MARXISME DAN SEBUAH REVOLUSI
Hampir tujuh
tahun berlalu sejak George Bush, waktu itu presiden Amerika Serikat,
mengucapkan pidatonya yang terkenal, "Tatanan Dunia Baru". Itu
terjadi tahun 1991. Saat melancarkan Perang Teluk, kekuatan Imperialis yang
paling utama di muka bumi menjanjikan sebuah dunia tanpa peperangan, tanpa
kediktatoran, dan &endash;tentu saja&endash; sebuah dunia yang
sepenuhnya berada di bawah kontrol satu-satunya polisi dunia yang berkuasa
penuh &endash;Amerika Serikat. Setelah keruntuhan Stalinisme, Imperialisme
AS benar-benar mengira bahwa dunia akan dengan lekatnya berada di bawah
perintah mereka dan mereka akan bisa mendikte nasib tiap negara. Semua konflik
di dunia diselesaikan melalui dialog dalam semacam "Pax Americana".
Nyatanya, sekarang semua impian ini telah tereduksi menjadi puing-puing semata.

Secara
tipikal, para pembuat strategi AS mempunyai pandangan pendek. Mereka gagal
mengerti apa yang telah diterangkan oleh Trotsky bahkan sebelum Perang Dunia
Kedua. Trotsky meramalkan bahwa Amerika Serikat akan muncul dengan jayanya dari
hiruk pikuk perang yang akan tiba, tetapi sebagai akibatnya Amerika Serikat
memasang dinamit di pondasinya sendiri. Saat ini kita melihat bahwa ramalan ini
menjadi kenyataan. Kolapsnya Uni Soviet telah merubah bentuk relasi di antara
pemilik kekuasaan, menjadikan USA sebagai satu-satunya negara adi daya di
dunia. Dalam sejarah umat manusia, tidak pernah ada satu negara tunggal yang
menikmati dominasi ekonomi dan militer sedemikian rupa. Malahan krisis yang
datang terus-menerus adalah manifestasi bahwa imperialisme AS adalah si
Colossus berkaki lempung. Meskipun mengalami kemenangan militer dalam Perang
Teluk, AS tidak mampu menggeser Saddam Hussein. Usahanya dalam intervensi
militer melawan milisi cakar ayam di Somalia berakhir dalam satu kekalahan
memalukan. Sekarang krisis di Asia dan khususnya berbagai kejadian di Indonesia
telah menempatkan revolusi secara ajeg dalam agenda. Di Selatan, Amerika
Serikat menghadapi suatu krisis menyeluruh di Amerika Tengah dan Amerika Latin
dengan berbagai gejolak sosial politik di Meksiko, sebuah perang gerilya yang
ber kepala batu di Kolombia, dan sebuah situasi eksplosif di Argentina dan
Brazil. Ke mana saja ia mengarahkan pandangan, imperialisme AS dapat melihat
bahwa tidak ada satupun rezim borjuis bisa stabil. Seluruh dunia telah masuk ke
dalam periode paling kejang dalam kurun waktu ratusan tahun.
BEBAN HUTANG
Eksploitasi
berlebihan terhadap Dunia Ketiga, yang makin intensif setelah keruntuhan
Stalinisme, mempunyai arti terjadinya perpindahan kekayaan dari negara-negara
ini ke peti penyimpanan uang milik perusahan-perusahaan multinasional raksasa
dan bank-bank. Hal ini dapat terlihat pada beban hutang yang telah mencapai
proporsi yang bahkan sebelum pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada
beberapa pembicaraan mengenai inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa
negara termiskin. Di akhir pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui.
Bank Dunia &endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya,
juga telah memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang
bertujuan untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari
20 persen pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.
Semua
rencana ini tidaklah lahir dari niat baik dan kemurahan hati para eksekutif Bank
Dunia dan IMF. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Yang paling pertama adalah
sangat tidak mungkin bahwa negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang
mereka. Oleh karena itu, mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk
mengenali realita dan membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat
mengembalikan apa yang dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang
para pembayar pajak. Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari
inisiatif-inisiatif keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk
memaastikan bahwa para bankir memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain,
untuk mengangkat negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana
mereka bisa meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam
oleh negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari
total pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat
kecil. Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama
dengan banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus
melaksanakan "rekomendasi-rekomendasi" (yaitu, perintah) dari IMF.
Rencana
Penyesuaian Struktural (SAPs, Structural Adjustment Plans) IMF yang terkenal
sekarang telah berjalan cukup lama hingga dapat mengetahui apa
konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, Zambia adalah sebuah negara
yang relatif berkembang dengan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit,
pelayanan pendidikan, serta sebuah infrastruktur modern yang dibangun terutama
di atas basis pendapatan dari pertambangan tembaga. Sepuluh tahun pelaksanaan
"penyesuaian struktural" menggiring angka harapan hidup jatuh dari
54,4 tahun di tahun 1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997. Angka melek huruf
berkurang, dan sebagai akibat langsung dari naiknya biaya rumah sakit sekarang
tercatat 203 kematian bayi per 1.000 kelahiran dibandingkan 125 di tahun 1991.
Akses mendapatkan air bersih juga berkurang, dan 98,1 persen jumlah penduduk
hidup atas 2 USD per hari atau malah kurang. Hutang negara mewakili 225 persen
GDP (Gross Domestic Product). Oleh karena itu, sama sekali tidak mengejutkan
bahwa baru-baru ini terjadi kerusuhan pangan di Zambia &endash; juga di
negara-negara yang lain, seperti Zimbabwe dan Tanzania.
Beban hutang
negara-negara termiskin di dunia menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per
tahun mereka. Untuk negara-negara yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini
berkisar 125 persen. Dibandingkan pendapatan hasil ekspor, persentase hutang
telah mencapai tingkat yang belum pernah terdengar: Somalia 3.671 persen,
Guinea-Bissau 3.509 persen, Sudan 2.131 persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia
1.377 persen, Rwanda 1.374 persen, Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik,
situasi secara nyata malah makin memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari
negara-negara belum berkembang adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu
naik hingga 1,4 triliun USD dan tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan
menjadi 2,17 triliun USD. Adalah penting untuk mencatat bahwa dalam periode
1990-97, ketika jumlah hutang total naik 770 miliar US dollar, negara-negara
ini sebenarnya telah membayar 1,83 triliun US dollar hanya untuk bunga hutang.
Sebuah gambaran yang lebih bersifat skandal licik akan muncul jika kita
membandingkan pembayaran bunga hutang dengan bantuan yang diterima
negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang mereka terima dalam bantuan,
mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga hutang.
Akibat-akibat
situasi ini jelas. Situasi di seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk.
Menurut The Economis (6/6/98), "Hampir setengah dari 760 juta orang yang
di benua ini 'amat sangat miskin', bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank
Pembangunan Afrika), atas kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat
tanda-tanda yang membesarkan hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata
pertumbuhan GDP nyata turun di tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di
tahun sebelumnya. Kesembuhan Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan
sebelumnya terhadap harga-harga komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk.
Globalisasi perdagangan dunia... dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui
margin batasnya. Menurut Bank Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen
investasi langsung milik penanam modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan
terbesar, memperoleh 32 persen dari jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah
dari fakta mempunyai persediaan minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam
cara di mana minyak bumi dikatakan oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk
menarik investasi asing." Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di
sebagian besar dunia kolonial telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya
jumlah kriminalitas, pasar gelap, dan "ekonomi informal". Dalam
beberapa kasus, pasar gelap mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang
ekonomi dibandingkan pasar resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang
aparatus negara. Mereka mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena
politik melalui kekuatan-kekuatan kaum fundamentalis dan "populis".
Semua ini adalah kekuatan-kekuatan ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus
memiliki kepentingan-kepentingan yang lalu menimbulkan konflik dengan
kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi, di semua tingkatan, pembusukan
kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling dasar bagi eksistensi umat
manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin ingatkan, perpanjangan
eksistensi kapitalisme menandai "horor tanpa akhir".
PERAN KELAS
PEKERJA
Marx,
Engels, dan Lenin senantiasa memberi penekanan pada peran terdepan dari kaum
proletariat di dalam revolusi. Mereka menjelaskan bahwa hanya kelas pekerja
yang bisa mengusung revolusi kaum sosialis. Tak ada kelas lain yang dapat
memenuhi peran ini. Mengapa begini? Ini bukanlah sebuah cetusan pikiran yang
tiba- tiba atau sebuah asumsi arbiter. Ia berbasis pada peran para pekerja
dalam produksi, dan kenyataan bahwa partisipasi dalam produksi kolektif
("sosial") berarti bahwa kelas pekerja sendirian membangun sebuah
kesadaran sosialis (kolektifis). Ini bukan kasus dengan kelas lain. Kaum tani
adalah sebuah kelas para pemilik kecil. Bahkan para petani yang tak bertanah,
kaum proletariat pedesaan, sering sekali mendambakan pemilikan tanah; jadilah
slogan "Tanah untuk penggarapnya" &endash;yang, meski ini
merupakan signifikasi revolusioner yang luar biasa, semboyan ini memiliki
kandungan borjuis, bukan sosialis. Para mahasiswa dan kaum cendekiawan
mempunyai sebuah tendensi yang kuat terhadap individualisme borjuis kecil, yang
seringkali memunculkan dirinya bahkan ketika mereka mencoba mengadopsi posisi
revolusioner.
Melalui
pengalamannya, kaum proletariat belajar untuk memahami organisasi kolektif dan
disiplin. Inilah hasil dari sekolah keras produksi dan eksploitasi kapitalis,
yang mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi perjuangan kelas.
Senjata-senjata wajar milik kaum proletar adalah metode-metode perjuangan massa
&endash;pemogokan, pemogokan umum, demonstrasi massa, yang bertindak
sebagai sebuah sekolah yang mempersiapkan kelas ini untuk tugas utamanya, yaitu
mengambil alih jalannya masyarakat ke dalam tangannya. Gerakan kaum pekerja di
semua tempat adalah sekolah demokrasi. Sebelum para pekerja itu memutuskan
untuk melakukan pemogokan, terdapat diskusi demokratis di mana di dalamnya
pendapat yang saling bertentangan dapat terdengar. Tetapi sekali telah diambil
pilihan suara, kaum bekerja bertindak sebagai satu kesatuan. Mereka yang telah
mencoba menghianati keputusan demokratis para pekerja dan mengacaukan pemogokan
diperlakukan sebagai buruh penghianat yang memang harus dihukum. Unjuk rasa
adalah ekspresi kongkrit dari kehendak mayoritas. Selama berlangsungnya
pemogokan kaum pekerja berpartisipasi, bekerja, dan berdiskusi. Setiap pekerja
mengetahui bahwa ia belajar lebih banyak selama satu hari pemogokan
dibandingkan satu tahun kehidupan "normal". Akibatnya, setiap
pemogokan mengandung elemen-elemen revolusi dan sebuah revolusi adalah apa yang
teradapat dalam sebuah pemogokan dalam skala besar dan luas. Banyak
proses-proses yang muncul di dalam kelas bersifat analog, meskipun dua hal tadi
berbeda secara kualitatif. Tetapi di masing-masing keduanya elemen kuncinya
adalah partisipasi aktif dan sadar dari kelas pekerja, yang mulai mengambil
alih nasibnya ke tangannya sendiri daripada menyerahkannya kepada orang lain
&endash;para pemimpin serikat pekerja, anggota parlemen, anggota dewan, dan
birokrat. Inilah esensi sosialisme atau, lebih tepatnya, esensi kekuatan
pekerja.
Sosialisme
adalah demokratis atau ia bukan apa-apa. Sejak awal mula revolusi sosialis,
mestilah ada rezim yang paling demokratis, sebuah rezim yang akan berarti bahwa
untuk pertama kalinya semua tugas-tugas mengenai menjalankan industri,
masyarakat, dan negara akan berada di tangan mayoritas masyarakat, kelas
pekerja. Melalui komite-komite mereka yang dipilih secara demokratis (soviets),
yang dipilih secara langsung di tempat kerja serta tunduk atas recall
sewaktu-waktu, para pekerja akan menjadi tuan dari masyarakat bukan hanya
namanya saja, tetapi juga dalam kenyataan. Ini adalah posisi kaum pekerja di
Rusia setelah Revolusi Oktober. Marilah kita ingat kembali bahwa Lenin
meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah negara kaum pekerja &endash;yaitu,
untuk periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme:
- 1)pemilihan umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat
- 2)tidak ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang pekerja yang ahli
- 3)tidak ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai
- 4)secara bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di atas basis yang bergilir.
Ketika
setiap orang menjadi birokrat pada gilirannya, maka tidak ada orang yang
menjadi birokrat. Atau, sebagaimana Lenin menyatakan, "Sembarang penggodok
ide harus bisa menjadi perdana menteri."
Hanya di
atas basis demikianlah masyarakat dapat mulai bergerak dalam arahan sosialisme
&endash;tahap tertinggi masyarakat manusia yang Engels gambarkan sebagai
loncatan kemanusiaan dari wilayah keharusan menuju wilayah kebebasan. Secara
jelas sebuah perkembangan yang demikian menuntut adanya sebuah perkembangan
yang tinggi dalam kekuatan-kekuatan produktif. Itulah mengapa Marx dan Engels
berpikir bahwa revolusi sosialis akan bermula di Perancis, dilanjutkan di
Jerman, dan berakhir di Inggris. Pada waktu itu kelas pekerja hanya ada di
negara-negara ini. Marx dan Engels, dan bahkan Lenin sampai pada tahun 1917,
bahkan tak membayangkan kemungkinan kelas pekerja pertama kali muncul sebagai
kekuatan justru di sebuah negara terbelakang. Sosialisme menuntut sebuah
tingkat tertentu dari perkembangan industri, pertanian, ilmu pengetahuan, dan
teknik, di dalam bingkai kerjanya. Hanya di atas basis inilah para pekerja bisa
memiliki waktu bebas secukupnya &endash; di atas basis pengurangan hari
kerja&endash; untuk berpartisipasi dalam menjalankan masyarakat dan negara.
