Foto Ignatius Mahendra Saat Aksi Melawan Imprealisme di ASIA |
Kita tidak akan berkubang pada ketakutannya. Apa lagi yang mau dibicarakan tentang kelompok-kelompok reaksioner itu? Kekejaman dan kebiadabannya sudah kita ketahui dan rasakan. Hubungannya dengan aparat negara dan elit-elit politik sudah terang benderang didepan kita.
Kita tidak akan berkutat pada keputusasaannya. Tidak pernah benar-benar ada rumah aman bagi individu untuk menyembunyikan diri ditengah serangan besar-besaran dari para elit politik dan kelompok reaksioner. Lagipula melawan atau tidak melawan, sudah bertahun-tahun kita diinjak-injak, dipentungi, dsb. Setidaknya kalau melawan, ada kemungkinan kita menang. Kalau tidak melawan, sama sekali tidak berarti serangan itu akan berhenti. Bukankah semakin kesini eskalasi serangan tersebut semakin meningkat? Saya mendengar seorang kawan mengatakan: pengalaman aksi kemarin sungguh-sungguh membebaskan, membebaskan saya yang sudah bertahun-tahun diborgol karena identitas saya.
Kita justru harus terus menerus menjelaskan perjuangan-perjuangan yang menginspirasi dan hasil-hasilnya. Bagaimana rakyat tertindas mampu bersatu dan melawan serangan kelompok-kelompok reaksioner tersebut. Harus terus melatih keberanian, melatih strategi, bersatu dengan rakyat tertindas lainnya, melatih perlawanan yang lebih kuat dan solid lagi.
Kedua adalah para intelektual dan para pimpinan. Mereka lebih suka berbicara tentang toleransi, keberagaman, demokrasi. Tapi bukan memperjuangkannya. Mereka lebih suka berbicara, menganalisa dan meneliti tentang kelompok reaksioner. Tapi bukan melawannya. Mereka lebih suka berbicara dialog, proses, pencarian strategi untuk berhadapan dengan kelompok reaksioner. Walau bertahun-tahun terbukti tidak menyelesaikan persoalan, bahkan strategi mereka mengecilkan kekuatan kelompok reaksioner pun tidak.
Mereka suka berbicara tentang anti kekerasan. Tapi ditengah serangan kelompok reaksioner, slogan “anti kekerasan” mereka adalah kosong. Mereka tidak punya kemampuan ataupun keberanian untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Dalam banyak hal mereka justru melemahkan perjuangan rakyat yang siap berhadap-hadapan dan menghentikan kekerasan kelompok reaksioner. Sepertinya semua itu bukan karena mereka hidup bertahun-tahun dalam ketakutan. Mereka sudah belajar banyak hal namun secara sadar menolak mengambil kesimpulan-kesimpulan maju dari semua yang mereka pelajari. Sepertinya ini karena mereka takut kehilangan hak istimewanya. Hak istimewa sebagai yang paling “pantas” untuk berbicara mengenai toleransi dan intoleransi, demokrasi dan transisi demokrasi, keberagaman, kebebasan serta hak-hak warga negara. Sepertinya mereka takut kehilangan hak istimewanya untuk “berjuang” didalam hotel-hotel dan ruang-ruang seminar ber-AC. Untuk menyimpulkan semua teori yang dipelajari dalam praktek. Takut untuk harus ketarik ke tengah jalan berhadap-hadapan dengan kelompok reaksioner. Berhadapan dengan mereka mudah saja: perdebatan terbuka harus dilancarkan. Agar semua orang bisa belajar mana langkah dan perspektif yang maju. Mana yang bisa benar-benar memperjuangkan demokrasi dan mana yang sekedar menggantungkan nasibnya.
Ket : Tulisan ini merupakan postingan di media sosial (Facebook) kawan Ignatius Mahendra Kusumawardhana
0 komentar:
Posting Komentar