mencermati
ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran di atas, cukup jelas menunjukkan bahwa
Islam memerangi kapitalisme, Islam hendak menegakkan sosialisme, Islam
bertujuan terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Dan untuk memenangkan perjuangan
mengalahkan kapitalisme, memenangkan sosialisme dan kemudian terwujudnya masyarakat
tanpa kelas, Islam memberikan petunjuk harus dengan melalui perjuangan kelas.
Semuanya itu menunjukkan
terdapatnya titik persamaan antara Islam dan komunisme. Memang istilahnya tentu
tidak sama. Misalnya komunisme menyebut yang diperanginya “kapitalisme”, Islam
memakai istilah ‘mengutuk orang-orang yang menumpuk harta”; komunisme memakai
istilah “sosialisme” yang hendak ditegakkan, Islam mengatakan ‘menjadikan kaum
tertindas menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi”. Komunisme menyatakan
tujuan tujuannya yang terakhir terbentuknya “masyarakat komunis”, “masyarakat
tanpa kelas”, Islam memakai “masyarakat Tauhidi”. Komunisme memakai istilah
“perjuangan kelas”, Islam memakai istilah “usaha kaum”. “Usaha” itu adalah
“perjuangan” “kaum”, itu adalah “golongan” atau “kelas”.
Tentang terdapatnya
perbedaan antara Islam dan Komunisme tentu tak akan ada yang menyangkal. Islam
mempermasalahkan kehidupan di dunia dan akhirat, sedang Komunisme hanya
mempermasalahkan masalah kehidupan manusia di dunia, bagaimana supaya tegak
keadilan. Masalah akhirat, tidak dipermasalahkan komunisme. Masalah akhirat,
adalah masalah pribadi, masalah hubungannya dengan yang menciptakannya.
Ini sesuai dengan surat
Al Kahfi 29, yang mengatakan: Kebenaran datang dari Tuhanmu. Barangsiapa yang
mau (beriman) berimanlah, dan barangsiapa yang mau (kufur) kufurlah. Dalam
surat Al Qomar 19 dikatakan: seseorang di akhirat akan menerima apa yang
diusahakannya. Dengan kata lain, mau beriman atau kufur, resikonya atau
“hasilnya” masing-masing akan menerima di akhirat kelak.
Malah dalam surat Yunus
99 dan 100 dipertegas: Jika Tuhan menghendaki, niscaya beriman sekalian orang
di bumi. Adakah engkau memaksa manusia supaya mereka beriman? Tiadalah seorang
beriman, melainkan dengan izin Allah. Sedang dalam surat Al Baqarah 256
dikatakan: tidak ada paksaan dalam agama.
Mengenai yang
dipermasalahkan oleh komunisme hanya masalah dunia, ini juga sejalan dengan
sebuah Hadis Nabi Muhammad: “Jika aku berikan perintah kepadamu mengenai agama,
ikutilah, dan jika aku menyampaikan sesuatu hal yang berasal dari pendapatku
sendiri, ingatlah bahwa aku adalah seorang manusia”. Al Saraksi dalam bukunya
“Al Usul” menafsirkan sebagai berikut: “Jika aku memberi tahu tentang hal
agama, kerjakanlah menurut keteranganku dan jika aku memberitahu tentang
sosal-soal keduniaan, maka sesungguhnya kamu lebih tahu tentang urusan
keduniaanmu”.
Malah Mohammad Sobary
melalui tulisannya “Merombak Primordialisme dalam agama “mengartikan surat Ar
Ra’du ayat 11 sbb: di dalam Islam aturan sudah jelas bahwa untuk urusan dunia,
Tuhan sudah melimpahkan sepenuhnya pada kita. Kita diberi Tuhan hak mengatur
sepenuh kehidupan kita. Kita memiliki otonomi penuh. Dan ini tidak boleh
dikembalikan kepada Tuhan” (Spritualitas baru: Agama dan aspirasi rakyat”,
1994, hal:46).
Perlunya Bergandengan
Tangan
Bertolak dari terdapatnya
titik-titik persamaan antara Islam dan komunisme, seharusnya yang terjadi ialah
bergandengan tangan antara islam dan komunisme: dalam memerangi kapitalisme,
dalam menegakkan sosialisme, untuk terwujudnya di bumi masyarakat tauhidi,
masyarakat tanpa kelas.
Karena belum bergandengan
tangan itulah, maka meskipun janji Tuhan dalam Al Qashash (5-6), telah lebih 14
abad, juga belum membumi, belum terbukti, yaitu menjadikan kaum tertindas
sebagai pemimpin di bumi dan mewarisi bumi. Malah yang terjadi sementara yang
mengaku beragama Islam memerangi komunisme. Pada hakikatnya: memerangi
komunisme, sama dengan “memerangi” membuminya tujuan Islam itu sendiri.
Sekiranya sementara umat
Islam yang memerangi komunisme itu karena ketidaktahuannya akan perintah dan
larngan-larangan agamanya sendiri, itu mudah dipahami dan menjadi kewajiban
pemuka Islamlah untuk mengingatkan mereka kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
Tetapi jika yang mengerti isi Al Quran, yang memerangi komunisme, itu sebabnya
satu diantara dua:
1. Mungkin mereka sengaja
hendak menyembunyikan ayat-ayat tersebut, untuk ditukar dengan sedikit uang
atau keuntungan. Bila itu yang mereka lakukan, itu bertentangan dengan surat Al
Baqarah 174 dan 175. Siksaan yang pedih bagi mereka di akhirat kelak.
2. Atau mereka tidak
mengimani, mengingkari ayat-ayat tersebut. Mereka hanya mengimani ayat-ayat
yang lain. Mereka masuk ke dalam Islam tidak secara keseluruhan, seperti yangf
diminta surat Al Baqarah ayat 208. Bila mereka hanya beriman kepada sebagian
kitab dan ingkar atas sebagian lain, surat Al Baqarah 85 sudah menunjukkan
akibatnya bagi mereka, yaitu kehinaan dalam kehidupan di dunia dan siksaan di
hari kiamat nanti.
Semoga mereka yang
memerangi komunisme itu hanya karena ketidaktahuan mereka saja kepada ayat-ayat
Al Quran dan bukan karena menyembunyikan sebagian ayat-ayat Al Quran, apalagi
hanya beriman kepada sebagian Al Quran dan ingkar atas bagian lain.
Dengan bergandengan
tangan antara Islam dan Komunisme dalam memerangi kapitalisme, menegakkan
sosialisme untuk terwujudnya masyarakat Tauhidi di bumi, maka gerakan
transformatif dapat diperikirakan akan berjaya. Insya Allah.
Sebagai penutup saya
hendak mengutip apa yang dikatakan Haji Misbach, 77 tahun yang lalu di Bandung:
siapa yang tidak menyetujui dasar-dasar komunisme, mustahil ia Islam sejati.
Sebaliknya, juga mustahil ia komunis sejati, bila ia memerangi Islam yang
bertujuan masyarakat tanpa kelas.
Jakarta, 13 Juli 2000
(Hasan Raid) “INDO
MARXIST”
0 komentar:
Posting Komentar