Bagaimanapun,
situasi telah berubah secara radikal setelah kematian Marx dan Engels,
disebabkan oleh kedatangan imperialisme, tahap tertinggi dari kapitalisme
sebagaimana dianalisa oleh Lenin dalam bukunya yang terkenal dengan judul sama.
Lenin menjelaskan bahwa satu dari gambaran-gambaran utama dari imperialisme
adalah ekspor kapital dari negara-negara maju ke negara-negara kolonial dan
negara-negara semi-jajahan. Di atas basis hukum 'perkembangan gabungan dan tak
seimbang', sebuah kelas pekerja yang perkasa tumbuh di negara-negara
terbelakang seperti Rusia yang Tsarist, sebuah fakta yang tidak mengubah
karakternya sebagai sebuah negara yang terbelakang, semi feodal, dan semi
jajahan. Persoalan-persoalan utama dari polemik di antara tendensi-tendensi
yang berbeda dari gerakan buruh Rusia sebelum 1917 adalah setepatnya merupakan
karakter dari Revolusi Rusia dan relasi antar kelas dalam revolusi. Tak dapat
disangkal, teori yang mengantisipasi dan menjelaskan apa yang sungguh-sungguh
terjadi di tahun 1917 telah dikerjakan oleh Trotsky.
REVOLUSI
PERMANEN
Teori
revolusi permanen pertama dikembangkan oleh Trotsky di awal 1904. Revolusi
permanen, sambil menerima bahwa tugas-tugas objektif yang menghadang pekerja
Rusia adalah tugas-tugas revolusi demokratik kaum borjuis, juga secara
bersamaan menjelaskan bagaimana di dalam sebuah negara terbelakang dan di dalam
jaman imperialisme, "borjuasi nasional", di satu sisi berkaitan
secara tak dapat dipisahkan dengan feodalisme yang tersisa sekaligus juga di
sisi lainnya berkaitan dengan kapital milik kaum imperialis, dan oleh karena
itu borjuasi nasional sepenuhnya tidak mampu mengemban tugas historis apapun.
Kebusukan kaum borjuis liberal dan peran kontra revolusioner mereka dalam
revolusi borjuis demokratis telah diamati oleh Marx dan Engels. Dalam
artikelnya Borjuasi dan Kaum Kontra-Revolusi (1848), Marx menulis :
"Borjuasi
Jerman telah berkembang dengan begitu malas, secara berat dan lamban di saat di
mana dengan terancam ia menghadapi feodalisme dan absolutisme, ia juga melihat
dirinya begitu terancam berhadapan dengan kaum proletar serta segala faksi
warga kota yang memiliki berbagai kepentingan dan ide-ide yang bersaudaraan
dengan ide serta kepentingan yang dipunyai kaum proletar. Dan ia melihat
kesatuan tempur yang amat bermusuhan dnegannya bukanlah satu kelas di
belakangnya, melainkan seluruh Eropa di hadapannya. Borjuasi Prusia
bukanlah, sebagaimana borjuasi Perancis di tahun 1789, kelas yang
merepresentasikann seluruh masyarakat modern vis-a-vis
wakil-wakil masyarakat lama, monarki dan kaum bangsawan. Ia telah terbenam ke
level sejenis lapisan sosial pemilik tanah, menentang kerajaaan sama jelasnya
dengan ia menentang rakyat, ingin sekali menjadi oposisi bagi keduanya.
Ragu-ragu melawan tiap lawannya, sendirianlah ia, sebab ia senantiasa melihat
keduanya tadi di belakang atau di depannya; ia merosot hingga mengkhianati
rakyat dan berkompromi dengan wakil-wakil kerajaan yang berasal dari masyarakat
lama sebab ia sendiri milik masyarakat lama." (Karl Marx, Borjuasi dan
Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 140-1).
Marx
menjelaskan, borjuasi tidak mencapai kekuasaan sebagai hasil dari kerja keras
revolusionernya sendiri, melainkan sebagai sebuah hasil dari gerakan massa di
mana dalam gerakan ini ia tidak memainkan peranan apa-apa. Borjuasi Prusia
terlempar ke ketinggian kekuasaan negara, bagaimanapun juga tidak dengan cara
hal itu diinginkannya, yaitu dengan sebuah tawar menawar yang damai dengan
kerajaan, melainkan dengan sebuah revolusi." (Karl Marx, Borjuasi dan Kaum
Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 138).
Bahkan dalam
jaman revolusi borjuis demokratik di Eropa, Marx dan Engels tanpa ampun membuka
kedok peran kontra revolusioner, pengecut, dari borjuasi dan menitikberatkan
keharusan bagi para pekerja untuk memelihara suatu kebijakan mengenai
independensi kelas sepenuhnya, tidak hanya independensi dari kaum borjuis
liberal, tetapi juga dari kaum demokrat borjuis kecil:
"Kaum
Proletar, atau partai yang benar-benar revolusioner," tulis Engels, "berhasil
hanya dengan amat bertahap dalam penolakan massa kelas pekerja terhadap
pengaruh kaum demokrat yang memiliki ikatan yang dibangun saat permulaan
revolusi. Dalam waktu yang pasti, kelemahan hati dan kepengecutan para pemimpin
kaum demokratik melakukan langkah mundur, dan sekarang mungkin yang bisa
dikatakan sebagai satu dari hasil-hasil utama ledakan tahun kemarin adalah
bahwa di manapun kelas pekerja terkonsentrasi dalam apapun yang serupa massa
yang sangat besar, mereka sepenuhnya terbebaskan dari bentuk pengaruh demokrasi
yang menggiring mereka ke dalam serial blunder dan kesialan tak ada akhirnya
sepanjang 1848 dan 1849." (F. Engels, Revolusi dan Kontra Revolusi di
Jerman, MESW, volume 1, halaman 332.)
Situasi itu
lebih jelas lagi saat ini. Borjuasi nasional di negara-negara kolonial amatlah
terlambat masuk ke dalam babakan sejarah, ketika dunia telah terbagi-bagi di
antara kaum imperialis yang sedikit. Ia tidak maampu memaikan peranan progresif
apapun dan telah sepenuhnya tersubordinasi kepada tuan-tuan yang dulu
menjajahnya. Borjuasi yang lemah dan merosot akhlaknya di Asia, Amerika Latin,
dan Afrika terlalu bergantung kepada modal asing dan imperialisme, untuk
memajukan masyarakat. Borjuasi itu terikat dengan ribuan benang, tidak hanya
kepada modal asing tetapi juga dengan kelas pemilik tanah yang dengannya ia
membentuk suatu blok reaksioner yang menghadirkan sebuah benteng penghadang
terjadinya kemajuan. Apapun perbedaan yang mungkin ada di antara elemen-elemen
ini, semuanya tidak signifikan dibandingkan dengan ketakutan yang menyatukan
mereka untuk melawan massa. Hanya kaum proletariat, bersekutu dengan kaum tani
miskin dan kaum urrban miskin, yang mampu memecahkan masalah-masalah di
masyarakat dengan mengambil kekuasaan ke tangannya sendiri, mengambil alih
milik kaum imperialis dan borjuasi, serta memulai tugas mentrasformasikan
masyarakat di atas garis sosialis.
Dengan
menempatkan dirinya di kepala bangsa, memimpin lapisan-lapisan tertindas di
masyarakat (kaum borjuis kecil di daerah rural urban), kaum proletar dapat
mengambil kekuasaan dan kemudian mengemban tugas-tugas revolusi borjuis
demokratik (terutama land reform dan penyatuan negara, serta pembebasan negara
dari dominasi asing). Bagaimanapun, sekali telah memegang kekuasaan, kaum proletar
tidak akan hanya berhenti di situ, melainkan akan mulai mengimplementasikan
cara-cara sosialis mengenai pengambillalihan milik kaum kapitalis. Dan
sebagaimana tugas-tugas ini tidak dapat dipecahkan di dalam satu negeri melulu,
khususnya tidak di sebuah negara terbelakang, hal ini akan menjadi awal mula
dari revolusi dunia. Jadi, revolusi itu "permanen" dalam dua
pengertian: sebab ia mulai dengan tugas-tugas kaum borjuis dan berlanjut dengan
tugas-tugas kaum sosialis, dan sebab ia mulai di satu negara dan berlanjut pada
tingkat internasional.
Teori
revolusi permanen adalah jawaban yang paling utuh bagi posisi kaum reformis
serta kaum kolaborator kelas di sayap kanan gerakan kaum pekerja Rusia, yaitu
kaum Menshevik. Teori dua tahap dikembangkan oleh kaum Menshevik sebagai
perspektif mereka untuk revolusi Rusia. Secara mendasar teori ini menyatakan
bahwa, karena tugas revolusi adalah tugas-tugas revolusi nasional borjuis
demokratik, maka kepemimpinan dari revolusi harus ditangani oleh borjuasi
demokratik nasional. Untuk pendapatnya sendiri, Lenin setuju dengan Trotsky
bahwa kaum liberal Rusia tidak dapat mengadakan revolusi borjuis demokratis,
dan bahwa tugas ini hanya dapat diadakan oleh kaum proletariat dalam
persekutuannya dengan kaum tani miskin. Mengikuti jejak langkah Marx, yang
telah menggambarkan "partai demokratik" kaum borjuis sebagai
"jauh lebih berbahaya bagi para pekerja daripada kaum liberal yang
terdahulu", Lenin menjelaskan bahwa borjuasi Rusia, jauh dari menjadi
sekutu kaum pekerja, akan tak dapat dielakkan lagi bersisian dengan kaum
kontra revolusi.
Tahun 1905
ia menulis, "Di tengah massa, tak akan terhindarkan, kaum borjuis pastilah
mendekati kontra revolusi dan melawan rakyat secepat kepentingan-kepentingannya
yang picik dan mau menang sendiri itu bertemu, secepat itulah ia 'mencelat'
dari demokrasi konsisten (dan ia memang telah berkecut hati karena
ini!)".; (Lenin, Selected Works, volume 9, halaman 98.)
Dalam
pandangan Lenin, kelas mana yang mampu memimpin revolusi demokrasi-borjuis?
"Tetaplah 'rakyat', yaitu, kaum proletar dan kaum tani. Kaum proletar
sendiri dapat dipercaya untuk melakukan marching hingga ke akhir, jauh
melampaui revolusi demokratik. Itulah mengapa kaum proletar bertempur di garis
depan demi sebuah republik dan dengan menghina ia menolak saran bodoh dan tak
berharga untuk mempertimbangkan kemungkinan borjuasi mencelat mundur."
(Ibid)
Dalam semua
pidato dan tulisan Lenin, peranan kontra-revolusi kaum demokratik-borjuis
Liberal selalu ditekankan, terus menerus. Bagaimanapun, hingga 1917, Lenin
tidak yakin bahwa kaum pekerja Rusia akan bisa mencapai kekuasaan sebelum
terjadi revolusi sosialis di Barat &endash;ini satu perspektif yang sebelum
1917 hanya dipertahankan oleh Trotsky. Tahun 1917 hal ini diadopsi sepenuhnya
oleh Lenin dalam Tesis-tesis April-nya. Kebenaran teori revolusi permanen
secara gilang-gemilang ditunjukkan oleh Revolusi Oktober sendiri. Kelas buruh
Rusia &endash;sebagaimannna telah diramalkan oleh Trotsky di tahun
1904&endash; meraih kekuasaan sebelum kaum buruh dari Eropa Barat. Mereka
menyelenggarakan semua tugas-tugas Revolusi demokratik-borjuis, dan langsung
memulai nasionalisasi industri dan menempuh tugas-tugas revolusi sosialis. Kaum
borjuis memainkan sebuah peranan kontra revolusioner secara terbuka, tetapi
dikalahkan oleh kaum buruh dalam aliansinya dengan kaum tani miskin. Kemudian
kaum Bolshevik membuat suatu himbauan revolusioner kepada kaum buruh di seluruh
dunia untuk mengikuti contoh mereka. Lenin mengetahui dengan baik bahwa tanpa
kemenangan revolusi di negara-negara kapitalis yang maju, terutama Jerman,
revolusi tidak dapat bertahan dalam keadaan terisolasi, terutama di sebuah
negara terbelakang seperti Rusia. Apa yang kemudian terjadi memperlihatkan
bahwa hal ini sepenuhnya benar. Pendirian dari (Komunis) Internasional Ketiga,
partai dunia dari kaum sosialis, adalah manifestasi kongkrit dari perspektif
ini.
Jikalau
Komunis Internasional tetap kukuh berada di atas posisi yang dibuat oleh Lenin
dan Trotsk,y tentulah kemenangan revolusi di tingkat dunia telah dapat
dipastikan. Malangnya, tahun-tahun pertumbuhan Komintern bertepatan dengan
maraknya kontra revolusi kaum Staslinis di Rusia, yang memiliki akibat yang
sangat menghancurkan bagi Partai Komunis di seluruh dunia. Birokrasi Stalinis,
memiliki kontrol yang mendalam di Uni Soviet, mengembangkan sebuah pandangan
yang amat konservatif. Teori bahwa sosialisme dapat dibangun dalam satu negara
&endash;sebuah hal yang amat dibenci dalam sudut padang pendirian Marx dan
Lenin&endash; sangat mencerminkan mentalitas birokrasi yang telah mengalami
cukup berbagai tekanan dan stress dari revolusi dan berusaha untuk bisa
berjalan terus dengan mengadakan tugas-tugas mengenai "membangun
sosialisme di Rusia". Bisa diikatakan, mereka ingin melindungi dan
memperluas kewenangasn mereka dan tidak "mengotori" sumber daya
negara dengan cara mengejar revolusi di tingkat dunia. Pada sisi lain, mereka
takut bahwa revolusi di negara-negara lain dapat berkembang pada garis yang
sehat dan hal itu merupakan ancaman terhadap dominasi mereka sendiri di Rusia,
dan oleh karena itu pada satu tahap tertentu, secara aktif mereka berusaha
menghalang-halangi terjadinya revolusi di tempat-tempat lain.
Daripada
mengejar sebuah kebijakan revolusioner berdasarkan pada independensi kelas,
sebagaimana senantiasa diadvokasikan Lenin, mereka mengajukan sebuah aliansi
Partai Komunis dengan "kaum borjuis progresif nasional" (dan jikalau
tidak ada kum ini yang tersedia begitu saja, mereka telah mempersiapkan diri
untk melakukan intervensi terrhadapnya) untuk mengadakan revolusi demokratik,
dan setelahnya, menyusul, di kelak kemudian hari yang jauh, saat negara telah
mengembangkan perekonomian yang menghilangkan kaum kapitalis sepenuhnya,
barulah ada perjuangan demi sosialisme. Kebijakan ini menghadirkan sebuah
jurang yang sama sekali berpisah dengan Leninisme dan sebuah titik balik kepada
posisi kuno yang amat tercemar dari Menshevisme &endash;inilah teori
"dua tahapan".
PERAN
PARTAI-PARTAI KOMUNIS
Teori ini
memainkan peran kriminal dalam perkembangan revolusi di dunia jajahan. Di Cina,
Partai Komunis yang masih muda terpaksa masuk ke dalam aturan main kaum borjuis
nasional, Kuomintang, yang kemudian melakukan likuidasi secara fisikal terhadap
Partai Komunis tersebut, serikat-serikat buruh, dan dewan-dewan tani selama
berlangsungnya revolusi Cina tahun 1925-27. Alasan mengapa revolusi Cina yag
kedua mengambil bentuk berupa perang kaum tani di mana kelas buruh tetap pasif,
adalah perluasan dari kehancuran kaum proletar Cina sebagai akibat
kebijakan-kebijakan Stalin yang dikarakterisasikan Trotsky sebagai "sebuah
karikatur jahat dari Menshevisme". Di manapun ia diterapkan dalam dunia
jajahan, teori kaum Staliniss mengennai 'dua tahapan' telah menggiring
terjadinya satu malapetaka menyusul malapetaka lainnya.
Di Sudan dan
Irak pada tahun 1950-an dan 1960-an, Partai Komunis merupakan kekuatan massa
yang mampu menghimbau adanya demostrasi sejuta orang di Baghdad dan dua juta
orang di Khartoum. Daripada melanjutkan adanya kebijakan mengenai kelas
independen dan memimpin para buruh dan kaum tani untuk merebut kekuasaa, mereka
ini mencari aliansi dengan kaum borjuis "progresif" serta
golongan-golongan "progresif" dalam jajaran militer. Yang disebut
terakhir, setelah mengambil alih kekuasaan dengan dukungan penuh dari
partai-partai Komunis, kemudian mulailah mengeliminasikan mereka dengan
pembunuhan dan pemenjaraan anggota-anggota serta pimpinan-pimpinannya. Di
Sudan, proses yang sama terjadi bukan hanya sekali tetapi dua kali. Masih saja,
bahkan hingga saat ini, para pemimpin Partai Komunis Sudan mempunyai suatu
kebijakan tentang "Aliansi Patriotik" dengan kaum gerilya di Selatan
(sekarang disokong oleh imperialisme AS) dan kaum borjuis "progresif"
di Utara, untuk melawan rezim fundamentalis. Yang disebut para pemimpin Komunis
ini mirip kaum Bourbon kuno yang "tidak melupakan satupun dan tidak
mempelajari apa-apa". Kebijakan-kebijakan mereka adalah sebuah resep akhir
bagi satu kekalahan berdarah setelah kekalahan berdarah lainnya.
Contoh
paling tragis mengenai konsekuensi yang sifatnya menghancurkan dari teori dua
tahapan adalah apa yang terjadi di Indonesia. Di tahun 1960-an Partai Komunis
Indonesia adalah kekuatan massa yang utama di negara tersebut. Itu adalah
Partai Komunis terbesar di dunia di luar Blok Soviet, dengan tiga juta orang
anggota, serta sepuluh juta orang berafiliasi kepada serikat-serikat pekerjanya
serta organisasi-organisasi buruh taninya, dan bahkan Partai Komunis Indonesia
(PKI) mengklaim adanya dukungan 40 persen tentara (termasuk jajaran perwira).
Kaum Bolshevik Rusia tidak memiliki dukungan terorganisir yang sebanyak itu
pada saat revolusi Oktober! PKI dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan
memulai transformasi sosialis terhadap masyarakat yang akan memiliki efek luar
biasa besar di seluruh dunia jajahan, menjadi rantai revolusi-revolusi di Asia.
Daripada melakukan itu, para pemimpin Partai Komunis (di bawah kontrol kaum
Maois Cina) malah membentuk sebuah aliansi dengan Soekarno, seorang pemimpin
nasionalis borjuis yang pada saat itu mengadopsi fraseologi "kiri". Kebijakan-kebijakan
tersebut menyebabkan PKI sepenuhnya tidak siap saat kaum borjuis (di bawah
instruksi langsung dari CIA) mengorganisasikan sebuah pembantaian terhadap para
anggota dan simpatisannya, di mana dalam pembantaian itu sedikitnya 1,5 juta
orang dijagal.
Walaupun ada
segala kekalahan dan tinjauan masa lalu, kaum buruh dan petani akan mengambil
jalan perjuangan dari waktu ke waktu, secara tak terelakkan. Kejadian-kejadian
yang terjadi di Indonesia baru-baru ini merupakan indikasi nyata dari fakta
ini. Kejadian-kejadian itu adalah sebuah antisipasi terhadap apa yang akan
terjadi di satu per satu negara Asia. Dan ini hanyalah awal dari sebuah proses
revolusioner yang akan tidak terbendung selewat periode bertahun-tahun. Jika
sebuah partai Leninis murni eksis, hal ini dapat berakhir dalam sebuah revolusi
proletar dalam bentuk klasik. Masalah mengenai gerilyaisme atau Bonapartisme
kaum proletar tidak akan muncul. Di sini, sebagaimana biasanya selalu, faktor
subyektif mutlak diperlukan. Malangnya kepemimpinan partai-partai komunis di
negara-negara ini mengulang-ulang segala kesalahan lama yang sama saja, di mana
hal ini telah menggiring kepada terjadinya kekalahan dan pembantaian di masa
lalu. Meskipun Jepang bukan sebuah negara jajahan, hal ini tidak berarti apapun
dalam hal pertumbuhan yang spektakuler dari Partai Komunis Jepang (JCP) sebagai
akibat dari krisis ekonomi negara tersebut. JCP menjadi partai yang memiliki
wakil terbanyak dalam dewan-dewan lokal, merupakan partai kedua terbesar dalam
Majelis Metropolitan Tokyo dan koran harian JCP memiliki sirkulasi sebesar 3,2
juta.
Gelombang
radikalisasi yang menyapu seluruh Asia telah juga mempengaruhi kelas buruh di
Jepang. Peringatan May Day tahun ini di Jepang adalah yang terbesar sejak
bertahun-tahun. Tidak kurang dari satu juta buruh ikut beerpartisipasi ari
seluruh negeri berkumpul. Ini adalah contoh jelas tentang bagaimana kesadaran
dapat berubah dengan kecepatan kilat saat kondisi-kondisi berubah. Tetapi
sialnya kebijakan-kebijakan kepemimpinan JCP sepenuhnya berharak dari
tugas-tugas nyata yang dihadapi kaum kelas buruh Jepang. Menurut Kimitoshi
Morihara vice head dari departemen internasional JCP, "kami bekerja menuju
pendirian sebuah pemerintahan demokratis yang mencari penyelesaian
masalah-masalah ini, dalam kerangka kerja kapitalisme, di awal abad
mendatang". (Wawancara dalam mingguan Greenleft Weekly No. 317). Mereka
menyempurnakan teori dua tahapan Stalinis yang kuno dengan menambahkan satu
tahapan ekstra! Ini adalah "perspektif untuk kemajuan sosial di Jepang :
pemerintahan koalisi demokratik, revolusi demokratik, dan revolusi
sosialis" (?). Hal ini makin makin membingungkan karena, sebagaimana
Jepang telah menjadi kekuatan industri kedua di dunia, orang dapat membayangkan
hal tersebut dapat dilakukan tanpa sebuah "revolusi demokratik".
Kelihatannya alasan apapun akan diambil supaya revolusi sosialis tidak
dimasukkan ke dalam agenda.
Selama
berpuluh-puluh, tahun kelas buruh di negara-negara kolonial dan bekas kolonial
telah menunjukkan keberaniannya yang kolosal dan potensial revolusionernya.
Dari waktu ke waktu kelas ini telah bergerak untuk mengadakan transformasi
revolusioner di masyarakat. Di Irak, Sudan, Iran, Chili, Argentina, India,
Pakistan, dan Indonesia, kaum buruh telah menunjukkan bahwa mereka berkehendak
untuk menjadi tuan dari masyarakat mereka. Jikalau mereka gagal, hal ini bukan
karena mereka tidak bisa meeraih keberhasilan, melainkan karena mereka
kekurangan syarat yang sangat diperlukan untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam
setiap kasus, mereka membenturkan kepala mereka terhadap tembok tebal sebab
partai-partai dan para pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin mereka
kepada transformasi sosialis dari masyarakat berubah menjadi
rintangan-rintangan raksasa.
Guna meraih
kekuasaan, tidaklah cukup bahwa kaum buruh disiapkan untuk bertempur. Bila itu
masalahnya, kelas buruh telah dapat mengambil kekuasaan di seluruh
negara-negara ini sejak dulu kala. Hal itu akan berlangsung mudah sebab mereka
berada dalam posisi yang jauh leebih kuat daripada para buruh Rusia pada tahun
1917. Meskipun demikian mereka tidak mengambil kekuasaan. Mengapa tidak? Sebab
kelas buruh membutuhkan sebuah partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk menyangkal
kenyataan hidup yang elementer ini adalah semata-mata anarkisme kekanakan. Dulu
sekali Marx menjelaskan bahwa tanpa organisasi, kelas buruh adalah semata-mata
bahan mentah bagi eksploitasi. Meskipun kekuatannya dalam jumlah dan peran
kuncinya dalam produksi, kaum proletar tidak dapat merubah masyarakat kecuali
ia menjadi sebuah kelas "ditengah-dan-untuk-dirinya sendiri" dengan
kesadaran, perspektif-perspektif, dan pemahaman yang diperlukan. Untuk menunggu
adanya kelas yang sepenuhnya memiliki pemahaman yang diperlukan mengenai hal
(revolusi sosialis) tersebut hingga memadai untuk mengambil alih kekuasaan lalu
mengubah masyarakat, ini adalah sebuah proporsi utopia yang sama saja dengan
mengulur-ulur terjadinya revolusi secara tidak menentu. Adalah perlu untuk
mengorganisasikan lapisan-lapisan yang paling maju dari kelas (buruh pekerja),
mendidik kader, dan memasukkan kepada kader mereka perspektif-perspektif
mengenai revolusi, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga revolusi
dalam skala internasional, mengintegrasikan mereka di tengah massa pada setiap
level, dan secara sabar menyiapkan gerakan saat perjuangann-perjuangan parsial
dari massa terkombinasi menjadi suatu serangan revolusioner yanng menyeluruh.
Tanpa satu
partai yang revolusioner, kekuatan potensial milik kaum proletar akan tetap
semata begitu &endash;sebuah potensial. Hubungan antara kelas (proletar)
dengan partai adalah serupa dengan hubungan antara uap dan piston box dalam
mesin uap. Tetapi bahkan keberadaan-keberadaan partai tidaklah cukup unntuk
memastikan adanya keberhasilan. Partai tersebut harus dipimpin oleh para
laki-laki dan perempuan yang dilengkapi dengan pemahaman yang diperlukan
mengenai tugas-tugas revolusi, berbagai taktik, strategi, dan perspektif, tidak
hanya perspektif-perspektif nasional tetapi juga internasional. Situasi
obyektif di Indonesia tahun 1964-65 tak dapat berlangsung lebih baik lagi.
Massa telah mengalahkan Imperialisme Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan
mayoritas luas dari kelas pekerja dan buruh tani. Tetapi sebuah kebijakan dan
perspektif yang keliru sudah cukup untuk menghadirkan kekacauan total pada
revolusi. Jika revolusi Oktober membuktikan kebenaran dari revolusi permanen
dalam sebuah pengertian positif, malapetaka di Indonesia menghadiahkan kepada
kita sebuah bukti negatif dalam bentuknya yang paling mengerikan.
Cara yang
menyimpang dan kacau balau di mana dengan cara ini revolusi di daerah kolonial
telah terbentang sejak tahun 1945 adalah bukan akibat dari keterbelakangan,
atau karena tertundanya revolusi sosialis di negara-negara kapitalis yang maju.
Hal itu bukanlah sesuatu yang tak dapat dielakkan dan bukan pula ditentukan
lebih dahuulu oleh hukum-hukum sejarah. Di atas semuanya, hal itu adalah akibat
ketiadaan faktor subyektif, ketiadaan suatu partai revolusioner yang murni dan
kepemimpinannya yang bisa memberikan suatu karakter serta arahan yang
sepenuhnya beda terhadap revolusi. Berbicara apa adanya, tidak ada satupun yang
bisa menghalangi revolusi di Cina, ini untuk contoh, dari hal memainkan peran
yang sama dengan revolusi Rusia di tahun 1917, jika saja kondisinya adalah para
pemimpin Komunis Cina berbuat sebagaimana Lenin dan Trotsky. Tetapi para
pemimpin ala Stalinis tersebut takut terhadap gerakan independen dari kelas
buruh dan melakukan apapun yang berada dalam kekuasaan mereka untuk
menghalanginya. Cara konyol di mane revolusi Cina muncul di tahun 1949, sebagai
satu revolusi menyimpang dalam bayang-bayang Rusia di bawah kepemimpinan
Stalin, menjadikan (revolusi tersebut) memiliki sedikit saja himbauan untuk
bergerak di kalangan kaum buruh di negara-negara yang maju, meskipun revolusi
tersebut memberikan suatu stimulus penting terhadap revolusi di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Hal yang sama persis terjadi pada rezim-rezim Bonapartisme
proletar yang lainnya yang hadir setelahnya. Walaupun tak dapat disangkal
mereka ini menyajikan satu langkah ke depan, mereka benar-benar sebuah
penyelewengan dan sebuah titik balik dari norma revolusi kaum proletar yang
didirikan oleh Lenin yang lalu menjadi kenyataan di bulan Oktober 1917. Fakta
ini harus terus kita jaga dalam pikiran jika kita mau memahami signifikasi
sesungguhnya dari revolusi di daerah kolonial setelah tahun 1945.
REVOLUSI
CINA
Dari waktu
ke waktu adalah penting untuk menarik sebuah perhitungan mengenai ide-ide kita
dan posisi-posisi teoritis kita. Bagaimana setelah berlalu 50 tahun hal-hal
tersebut terwujud dalam praktek? Jika ada satu kontribusi utama dari tendensi
kita terhadap Marxisme, ini adalah analisis kita mengenai revolusi kolonial dan
perkembangan Bonapartisme kaum proletar, dimulai dengan analisis kita mengenai
revolusi Cina setelah 1945. Hal ini benar-benar kebuntuan kapitalisme di
negara-negara ini dan tekanan kebutuhan massa untuk adanya sebuah jalan maju
yang telah memunculkan fenomena Bonapartisme kaum proletar. Hal ini berkaitan
dengan sejumlah faktor-faktor yang berlainan. Di tempat pertama, kebuntuan
komplit di masyarakat di negara-negara terbelakang dan ketidakmampuan kaum
borjuis kolonial untuk menunjukkan jalan maju. Kedua, ketidakmampuan dari
imperialisme untuk memelihara kontrolnya dengan cara-cara lama yaitu aturan
milliter-birokratik secara langsung. Ketiga, tertundanya revolusi kaum proletar
di negara-negara kapitalis yang maju dan lemahnya faktor subyektif . Terakhir,
adanya rezim yang amat kuat dari Bonapartisme kaum proletar di Uni Soviet.
Kemenangan
USSR dalam Perang Dunia Kedua, dan menguatnya Stalinisme setelah Perang itu
dengan perluasan dari Stalinisme ini ke wilayah Eropa Timur, serta kemenangan
revolusi Cina, adalah keseluruhan faktor yang terkombinnasi menjadi kondisi yang
mendukung perkembangan Bonapartisme kaum proletar sebagai sebuah varian konyol
dari revolusi permanen yang hanya dimengerti oleh tendensi kita. (Bonapartisme
kaum proletar) ini adalah fenomena yang sebelumnya sungguh tidak pernah terjadi
dan tidak pernah diharapkan adanya. Tidak ada tempat dalam Marxisme klasik yang
bahkan pernah mempertimbangkan sebagai suatu kemungkinan teoritis, bahwa sebuah
perang kaum tani dapat memimpin terjadinya pendirian sebuah negara pekerja,
bahkan negara milik pekerja yang dideformasi. Meski demikian, inilah tepatnya
yang muncul di Cina, lalu menyusul di Kuba dan Vietnnam.
Kami
mengkarakterisasikan revolusi Cina sebagai kejadian terbesar kedua dalam
sejarah, setelah revolusi Rusia di tahun 1917. Kejadian itu mempunyai efek yang
luar biasa besar dalam perkembangan selanjutnya dari revolusi di daerah-daerah
jajahan. Tetapi revolusi Cina ini tidak mengambil tempatnya di atas garis
klasik revolusi Rusia tahun 1917 ataupun revolusi Cina tahun 1925-27. Kelas
buruh tidak memainkan peran penting apapun. Mao meraih kekuasaan di atas basis
perang kaum tani yang gagah berani, sesuai tradisi Cina. Satu-satuya cara Mao
bisa memenangkan perang saudara di tahun 1944-49 adalah dengan menawarkan
sebuah program mengenai pembebasan sosial kepada para bala tentara petani dari
Chiang Kai-Shek, yang dipersenjatai dan disokong oleh imperialisme Amerika.
Tetapi para pemimpin Stalinis dari Tentara Merah kaum tani tidak memiliki
perspektif mengenai hal memimpin keum buruh menuju kekuasaan sebagaimana dilakukan
Lenin dan Trotsky tahun 1917. Ketika bala tentara petani Mao sampai di
kota-kota, dan secara spontan kaum buruh menduduki pabrik-pabrik dan memberi
lambaian selamat kepada bala tentara Mao dengan lambaian bendera merah, Mao
memberikan perintah bahwa demonstrasi-demonstrasi tersebut harus ditekan dan
para buruh tersebut ditembaki.
Awalnya, Mao
tidak bermaksud untuk melakukan penyitaan terhadap kapitalis-kapitalis Cina.
Perspektifnya untuk revolusi Cina tertuang dalam sebuah pamflet berjudul On New
Democracy yang di dalamnya ia menulis bahwa revolusi sosialis adalah bukan
tugas mendesak di Cina, dan satu-satunya perkembangan yang dapat diberi tempat
adalah sebuah perekonomian campuran, yaitu kapitalisme. Ini adalah teori
Menshevik "dua tahapan" klasik yang telah diadopsi oleh birokrasi
Stalinis dan telah menggiring kekalahan revolusi di Cina tahun 1925-27. Tetapi
kita memahami bahwa di bawah kondisi-kondisi kongkrit yang telah berkembang
waktu itu, harusnya Mao akan terdorong untuk melakukan penyitaan kapitalisme.
Tidak hanya
itu, tetapi kita jauh-jauh hari telah memprediksikan kenyataan bahwa Mao akan
terpaksa putus hubungan dengan Stalin. Di awal tahun 1949 kita telah menulis :
"Fakta bahwa Mao memiliki massa murni yang basisnya independen dari
Tentara Merah Rusia dalam semua kemungkinan akan menyediakan basis independen
untuk pertama kalinya bagi Stalinisme Cina yang akan tidak lebih lama lagi
bergantung pada Moskow. Sebagaimana Tito, begitu pulalah dengan Mao, meski
bagaimanapun peran Tentara Merah di Manchuria, Stalinisme Cina kini
mengembangkan dasar yang independen. Sebab aspiirasi-aspirasi nasional dari
massa di Cina, perjuangan tradisional melawan dominasi asing, kebutuhan ekonomi
negeri, dan di atas semua itu, dasar yang kokoh dalam aparatus negara yang
independen, kebahayaan mengenai munculnya seorang Tito yang baru dan perkasa di
Cina merupakan satu faktor yang menimbulkan kecemasan di Moskow (...)
"Bagaimanapun,
subordinasi terhadap ekonomi Cina untuk keuntungan birokrasi Rusia, dengan
berbagai upaya menempatkan boneka-boneka di dalam kontrol Moskow, yang
boneka-boneka ini akan sepenuhnya berporos ke Moskow &endash;dengan kata
lain, penindasan nasional terhadap Cina&endash; akan menciptakan dasar yang
besar sekali signifikasinya bagi perpecahan dengan Kremlin. Dengan aparatus
negara yang independen dan kuat, dengan kemungkinannya melakukan manuver
terhadap kaum imperialis Barat (yang akan mencari negoisasi dengan Cina untuk
hal perdagangan dan mendorong perpecahan antara Peking dan Moskow), dan dengan
dukungan massa Cina yang menganggapnya sebagai pemimpin yang jaya dalam melawan
Kuomintang, Mao akan memiliki point-point dukugan yang kuat dalam hal melawan
Moskow.
"Usaha-usaha
ngotot Stalin untuk mencobakan dan mencegah perkembangan ini akan memperunyam,
mempercepat dan mengintensifkan kemarahan serta konflik." (Reply to David
James, dicetak kembali dalam E. Grant, The Unbroken Thread, hal. 304.)
Baris-baris
ini ditulis lebih dari satu dekade sebelum pecahnya konflik Sino-Soviet, ketika
birokrasi-birokrasi Cina dan Rusia terlihat sebagai konco nan tak terpisahkan.
Kemenangan
laskar petani Mao di Cina terjadi akibat sejumlah faktor: kebuntuan total dan
menyeluruh dari kapitalisme dan pertuantanahan di Cina, ketidakmampuan Cina
melakukan intervensi sebab di pasukan tempur kaum imperialis setelah Perang
Dunia kedua terdapat ketakutan akan perang, dan juga sebab daya tarik kekuatan
kolosal dari nasionalisasi rencana ekonomi di Rusia Stalinis yang menunjukkan
superioritasnya selama perang melawan Jerman di bawah kepamimpinan Hitler.
Fakta bahwa
kaum tani digunakan untuk memikul sebuah revolusi sosial adalah sebuah
perkembangan yang sepenuhnya baru dalam sejarah Cina. Cina adalah negeri yang
peran kaum taninya sudah menjadi hal klasik, di mana perang ini terjadi pada
interval-interval beraturan tetapi bahkan ketika perang-perang ini berjaya ini
semata akibat dalam fusi elemen-elemen kepemimpinan dari laskar petani dengan
kaum elit di perkotaan, akibat dari pembentukan suatu dinasti yang baru. Perang
petani adalah sebuah lingkaran setan yang menjadi karakter sejarah orang Cina
selama lebih dari 2.000 tahun. Tetapi di sini kita mempunyai sebuah titik balik
yang fundamental. Tentara petani di bawah kepemimpinan Mao mampu menggebuk
kapitalisme dan mampu menciptakan suatu masyarakat di atas imaji Moskow
pimpinan Stalin. Tentu saja, tidak akan ada hal mengenai negara pekerja yang
sehat sebagaimana di Rusia pada bulan November tahun 1917 telah didirikan
dengan cara yang sedemikian rupa. Untuk terjadi seperti apa yang ada di Rusia
itu, partisipasi aktif dan kepemimpinan kelas buruh amat diperlukan. Tetapi
suatu tentara kaum tani, tanpa kepemimpinan dari kelas buruh, adalah instrumen
klasik dari Bonapartisme, bukan kekuatan kaum buruh. Revolusi Cinna di tahun
1949 bermulai pada saat revolusi Rusia telah berakhir. Jadinya tidak ada
masalah mengenai dewan-dewan buruh atau demokrasi milik kaum buruh. Sejak
awalnya revolusi Cina adalah sebuah negara pekerja yang terdeformasi secara
mengerikan. Tendensi kita menggarisbawahi bahwa pada skala dunia, satu-satunya
kelas yang dapat mengadakan kemenangan bagi sosialisme adalah kaum proletariat.
Sekali Mao
meraih kekuasaan dan menciptakan suatu aparatus negara di atas basis hierarki
Tentara Merah dia tidak memiliki kebutuhan apapun untuk menggalang persahabatan
antara dirinya sendiri dengan kaum borjuis. Dalam sebuah cara yang tipikal
milik kaum Bonapartis, Mao menyamaratakan antara kelas-kelas yang berbeda. Mao
bersandar kepada kaum tani dan pada bidang-bidang tertentu ia bersandar kepada
kelas buruh untuk menyita hak kaum kapitalis. tetapi sekali kaum kapitalis ini
telah dikalahkan, kemudian Mao mulai mengeliminir elemen apapun yang mungkin
eksis dari demokrasi buruh. Fenomena ini dimungkinkan adanya adalah sepenuhnya
karena kekosongan revolusi di tingkat dunia dan kebuntuan masyarakat. Mao
memiliki contoh yang amat kuat dari Stalinisme di Rusia, di mana sebuah
birokrasi yang kuat menggerogoti rencana perekonomian dan menarik keuntungan
dari hal itu hingga iapun memutuskan untuk mengikuti model yang sama. Walau
karakternya dideformasi habis-habisan, Revolusi Cina biar bagaimanapun juga
tetap menyajikan satu langkah maju yang amat besar bagi ratusan juta orang yang
telah diperbudak oleh imperialisme.
BONAPARTISME
KAUM PROLETAR
Dalam menelaah
proses-proses yang timbul dalam revolusi di daerah kolonial pada periode
setelah perang dunia kedua, sebagai basis titik awal kita mengambil teori
revolusi permanen dari Trotsky yang, sebagaimana sudah kita lihat, telah secara
brilian terkonfirmasikan oleh sejarah. Tetapi dalam praktek, teori-teori tidak
perlu dikerjakan dalam cara yang murni dan tersuling secara kimiawi. Bisa
terdapat segala macam varian-varian pembelokan, distorsi-distorsi dan beberapa
titik balik dari berbagai norma tadi. Hal ini dapat dilihat dalam segala cara.
Periode
klasik revolusi demokratik-borjuis dimulai dua atau bahkan tiga ratus tahun
yang lalu dengan terjadinya revolusi di Belanda, Inggris, dan Perancis. Marx
mengambil revolusi Perancis tahun 1789-93 sebagai modelnya untuk revolusi
demokratik borjuis dalam pengertian politis (sementara Inggris menyajikan model
ekonomi). Tetapi senantiasa ada perkecualian terhadap norma-norma klasik.
Sebagai contohnya Jerman, di mana tugas-tugas dasar dari revolusi
demokratik-borjuis diadakan dengan cara ganjil, yaitu dari jajaran atas oleh
kaum negarawan Junker lama di bawah pimpinan Bismarc. Tentu saja, terdapat
banyak kontradiksi dan elemen yang tertinggal dari feodalisme yang baru
kemudian berhasil dibersihkan dengan revolusi November 1918 &endash;sebuah
revolusi kaum proletar yang kalah, di mana di dalamnya kaum buruh menyingkirkan
bentuk negara yang lama dan kemudian para pemimpin Sosial Demokratik
menyerahkan kekuasaan di tangannya kepada kaum borjuis. Serupa juga di Jepang
yang merupakan negara feodal kuno yang memulai proses revolusi
demokratik-borjuis pada 1860-an. Di bawah tekanan kekuatan-kekuatan eksternal,
proses tersebut terselesaikan hanya oleh pendudukan kekuatan Amerika setelah
1945, yang dilakukan sebagai usaha untuk menghalang-halangi terjadinya revolusi
di Jepang.
Fenomena
bonapartisme kaum proletar memiliki hubungan terhadap teori revolusi permanen
serupa dengan sebagaimana proses yang mengambil tempat di Jerman dan di Jepang
berhubungan dengan norma klasik revolusi demokratik-borjuis, yaitu sebagai
penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari suatu jalan historis dari berbagai
keadaan. Fenomena ini hanya dapat dimengerti terjadinya atas dasar kebuntuan
komplit dari masyarakat-masyarakat tersebut (di mana terjadi bonapartisme
proletar) dan kekosongan adanya revolusi di Dunia barat. Massa di negara-negara
kolonial tidak dapat lebih lama lagi menunggu. Itu adalah penjelasan yang
fundamental. Tetapi kita juga harus memasukkan ke dalam pertimbangan kita
mengenai kepelikan-kepelikan yang spesifik dari negara-negara kolonial dan
bekas jajahan, yang membuat negara-negara ini berbeda dari negara-negara yang
maju akibat kapitalisme, dan oleh karena itu mengijinkan varian-varian rumit
tertentu untuk terjadi, di mana varian-varian ini sebelumnya tidak dilihat oleh
kaum klasik penganut Marxisme. Kami mengajukan tulisan ini secara khusus dalam
hubungannnya dengan negara.
Marxisme
akan menjadi urusan yang sangat sederhana jika ia semata-mata cuma suatu
masalah mengenai belajar di luar kepala soal formula-formula elementer yang
diambil dari teks-teks klasik dan mengaplikasikan semua ini dalam suatu cara
yang mekanis dan tanpa dipikirkan, lalu menerapkannya pada setiap jenis
situasi. Metode dialektik menuntut bahwa kita mulai dari sebuah pertimbangan
obyektif dari fenomena yang terjadi, membawa setiap kasus ke dalam kebenarannya
dan melakukan peninjauan terhadapnya dari segala sudut pandang. Sebuah analisis
yang serius mengenai negara-negara kolonial dan bekas kolonial membukakan
adanya perbedaan-perbedaan besar antara negara-nagara ini dengan jenis negara
yang ada dalam bangsa-bangsa kapitalis yang maju, serta perbedaan-perbedaan
dengan negara-negara yang menyajikan model dasar bagi karya-karya klasik Engels
dan Lenin. Negara-negara (jajahan dan bekas jajahan) ini telah diciptakan dan disempurnakan
oleh kaum borjuis sebagai perangkat bagi aturan-aturannya. Pada setiap level,
negara-negara ini dikelola oleh wakil-wakil setia yang dibentuk dan dilatih
oleh kaum borjuis untuk melayani kepentingan-kepentingannya. Di atas semua
itulah negara-negara industri maju dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan
produktif. Tetapi, negara-negara yang baru dibentuk di wilayah-wilayah tadi
sepenuhnya beda dengan negara-negara yang telah diciptakan dan dikembangkan
selama bergenerasi lamanya oleh kaum Borjuis di dunia Barat. Di tempat-tempat
seperti Syria atau Burma masyarakat ini berada dalam sebuah kebuntuan, tidak
dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif dan sepenuhnya berada dalam
kekisruhan.
Ini adalah
satu dalil elementer mengenai Marxisme, bahwa negara bukanlah sebuah kekuatan
independen. Ia harus merefleksikan kepentingan dari sebuah grup atau kelas di
tengah masyarakat. Dalam masa-masa normal negara merefleksikan posisi kelas
berkuasa. Tetapi dalam periode krisis dan ketidakstabilan sosial, pemerintah
dan tentara terpecah dan bercerai-berai dalam sejumlah faksi. Negara-negara
yang telah diciptakan di atas basis penolakan terhadap imperialisme, meskipen
karakternya borjuis, amatlah lemah. Di negeri-negeri ini &endash;Burma
Syria, Angola, Mozambik, Ethiopia, Somalia, Afghanistan, dan negara-negara lain
yang mengacu pada Bonapartisme kaum proletar&emdash; negara tunduk kepada
berbagai kudeta dan krisis terus-menerus. Dengan adanya kebuntuan rezim
sepenuhnya dan kekosongan adanya revolusi di dunia Barat, serta contoh yang
diperlihatkan Stalinisme, di mana pada tahap ini negeri-negeri tadi sedang
membangun kekuatan-kekuatan produktif, menjadi sebuah kekuatan yang sangat
menarik minat bagi lapisan-lapisan tertentu di tengah aparatus negara.
Mengambil
Cina yang terdorong oleh daya tarik Stalinisme sebagai contoh mengenai satu
langkah maju bukan hanya terjadi di tengah massa yang terdiri dari kaum tani
miskin di negara-negara yang dulunya berupa negara jajahan, tetapi juga terjadi
pada bagian-bagian di jajaran aparatus negara di negeri-negeri tadi. Sejumlah
negara-negara yang berada dalam situasi kolaps dan ancaman disintegrasi,
bergerak dalam arahan menuju bonapartisme kaum proletar. Jajaran para pejabat
bersandar pada kelas buruh dan kaum tani untuk mengadakan sebuah revolusi,
untuk menumbangkan kapitalisme dan pertuantanahan. Mereka melihat Stalinisme
sebagai sebuah rezim yang membawa masyarakat ke arah maju tetapi pada saat yang
bersamaan memperbolehkan golongan birokratik mempunyai hak-hak istimewa dan menjalankan
masyarakat. Ini adalah proses yang terjadi terutama di negara-negara kolonial
yang paling terbelakang seperti Ethiopia, Angola, Afghanistan, dll; di mana
kaum proletar adalah (dan masih) merupakan kelas yang sangat lemah atau bahkan
hampir tidak eksis.
Faktor
penting lain dalam pergerakan menuju bonapartisme kaum proletar di seluruh
negara-negara ini adalah terjadinya tendensi di seluruh dunia atas hal
statisasi. Fenomena ini sudah diibahas oleh Engels, yang lebih merujuk
"serbuan perekonomian kaum sosialis", dan kemudian oleh Lenin yang
menggambarkan hal itu sebagai monopoli kapitalisme negara. Fakta bahwa
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi telah mencapai limitasinya
diekspresikan oleh kenyataan bahwa di semua negara-negara kapitalis sebagian
besar perekonomian berada di tangan negara meskipun, tentu saja, elemen-elemen
kunci, yaitu sektor-sektor yang paling menguntungkan, tetap berada di bawah
penguasaan swasta. Sektor yang dikuasai negara tidak memainkan peran independen
melainkan diadakan hanya sebagai perpanjangan tangan sektor swasta, bertugas
menyediakan kepada kaum kapitalis: baja murah, listrik murah, batu bara murah,
dll.
Proses yang
sama berlangsung di dunia ketiga, tidak semata di dalam rezim-rezim
bonapartisme kaum proletar tetapi bahkan terjadi di negara-negara borjuis yang
relatif lebih berkembang seperti Argentina, Meksiko, India, dll. Banyak
pemimpin borjuis dari negara ini menyatakan diri sebagai "sosialis"
(seperti Nasser di Mesir, Nyrere di Tannzania, Nehru di India dan Nkrumah di
Ghana) dan melakukan nasionalisasi pada sebagian besar perekonomian. Dalam
kasus-kasus sebagaimana terjadi di Syria, Ethiopia, dan yang lainnya, sebagian
dari lapisan pejabat sebenarnya mengadakan proses menuju sebuah konklusi,
bersandar kepada kelas buruh untuk melakukan penyitaan sepenuhnya terhadap
borjuasi. Mereka mendirikan rezim di bawah bayang-bayang Moskow dan Beijing di
mana di dalamnya kapitalisme dienyahkan tetapi kaum buruh ditaklukkan kepada
sebuah tirani baru dalam bentuk rezim totalitarian dengan partai tunggal yang
birokratis. Tentu saja, rezim-rezim yang demikian tidak mempunyai satupun ciri
sosialisme atau bahkan ciri sebuah negara buruh yang sehat. Dalam setiap kasus
di mana tugas-tugas historis dari satu kelas telah diadakan dengan cara yang
didistorsi oleh kelas yang lain, selalu saja ada harga yang harus dibayar. Kami
menjelaskan bahwa untuk melakukan kemajuan dalam arah sosialisme, sebuah
revolusi baru akan diperlukan. Bukan sebuah revolusi sosial untuk membangun
relasi-relasi kepemilikan yang baru (sebab hal ini sudah dilakukan), melainkan
sebuah revolusi politis melawan kasta birokratik yang berkuasa dengan tujuan
untuk mendirikan sebuah rezim demokrasi kaum buruh yang murni. Bagaimanapun
juga, penghapusan kapitalisme dan pertuantanahan di negara-negara ini
mempresentasikan adanya satu langkah maju dan sebuah guncangan melawan
imperialisme dan, yang demikian ini, disambut baik oleh kaum Marxis.
Dalam
sebagian besar, jika tidak dalam semua kasus, Moskow dan Beijing tidak memainkan
peran apapun. Lebih sering daripada tidak berperan apapun, mereka dilawan untuk
menumbangkan kapitalisme dan mereka ini melakukan apa saja yang mereka bisa
untuk menghalanginya. Partai Komunis Kuba mendukung Batista untuk melawan
Castro. Belakangan birokrasi Rusia dan Kuba memberikan tekanan terhadap kaum
sandinista untuk tidak melakukan pengambilalihan terhadap kapitalisme di
Nikaragua. Tentu saja di manapun proses begitu terjadi, mereka (kaum birokrat
itu) mengambil keuntungan darinya untuk memperkuat posisi mereka dalam
berhadap-hadapan dengan imperialisme AS. Inilah juga kasus di Afghanistan, di
mana para pejabat militer Stalinis mengadakan revolusi dari atas, tanpa
referensi apapun ke Moskow. Birokrasi Rusia memiliki hubungan yang amat baik
dengan rezim borjuis Doud di Kabul, dan bahkan siap mengorbankan Partai Komunis
kepada rezim tersebut. Tetapi sekali revolusi merupakan sebuah kenyataan,
mereka harus menerimanya.
Kaum
Imperialis merespon revolusi di Afghanistan dengan mempersenjatai dan membiayai
kelompok-kelompok bandit dan gelandangan yang diupah untuk mengadakan perang
melawan rezim yang baru. Jikalau yang disebut terakhir ini mengikuti
kebijakan-kebijakan yang sama sebagaimana yang dilakukan kaum Bolshevik,
mendasari diri mereka pada massa dalam perjuangan melawan imperialisme dan
reaksi, bisa jadi mereka menang walaupun harus diingat bahwa dalam kondisi yang
amat luar biasa terbelakang begitu bahkan sebuah negara buruh yang sehat akan
menghadapi begitu banyak kesukaran. Adalah sangat perlu untuk memulainya secara
bertahap dan dengan kehati-hatian yang sungguh, terutama pada permasalahan
agama. Tetapi usaha untuk menyelinapkan perubahan masyarakat dari atas, dalam
sebuah karakter birokratis yang terkontrol habis-habisan, terdorong oleh invasi
Rusia dan pembersihan yang luar biasa besar serta lain-lain cara yang
dihasilkannya, telah dengan fatal memperlemah revolusi saat berhadapan dengan
jagal-jagal kekuatan kontra-revolusioner yang disokong oleh Amerika dan
Pakistan.
Sebuah
proses serupa terjadi di Afrika, di mana kaum imperialis memperlengkapi
pemerintah di Afrika selatan untuk menumbangkan rezim-rezim kaum Bonapartis
proletar di Angola dan Mozambique. Sebagaimana di Afghanistan mereka
mempersenjatai dan membiayai tentara bayaran yang kejam serta para bandit. Apa
yang terjadi bukanlah perjuangan politis melainkan semata-mata mobilisasi
"kekuatan-kekuatan hitam" untuk membunuh, membakar, memperkosa, dan
melakukan penjarahan. Imperialisme tidak dapat mentoleransi keberadaan bahkan
negara-negara buruh yang terdeformasi di jantung Afrika, sebab hal itu akan
menjadi contoh bagi Afrika Selatan. Daripada melihat hal tersebut terjadi, kaum
imperialis lebih suka membenamkan Angola, Mozambik, dan Afghanistan ke dalam
abad kegelapan.
APAKAH
REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari
diri kita pada analisis ini, apa yang menjadi kemungkinan bagi formasi
rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk menjawab masalah ini perlu
memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara menyeluruh. Tendensi seluruh
dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian telah berbalik
setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya, terutama sejak
proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal ini
merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan dari
model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah dipaksa,
melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk "membuka" pasar mereka
dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional. Ini sungguh
sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki
konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka
menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya ("perampingan",
"liberalisasi","pembukaan pasar", "perekonomian
bebas", dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang
sebenar-benarnya merupakan destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan
produktif dan pekerjaan. Ini mengingatkan orang pada "Bahasabaru dalam
novel George Orwell, 1984, di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan,
Kementrian Perdamaian adalah Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih
adalah polisi rahasia.
Para advokat
"pasar bebas" telah dengan baik sekali melupakan bahwa kapitalisme
sesungguhnya berkembang berdasarkan basis benteng tarif yang tinggi. Di fase
awal kapitalsme Inggris, kapitalisme bernaung di belakang benteng perdagangan
biaya tinggi untuk mempertahankan industri-industri nasionalnya sendiri yang
masih kintis-kinyis. Hanya ketika industrinya telah menjadi kuat maka kaum
borjuis Inggris menjadi semacam advokat yang amat bernafsu mengenai
"prinsip" perdagangan bebas. Ini sama persis dengan Perancis, Jerman,
Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang sekarang memohon-mohon adanya nilai
perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Tetapi proses ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan
aparatus negara dan kaum borjuis nasional (di wilayah-wilayah tadi) melihat
bagaimana hal ini memotong bagian kue mereka dan juga merasa ketakutan terhadap
adanya ledakan massa. Hal ini menggiring beberapa dari mereka untuk melawan
imperialisme (sekurang-kurangnya dalam perkataan), akibat ketakutan akan
kehilangan posisi mereka &endash;bahkan juga kehilangan kepala mereka
sendiri.
Inilah
kasusnya dengan junta Nigeria yang menentang beberapa rencana swastanisasi dari
IMF. Golongan berkuasa dalam PRI di Meksiko juga mulai meributkan
"neo-liberalisme" sebab mereka melihat bagaimana hal ini mengikis
basis tradisional mereka atas kontrol birokratik di masyarakat. Bahkan diktator
Zaire, Mobutu, menentang swastanisasi di hari-hari akhirnya berkuasa
&endash;sebuah kebijakan yang secara jelas bukanlah didikte oleh keinginan
apapun untuk mengurangi pergolakan di tengah penduduk, melainkan untuk
mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadinya sendiri. Sebagai sebuah
akibat dari krisis di Asia Tenggara kita sudah melihat perkembangan kaum
proteksionis, sikap-sikap Anti-Barat di beberapa negara ini. Inilah kasusnya
dengan Korea Selatan dan bahkan pada bagiannya, Soeharto yang di hari-hari
terakhirnya, seperti Mobutu, berselisih dengan IMF. Hal yang sama juga berlaku
pada semagogi "anti-imperialis" yang dilancarkan Mahathir di
Malaysia. Semua ini bukanlah kebetulan. Sejak terjadinya kolaps di Asia, kaum
imperialis bergerak gesit untuk membeli properti harga tawar yang anjlok dan
memaksa ekonomi bangsa-bangsa Asia untuk menerima ketergantungan yang jauh
lebih menghinakan mereka dari sebelum-sebelumnya. Semua tadi semata-mata adalah
indikasi mengenai kenyataan bahwa eksploitasi yang keji terhadap negara-negara
yang dulunya jajahan, melalui IMF dan Bank Dunia, sekarang tengah menyiapkan
satu pukulan balik yang masif dalam melawan kebijakan-kebijakan swastanisasi,
"globalisasi", dan seterusnya. Bahkan di dunia Barat kita dapat
melihat berbagai permulaan gerakan massa melawan swastanisasi dan pemotongan
anggaran di negeri-negeri Welfare. Di periode berikutnya kita akan melihat
sebuah gelombang masif bergerak di arahan yang bertentangan (dengan kapitalisme
dan imperialisme) terutama dengan datangnya kemerosotan ekonomi dunia.
Adalah perlu
untuk memiliki sebuah pemahaman dialektis mengenai proses, tidak semata
menerima "fakta jadi" sebagai sesuatu yang ajeg buat selamanya.
Sesunguhnya empirisme kaum borjuis dan para perancang strateginya lah yang
membutakan mereka terhadap proses yang sebenarnya dan menahan mereka untuk
terus-terusan menapaki sepanjang jalanan yang tak bisa ditawar-tawar menggiring
mereka pada malapetaka. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, mereka
memprovokasi massa di Asia &endash;dan seluruh negeri-negeri bekas
jajahan&endash; hingga ke limit daya tahan mereka menanggung penderitaan.
Pada satu titik yang pasti, seluruh proses yang telah kita saksikan selama dekade
terakhir akan buyar dan arusnya berbalik arah. Oleh karena itu kita dapat
menutup uraian soal tadi, bahwa di periode yang akan datang, sebab kebuntuan
kaum imperialis di negeri-negeri jajahan, pukulan balik melawan swastanisasi
dan kebutuhan-krbutuhan mendesak massa di negeri-negeri ini, kita akan
menyaksikan berbagai gerakan baru dalam arahan bonapartisme kaum proletar. Hal
itu terutama akan menjadi kejadiannya di negeri yang paling lemah di antara
negeri-negeri tadi. Hasil dari proses restorasi kaum kapitalis di Rusia dan
Cina dalam satu dan lain cara, tentu saja, akan memiliki akibat yang luar biasa
besar dalam perkembangan ini. Tapi itu soal terpisah. Cukup buat mengatakan
bahwa, dalam masa kemerosotan yang amat dalam pada skala dunia, rencana-rencana
restorasi kapitalis di negeri-negeri ini akan dengan tak terelakkan lagi
terhumbalang membalik ke dalam panci peleburan. Sepenuhnya mungkin bahwa
kandidat pertama bagi reversi ke beberapa bentuk bonapartisme proletar adalah
Rusia sendiri. Perspektif itu bergantung pada seluruh kejadian yang berkembang
di Rusia dan juga di dalam skala dunia. Kita harus bersiap untuk segala macam
kerja sama yang apik, sambil terus berjuang demi kekuatan pekerja, supaya kita
tidak terkaget-kaget oleh adanya berbagai kejadian.
REVOLUSI KUBA
Perluasan
bonapartisme kaum proletar di dunia kolonial menimbulkan juga masalah lain
&endash;yaitu peran kelas buruh tani dalam revolusi. Selama seluruh periode
hal ini berlangsung, kelihatannnya analisis klasik Marxisme yang menekankan
peran kepemimpinan proletariat dalam revolusi telah dikhianati sejarah. Secara
praktis setiap tendensi lain, dengan perkeculian milik kita, menerima
teori-teori model baru mengenai perang gerilya. Kitalah satu-satunya yang
menerangkan bahwa tidak ada kelas selain kelas proletar yang dapat memimpin
pendirian sebuah negara kaum pekerja yang sehat.
Sebagaimana
telah kita tekankan, dalam tulisan-tulisan Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky,
tak bisa ditemukan referensi ataupun bahkan tanda kemungkinannya bahwa kelas
petani dapat memimpin jalannya revolusi. Alasan bagi hal itu adalah
heterogenitas ekstrim kaum tani sebagai suatu kelas. Ia terbagi atas banyak
lapisan, mulai dari buruh tak bertanah (yang benar-benar merupakan kaum
proletar pedesaan) hingga petani-petani kaya yang mempekerjakan petani lain
sebagai buruh upahan. Mereka tidak memiliki suatu kepentingan bersama dan oleh
karena itu tidak dapat memainkan peran independen dalam masyarakat. Secara
historis mereka telah mendukung kelas-kelas atau kelompok-kelompok lain di perkotaan.
Satu-satunya kelas yang mampu memimpin sebuah revolusi sosialis yang berhasil
adalah kelas buruh. Ini bukanlah karena alasan-alasan sentimental melainkan
karena posisi yang didudukinya dalam masyarakat serta karakter kolektif dari
perannya dalam produksi.
Kaum Marxis
telah senantiasa memahami perang kaum tani sebagai sebuah alat bantu bagi kaum
buruh dalam perjuangan meraih kekuasaan. Posisi tersebut pertama kali
dikembangkan oleh Marx selama revolusi Jerman di tahun 1848, saat ia ngotot
bahwa revolusi Jerman hanya dapat dimenangkan sebagai suatu edisi kedua dari
Perang Buruh Tani. Dengan kata lain, gerakan kaum buruh di kota-kota akan harus
menarik massa buruh tani di belakangnya. Penting untuk dicatat bahwa selama
revolusi Rusia kaum buruh perindustrian mewakili tidak lebih dari 10 persen
jumlah penduduk. Tetapi tetap saja kaum proletar memainkan peran pimpinan dalam
revolusi Rusia, menarik berjuta-juta massa kaum tani miskin &endash;sobat
alamiah dari kaum kaum proletar.
Kelihatannya
perspektif ini telah dipalsukan setelah terjadinya Perang Dunia Kedua ketika
sejumlah perang gerilya berakhir dengan kemenangan di Kuba, Vietnam, Angola,
Mozambik, dsb. Revolusi Kuba adalah kasus khusus yang ganjil, meskipun pada
dasarnya revolusi ini serupa dengan yang terjadi di Cina. Belum disadari
sepenuhnya bahwa Castro mulai (bergerak) sebagai seorang demokrat-borjuis.
Model yang dipakainya adalah revolusi Amerika di tahun 1776! Tetapi Mao
kemudian secara orisinal mempunyai juga prespektif bagi sebuah periode panjang
perkembangan kapitalis di Cina. Dalam kedua kasus ini logika situasi mendikte
keluaran yang berbeda dengan yang ada di pikiran pemimpin tersebut.
Setelah
menggebuk negara Batista kuno (ini bertentangan dengan nasehat Partai Komunis
Kuba yang mengutuk Castro sebagai seorang borjuis kecil petualang), Castro
mendapati dirinya berada di posisi yang sebelumnya sama sekali tidak dia lihat.
Dia berusaha mengenalkan reformasi dan menarik pajak atas perusahan-perusahaan
AS, yang membalas dengan kampanye sabotase meskipun pajak yang harus mereka
bayar di Kuba lebih rendah jumlahnya daripada yang mereka bayar di Amerika
Serikat. Washington mulai mengadakan blokade terhadap Kuba. Sebagai balasan,
Castro merampas semua asset AS di Kuba. Karena sembilan dari sepuluh bagian
ekonomi dimiliki oleh imperialisme AS, ini berarti secara praktis seluruh
ekonomi dinasionalisasikan, mereka memutuskan untuk menyempurnakannya dan
menasionalisasikan sepuluh persen yang tersisa. Dengan Moskow sebagai model di
hadapannya, para pemimpin Kuba melakukan manuver untuk mendirikan sebuah rezim
kaum bonapartis porletar.
Revolusi
Kuba bertindak sebagai sebuah lampu suar bagi para buruh dan kaum tani
tertindas di Amerika Tengah dan Latin. Di beberapa negara, mereka ini berusaha
mengikuti perang gerilya cara Kuba, tapi meskipun daya tarik permukaannya
dahsyat&endash;terutama bagi para mahasiswa muda, hal ini gagal di
mana-mana, dengan hasil yang amat parah. Tendensi kita menjelaskan bahwa banyak
dari kemenangan-kemenangan ini dicapai bukan oleh perang gerilya itu sendiri
melainkan oleh kaum buruh yang menggelar pemogokan umum di kota-kota, inilah
faktor menentukan itu. Itulah kasus di Kuba dan juga di Nigeria. Kita juga
menjelaskan bahwa sebuah perang gerilya, bahkan meskipun ia berjaya, sama sekali
hanya dapat membimbing ke arah sebuah negara kaum buruh yang cacat (negara kaum
proletar bonapartis). Sifat paling dasar dari organisasi sebuah perang gerilya
memang tidak membiarkan sebuah struktur demokratik dan kurangnya partisipasi
kaum buruh di sebuah kerja terorganisasi dalam penumbanggan rezim berkuasa
memiliki arti bahwa hirarki tentara gerilya akan membentuk birokrasi bagi
negara yang baru.
Oleh karena
itu, sambil memberi dukungan kritis pada gerakan-gerakan gerilya lainnya, yang
terjadi sebagai wujud perjuangan rakyat melawan penindasan, tendensi kita
menegaskan tuntutan bahwa faktor utama untuk merubah masyarakat adalah
organisasi sadar kaum pekerja. Di hampir semua negeri-negeri di mana perang
gerilya berkembang, kelas buruh sekecil-kecilnya pun jemlahnya sama besar
dengan kelas buruh selama berlangsungnya revolusi Rusia di tahun 1917, dan jauh
lebih besar sebagai suatu proporsii dari jumlah total populasi. Di bawah
kepemimpinan sebuah partai Leninis yang sejati, kaum pekerja dapat mengadakan sebuah
revolusi proletar klasik dengan cara seperti jalannya revolusi Oktober, di
semua negara terbelakang asalkan bukan yang paling terbelakang. Lebih lanjut
lagi, di banyak &endash;jikapun bukan di sebagian terbesar&endash;
negara-negara ini, mayoritas jumlah penduduk saat ini hidup di daerah-daerah
urban. Dalam jumlah, kelas buruh jauh lebih kuat daripada kasus Rusia di tahun
1917. Hanya kurangnya faktor subyektif &endash;sebuah partai revolusioner
dan kepemimpinan&endash; yang menghalangi terjadinya revolusi proletariat
seperti itu.
Semua
kelompok yang dikenal sebagai "Trostkyist" pada saatnya mulai
mempertahankan perang gerilya di Dunia Ketiga satu-satunya cara bagi revolusi
sosialisme. Bahkan mereka bertindak terlampau jauh dengan menyatakan bahwa perang
gerilya sebagai taktik utama meski di negeri-negeri di mana kaum tani bukan
merupakan bagian yang berjumlah cukup besar dari populasi penduduk, mereka ini
mengembangkan ide gila mengenai "gerilya kota" yang membawa
kehancuran atas seluruh generasi kaum muda revolusioner di negeri-negeri
seperti Argentina, Uruguay, dan lainnya.
Oportunisme
organis dari para pemimpin Partai Komunis, penerimaan mereka atas borjuasi di
bawah panji-panji teori "dua tahap", mendorong sebagian besar
mahasiswa muda ke arah adventurisme &endash;terorisme individual dan
gerilyaisme&endash; dalam pencarian mereka menemukan jalan pintas. Hal ini
menyebabkan malapetaka di Amerika Latin, di mana taktik ini menggiring
terjadinya pembantaian terhadap seluruh keturunan kader-kader muda revolusioner
dan, puncaknya, ini menggiring terjadinya mimpi buruk keditaktoran militer di
Argentina dan Uruguay. Jahatnya, yang dikenal dengan sebutan kaum Trotskyist
tidak memerangi tendensi-tendensi ini, melainkan malah membantu dan bahkan
berpartisipasi di dalamnya. Fakta-fakta ini memperlihatkan betapa jauh
orang-orang ini telah terdegenerasi. Ide-ide yang telah terdiskredit di masa
prasejarah gerakan sekarang ini muncul lagi dari peti sejarah yang berdebu,
dipertontonkan sebagai sesuatu yang baru dan orisinal. Tetapi Marxisme bangsa
Rusia lahir dalam perjuangan melawan segala bentuk terorisme dan
"gerilyaisme" individual. Metode-metode yang begitu (terorisme
individual dan gerilyaisme) mestilah hanya menuntun kepada kekalahan, bahkan
jikapun sukses itu tidak dapat menuntun kepada pendirian sebuah negara kaum
pekerja yang sehat, melainkan hanya pendirian sebuah karikatur birokratis.
PERANG
GERILYA
Kegagalan
kaum gerilyawan di El Savador dan Guatemala memperlihatkan limitasi taktik ini.
Sebagaimana revolusi Kuba telah mengejutkan kaum imperialis, jadilah mereka
melakukan persiapan yang lebih baik untuk menghadapi problem serupa di tempat
lain. Padahal, dengan kebijakan dan taktik-taktik yang tepat, revolusi mencapai
keberhasilan di El Savador, di mana kondisi-kondisi yang tersedia tepat bagi
sebuah gerakan massa di perkotaan. Kepemimpinan kaum boujuis kecil tergila-gila
dengan ide perang gerilya dan menggiring gerakan pada kekalahan berdarah. Di
Nikaragua, kaum Sandinista telah melakukan perang gerilya selama berpuluh
tahun, tanpa hasil. Yang menyelesaikan masalah bukanlah kaum gerilyawan,
melainkan fakta bahwa ada pemberontakan massa dan pemogokan umum di Managua.
Di sini,
kembali kita melihat peran kontra-revolusioner dari Stalinisme. Kaum Sandinista
dapat dengan mudah mennncapai tujuan akhir dan mengadakan revolusi sosialisme.
Tentu, di negara kecil seperti Nikaragua, mereka tak dapat bertahan lama.Tetapi
di sinilah terletak poin pokok dari revolusi permanen. Pada nyatanya, Amerika
Tengah adalah satu keseluruhan. Setelah merebut kekuasaan di Nikaragua, kaum
Sndinista harusnya kemudian melakukan himbauan pada kaum pekerja dan kaum tani
di Guatemala, Honduras, El Savador, dan Costa Rica untuk mengikuti contoh
mereka. Di atas semua itu, adalah penting untuk melebarkan revolusi ke Meksiko.
Revolusi bangsa Nikaragua akan menang sebagai bagian dari revolusi di Amerika
Tengah dan Selatan, atau tidak menang sama sekali. Barangkali pimpinan-pimpinan
Sandinista telah bersiap mengadakan revolusi hingga tujuan akhir dengan
mengakhiri kapitalisme di Nikaragua. Tetapi meraka dihalang-halangi tekanan
dari Moskow dan Havana untuk melakukan hal ini. Birokrasi Rusia dan Kuba,
termotivasi pertimbangan-pertimbangan nasional yang sempit bin picik, tak ingin
memprovokasi Washington dan meyakinkan kaum Sandinista untuk menghentikan
revolusi di tengah jalan. Ini adalah penghancur revolusi. Kaum imperialis AS
mengorganisir dan mempersenjatai kaum Contras yang kontra-revolusioner dan
pelan-pelan mencekik mati revolusi Nikaragua.
Kaum
Imperialis telah menyimak pelajaran mengenai berbagai perang gerilya dan
bertekad memusnahkan perang-perang gerilya berikutnya di tahap awalnya. Di
periode terakhir sejumlah kelompok gerilya yang berbeda-beda telah mengabaikan
taktik-taktik mereka dan sampai pada persetujuan untuk berpartisipasi dalam
arena politik sipil. Tetapi hal ini lebih merupakan hasil demoralisasi para
pemimpin mereka yang cenderung Stalinis, daripada solusi masalah sejati yang
memang tumbuh dalam perang gerilya sendiri. Kita telah melihat bagaimana di
negara-negara seperti El Savador atau Guatemala, pasukan militer khusus yang
punya kewenangan tembak-mati masih beroperasi bebas dan penyelesaian
problem-problem negeri itu masih saja jauh panggang dari apinya. Oleh karena
itu, kemungkinan pecahnya perang gerilya baru masih ada. Contohnya di
Nikaragua, kelompok-kelompok yang berbeda telah kembali mengangkat senjata
ketika janji soal pertanahan dan kemudahan memperoleh pekerjaan bagi mereka
tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Fakta bahwa
kaum gerilyawan telah menyerah di sejumlah negara tidaklah menghapuskan
kemungkinan pecahnya perang gerilya yang baru. Malah sebaliknya. Tak
terelakkan, perang ini bisa terjadi lagi di masa mendatang, bahkan mungkin
berakhir dengan kemenangan di beberapa kasus. Saat ini masih ada faktor-faktor
yang sama yang menyebabkan timbulnya perang gerilya di masa lalu. Situasi putus
asa di kalangan kaum tani di di sebagian besar negara kolonial, kebutuhan untuk
menghapuskan sistem pemilikan tanah feodal, yang masih eksis di banyak tempat
&endash;semua faktor ini membuat berbagai perang gerilya akan tak
terelakkan. Indikasi jelas dari hal ini diperlihatkan dengan kemunculan tentara
zapatista (EZLN) di Chiapas, Meksiko, pada tahun 1994. Dalam ketiadaaan sebuah
alternatif revolusioner yang sjati, ada suatu kebahayaan bahwa lapisan kaum
muda akan cenderung mnegambil jalan dengan metode-metode gerilyaisme dan juga
terorisme. Meski begitu, EZLN itu contoh yang bagus mengenai perlunya gerakan
kaum tani bahu membahu dengan gerakan buruh di perkotaan. Setiap kali angkatan
bersenjata Meksiko mencoba menembus dan memukul kaum zapatista,
demonstrasi-demonstrasi massa di perkotaan menghentikannya. Program EZLN adalah
program borjuis-demokratik pada tingkatnya yang terbaik, tetapi bahkan
tuntutan-tuntutan minimum mereka tak berhasil dicapai dalam pagar batas
kapitalisme. Ini adalah satu konfirmasi bagi teori revolusi permanen. Kurangnya
alternatif disediakan para pemimpin EZLN telah memungkinkan pemerintah maju
terus melakukan tindakan ofensif dan coba menghancurleburkan satu demi satu
"para warga otonom" lainnya di bawah kontrol zapatista.
Para
pemimpin EZLN tidak memiliki suatu program yang dapat menghimbau kaum pekerja
dan kegigihan usaha mereka (zapatista) untuk melampui basis dukungan mereka di
tengah-tengah kaum tani telah terutama sekali berorientasi pada kaum
cendikiawan borjuis-kecil serta kelas menengah perkotaan. Kita harus ingat
bahwa sekarang ini di Meksiko 70% jumlah penduduk tinggal di daerah urban.
Kunci bagi terjadinya revolusi di Meksiko, dan seluruh Amerika Latin, tidak
terletak di kaum tani, melainkan di dalam gerilya berjuta-juta buruh.
Di Kolombia,
gerakan gerilya tidak hanya masih aktiv tetapi juga mengontrol sekitar 60
persen teritori negara dan terus berlanjut lebih maju lagi. Ini tidak berarti
mereka bisa mengambil kekuasaan. Imperialisme AS begitu khawatir akan prospek
ini hingga mengirimkan penasehat-penasehat militer ke sana. Mari kita ingat
inilah bagaimana keterlibatan AS dalam perang Vietnam di awal 1960-an dulu.
Analogi ini dibuat oleh para pengamat borjuis. Sejak perang Vietnam,
imperialisme AS coba menghindari turunya pasukan tempur di darat pada
daerah-daerah konflik asing, mereka lebih memilih serngan udara sebagai
andalannya. Namun perang tak dapat dimenangkan hanya dgg serangan udara melulu.
Adalah mungkn lho, jika kelihatan bahwa gerilyawan Kolombia mencapai kekuasaan,
keterlibatan AS akan ditarik mundur sebagaimana terjadi di Vietnam.
Perkembangan yang semacam itu akan memiliki akibat yang tak terhitung di
seluruh Amerika Latin dan Tengah, dan juga di Amerika sendiri. Inilah tepatnya
apa yang dimaksud oleh Trotsky saat ia ungkapkan bahwa dinamit telah tergabung
dalam pondasi imperialisme AS sebagai akibat daari perannya sebagai polisi
dunia dalam masa membusuknya kaum imperialis.
KONTRADIKSI-KONTRADIKSI
INTERIMPERIALIS
Satu efek
penting dari kejatuhan Stalinisme adalah hal itu mengintensifikasi
kontradiksi-kontradiksi di kalangan kaum imperialis sendiri. Di masa lalu,
untuk beberapa kepentingan, mereka bersatu dalam melawan Stalinisme sebagai
musuh bersama, tapi kini musuh ini telah hilang &endash;setidaknya
keberadaannya. Kepentingan-kepentingan yang mengandung potensi konflik di
berbagai kekuatan imperialis yang berbeda telah muncul ke permukaan. Pembagian
seluruh dunia menjadi tiga blok raksasa terus berlanjut. Uni Eropa, didominasi
Jerman bersama Perancis sebagai "mitra" juniornya, sedang sibuk
menetakkan pengaruhnya di daerah-daerah di Eropa Tengah dan Timur, serta
memiliki juga serangkaian derah semi-kolonial Afrika Utara, Afrika, dan
kepulauan Karibia. Amerika Serikat sedang berusaha memperkuat cekikannya di
Amerika Tengah dan Selatan, dan pada saat yang sama sedang memperkokoh dominasi
pengaruhnya dalam skala dunia. Kita telah melihat, kadang-kadang hal ini
membawa AS ke dalam konflik dengan "sahabat-sahabatnya" di Eropa dan
Jepang. Atas alasan-alasan yang telah kami jelaskan di dokumen tersendiri, di
bawah kondisi-kondisi modern, terjadiya perang dunia di antara
kekuatan-kekuatan utama dunia adalah hal yang dapat dikesampingkan. Tetapi
perang-perang "kecil" di Dunia Ketiga yang melibatkan bala tentara
mereka, sebagai perwakilan bagi negara-negara yang menjadi klien mereka, akan
berlangsung terus-menerus.
Tanpa banyak
ragam pers borjuis mencoba menghadirkan berbagai perang dan konflik di
negara-negara ini sebagai perang yang "rasial" atau "bermotivasi
etnis". Nyatanya, kemiskinan, sebagai akibat over eksploitasi keji yang
dilakukan imperialisme terhadap negara-negara ini, adalah satu dari
faktor-faktor utama yang meletikkan kobaran perang dan konflik-konflik
tersebut. Faktor lainnya adalah perpecahan dan kebijakan hukum dari para
majikan imperialis yang lebih dulu, serta garis perbatasan negeri-negeri ini
yang ditarik secara artifisial saja. Delapan dari sepuluh negara penghutang
terbesar telah menderita perang saudara dan konflik-konflik kekerasan sejak
1990. Dari 25 negara penghutang terbesar, 15 mengalami konflik sejenis. Di
beberapa negara, khususnya, tapi secara eksklusif, di daerah sub-Sahara di Afrika,
kita tengah menyaksikan penghancuran struktur tepenting dari masyarakat dan
negara dan juga pemunculan kembali elemen-elemen barbarisme. Negeri-negeri itu
koyak moyak oleh pengerukan dan penjarahan yang selama berpuluh tahun dilakukan
oleh kaum imperialis yang mempersenjatai gerombolan-gerombolan yang memerintah
di negara yang dalam kondisi perang permanen serta negara yang borjuasinya
kolaps. Kasus-kasus begini terutama terjadi di negara-negara di mana kelas
pekerja senantiasa selalu lemah secara ekstrim. Sebagai contoh fenomena ini,
cukuplah kita mengingat Somalia, Sierra Leone, dan Afghanistan.
Kaum
Imperialis sedang berperang secara sengit demi tiap pasar dan tiap posisi
strategis di arena dunia. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan luar biasa banyaknya,
serta memproduksi suatu situasi yang jauh lebih mirip dengan saat pergantian
abad kemarin daripada serupa dengan periode panjang yang relatif stabil di
perhubungan internasional selama setengah abad setelah berakhirnyya Perang
Dunia Kedua. Secara jelas hal ini dapat terllihat di Afrika di mana kita tengah
menyaksikan pertarungan antara satu kekuatan imperialis yang sedang membusuk
(Perancis) dan sebuah kekuatan sedang bangkit, kekuatan yang sedikitnya
memiliki kepentingan-kepentingan terdahulu di benua itu (yaitu, kekuatan AS).
Konflik inter-imperialis ini telah menjadi faktor yang mendasari terjadinya
perang di wilayah Central Lakes di Afrika, di Azire, di Congo-Brazzaville, di
Sudan, dst. Jadi, Uganda telah menjadi pion penting milik Washingto dalam hal
membantu Washington memenangkan posisi di Rwanda, Burundi, dan Zaire, yang
&endash;akibatnya&endash; menempatkan pengaruh AS menggantikan pengaruh
Perancis sebagai pecundang dalam konflik ini.
Di Sudan
kita dapat melihat sebuah kampanye gabungan negara-negara yang disokong AS
(Uganda, Rwanda, Ethiopia) untuk mengusir keluar pemerintahan Islam di
(wilayah) Utara, sokongan ini adalah dengan cara mendukung kaum gerilyawan di
Selatan. Sekali lagi, Perancis mendapati dirinya di sisi kutub yang salah.
Tetapi contoh yang paling pertama dari pertarungan antar kekuatan imperialis
besar dalam memperebutkan sumber daya alam dengan mengorbankan nyawa ribuan
rakyat sipil, tanpa keraguan sedikitpun, adalah perang di Congo-Brazzaville
selama musim panas 1997. Perang ini merupakan pertarungan terbuka antara
perusahaan minyak AS dan Perancis (dengan sokongan pemerintahan Washington dan
Paris serta konco-konconya di daerah itu) memperebutkan hak pengontrolan atas
sumber minyak bumi. Setelah beberapa bulan negeri itu nyaris sepenuhnya hancur,
10.000 orang menemui kematian, dan perusahan minyak Elf dari Perancis kembali
memenangkan kontrak atas sumber daya alam Congo. Konflik-konflik kepentingan
yang sama berulang-ulang di seluruh dunia. Perancis, AS, dan Rusia sedang
bertarung untuk minyak bumi di Timur Tengah (terutama di Irak) dan di Asia
Tengah. Afghanistan masih terkoyak-koyak oleh faksi-faksi yang bersaing, yang
masing-masingnya didukung oleh kekuatn asing &endash;Pakistan, Iran, Saudi
Arabia, Rusia, AS. Keseluruhan Asia adalah arena pertempuran sengit
kekuatan-kekuatan utama kaum imperialis dalam memperoleh pasar.
IMPERIALISME
TERPAKSA MUNDUR
Bagi
kekuatan-kekuatan imperialis, dominasi militer secara langsung di negara-negara
kolonial telah menjadi terlalu mahal sejak 1945. Bahkan sebelum Perang Dunia
Kedua, Trotsky menjelaskan bahwa biaya dominasi langsung imperialis terhadap
dunia kolonial adalah lebih besar daripada keuntungan yang mereka peroleh dalam
eksploitasi. Bagaimanapun, banyak negara imperialis enggan menjauhi
negara-negara ini dan oleh karena itulah terjadi berbagai gerakan massa di Asia
Tenggara melawan imperialisme AS dan Perancis; di Afrika (Kenya, Ghana, dan
Nigeria) melawn imperialisme Inggris, serta melawan imperialisme Perancis di
Algeria. Tetapi bahkan di negeri di mana kemerdekaan diakui, itu tidak
memecahkan problem-problem massa di sana. Kemerdakaan tersebut hanya formal
saja, sementara dominasi kaum imperialis terus berlangsung, lebih subtil,
melalui perangkat ekonomi.
Dominasi-dominasi
tersebut terutama diterapkan melalui mekanisme pasar dunia dan pertukaran
dagang yang tak imbang di mana komoditi yang menggunakan tenaga lebih banyak
buruh (dalam memproduksinya) ditukar dengan komoditi yang mempekerjakan buruh
sedikit saja. Imperialis mendorong banyak dari negara-negara ini ke dalam
perekonomian yang monocrop, baik negara itu mengandung produk agrikultur
seperti kakao, kopi, nanas, kapas, dll., ataupun ia mineral seperti tembaga,
berlian, timah, dll. Secara ketat harga produk-produk ini dikontrol oleh
sejumlah kecil perusahaan multinasional dan tendensi umum terhadapnya telah
menurun dalam puluhan tahun belakangan ini. Pada saat bersamaan, harga
produk-produk manufaktur yang dibeli sebagai tukarannya telah membumbung,
menciptakan sebuah lingkaran setan yang mustahil untuk keluar darinya. Adalah
bukan kebetulan bahwa krisis bangsa Rwanda diramalkan dengan jatuhnya harga
kopi. Hal ini mengacaukan hidup suku Hutu yang kemudian pindah ke kota-kota di
mana mereka menjadi mangsa gerombolan-gerombolan yang diorganisasikan untuk
mengadakan pembasmian ras (genocid). Harga bahan baku dan hasil agrikultur
dalam kondisi riil sekarang adalah lebih rendah daripada harganya selama
Depresi Besar Dunia 70 tahun lalu.
Seluruh
sejarah dunia sejak 1945 semata-mata tersaji untuk membuktikan teori revolusi
permanen, yang telah didemonstrasikan oleh revolusi Rusia. Jangan kita lupa
bahwa sebelum 1917, tsaris Rusia adalah negeri yang terbelakang, semi-feodal,
dan semi-kolonial (ketergantungan Rusia yang sepenuhnya terhadap imperialisme
asing tidak dapat diganti oleh fakta bahwa Rusia sendiri adalah satu kekuatan
imperialis yang lemah). Di awal 1904, Trotsky menjelaskan ketidakmampuan dasar
dari borjuasi untuk memecahkan masalah apapun yang dihadapi masyarakat Rusia.
Ini adalah kebenaran bagi borjuasi nasional di seluruh negeri yang dulunya
kolonial di dalam era dominasi imperialisme. Untuk alasan ini, dalam Kongres
Kedua Komunis Internasional, Lenin menuntut tegas penolakan frase
"revolusi borjuis-demokratik", menggantinya dengan slogan revolusi
nasional-demokratik. Hal ini adalah untuk menggarisbawahi kebusukan borjuasi
kolonial, ketidakmampuannya untuk memainkan peran progresif apapun di jaman
modern. Hal ini ditunjukkan paling jelas oleh kasus India.
INDIA
Selama
setengah abad, borjuasi India telah sering kali menunjukkan dirinya mampu
berbuat apa. Dan sekarang ia masih dikutuk sejarah. Lima puluh tahun setelah
kemerdekaan, meski kapasitas produksi yang dimiliki India itu kolosal, borjuasi
India belum bisa memecahkan satu pun masalah mendesak di negeri itu. Walaupun
telah ada perkembangan jelas di bidang industri (India saat ini memiliki
industri lebih banyak daripada Inggris), saat ini India masih sama
bergantungnya pada imperialisme seperti saat India mencapai kemerdekaan formal,
dan segala masalah negeri itu, persoalan-persoalan nasional dan bahkan sistem
kasta tetap tinggal tak terpecahkan.
Borjuasi
India hanya mampu memerintah setelah kemerdekaan karena kebijakan-kebijakan
Partai Komunis yang menyatakan gencatan senjata selama perjuangan kemerdekaan.
Kebijakan anti-Leninis yang sama mengenai "dua tahapan" diikuti oleh
semua Partai Komunis di dunia jajahan: mendukung "kaum borjuasi nasional
progresif" melawan imperialisme, menurunkan perjuangan demi sosialisme ke
masa depan dan cahaya yang jauh. Pada kenyataannya, India meraih kemerdekaan
formal sebagai bagian dari proses pergerakan-pergerakan massa rakyat daerah
kolonial yang terjadi di periode setelah berlangsungnya Perang Dunia Kedua.
Barangkali pergerakan di India adalah pergerakan rakyta yang terbesar dalam
sejarah. Berjuta massa di negeri-negeri kolonial berperang melawan imperialisme
dan mengalahkannya dalam kebanyakan kasus pemerdekaan diri.
Partai
Kongres di bawah Nehru menyatakan diri sebagai sekular sekaligus "sosialis".
Bahkan setelah setengah abad dari itu, kita lihat kemenangan fundamentalisme
Hindu dalam bentuk BJP yang reaksioner. Inilah harga yang dibayar India atas
borjuasi. Tanggung jawab utama terletak di pundak para pemimpin Partai Komunis
India pro-Moskow dan Partai Komunis India pro-Beijing (M) yang mengadakan
perjanjian persetujuan dengan Partai Kongres (lagi-lagi "dua
tahapan"). Padahal bukan Kongres yang membebaskna India dari pemerintahan
Inggris, melainkan jutaan kaum pekerja dan kaum tani India. Selama 300 tahun
Inggris telah memerintah India dengan menggunakan pasukan India sendiri. Sekali
rakyat India bangkit dan bilang tidak, Inggris menyadari bahwa permainannya
telah selesai. Jenderal Auckinlech mengirimkan telegram ke London untuk
menyampaikan ia tidak mampu menangani India lebih dari empat hari. Lebih jauh
lagi, Kongres menghianati India dengan penerimaan atas pembagian daerah yang
berdarah serta reaksioner, yang di dalamnya sekitar 10 hingga 20 juta orang
terbantai. Ini adalah kejahatan imperialisme Inggris yang, di bawah kata
pendahuluan "mencegah pertumpahan darah", secara sinis membelah tubuh
India, dengannya menebar benih berbagai perang dan konflik baru.
Kejatuhan
Stalinisme berarti perubahan penting bagi dunia kolonial. Di masa lalu negara-negara
kolonial mempunyai kesempatan menjadi penyeimbang antara kekuatan AS dan Uni
Sovyet serta memperoleh beberapa keuntungan dari hal itu. Sekarang sudah tidak
lagi. Hal ini amat mempengaruuhi negara seperti India , yang di masa lalu
menyandarkan perluasan tertentu dari jalur politik dan perdagangannya ke
birokrasi Moskow, relatif independen dari Washington. Sekarang halnya tidak
demikian. Di bawah tekanan imperialisme saat ini secara keji India dipaksa
membuka pasarnya, ini mempunyai konsekuensi katastropik bagi industri lokalnya.
Potret yang sama dapat dilihat di semua daerah eks-kolonial. Mimpi-mimpi
tentang kemajuan melalui kemerdekaan telah terekspos sebagai suatu tipuan
kejam. Di bawah sistem kapitalis, menangnya kemerdekaan formal &endash;meski
hal ini sendiri adalah suatu perkembangan progresif&endash; tak dapat
memecahkan satupun masalah paling fundamental dalam masyarakat di negeri-negeri
terbelakang.
Saat ini, 70
persen anggaran India ditujukan bagi pembayaran hutang, dan sekarang
pemerintahan BJP telah menambah jumlah besar sekali anggaran untuk belanja
persenjataan. Ini akan menempatkan beban baru dan berat di pundak kaum pekerja
dan kaum tani, yang akan segera melihat pemerintahan BJP itu seperti apa.
Sebagaimana koran The Economist menyatakan secara sarkasme bahwa arti
sebenarnya dari slogan BJP "kepercayaan diri" adalah "Anda lebih
baik terbiasa miskin". Sebagai akibatnya, pemerintahan BJP sudah mulai
ambruk ke pinggiran. Satu Juni anggaran diumumkan hanya sesaat setelah dilakukan
uji coba nuklir, pemerintah mengumumkan pemotongan besar-besaran atas subsidi
pupuk dan menaikkan harga BBM. Namun koalisi yang ada begitu lemah hingga saat
partai-partai oposisi memprotes, segeralah Menteri Keuangan Yashwant Sinha
mundur, mereduksi potongan subsidi hingga setengahnya dan menurunkan lagi harga
bahan bakar, mengatakan bahwa kebijakan sebelumnya adalah
"kekeliruan".
Sejak itu,
bursa turun 30 persen, nilai rupee turun 7 persen terhadap dollar, dan hanya di
minggu pertama Juni saja senilai 130 juta dollar investasi asing meninggalkan
India. Dan ini belum lagi saatnya sanksi-sanksi itu membuahkan akibat. Menurut
beberapat estimasi, hal itu dapat menggunting pertumbuhan India hingga 4
persen, amat sangat lemah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang diperlukan
untuk menanggulangi pengangguran. Dan inflasi, yang hanya 4,5 persen
sebelumnya, dapat membumbung hingga 10 persen. Jadi, BJP akan mengalami masalah
dengan tingginya pengangguran, harga-harga membumbung, dan lebih jauh lagi
jatuh terpuruknya standar hidup. Sekali kabut chauvinisme yang melingkupi uji
coba nuklir tertiup pergi &endash;dan ini sudah mulai&endash; panggung
siap untuk terjadinya berbagai pergerakan besar. Kalau saja Partai Komunis
India dan Partai Komunis India (M) memiliki program komunis yang sejati, masa
depan revolusi India dapat dipastikan. Sialnya, kedua partai itu menyetujui
garis reformis, berbasis pada pakta dan aliansi-aliansi dengan lapisan-lapisan
berbeda di jajaran borjuasi nasional. Di atas garis ini hanya terletak
perspektif kekalahan dan reaksi. Dalam hal perjuangan, mulai dengan
lapisan-lapisan yang paling berkesadaran di PK India dan PK India (M) , kaum
pekerja India akan harus menemukan jalan menuju kebijakan yang benar-benar
Leninis, kebijakan yang sendirianpun akan menjamin tercapainya kesuksesan.
PAKISTAN
Dua puluh
enam tahun dari 51 tahun terakhir, Pakistan berada di bawah pemerintahan
militer. Pakistan telah menapak dari rezim-rezim demokratik yang tidak stabil
menuju pada keditaktoran, lalu kembali lagi ke semula, tanpa menyelesaikan satu
masalah pun. Sebaliknya, problem-problem tersebut mantap terus memburuk. Bagian
terbesar anggaran negara dibelanjakan untuk pertahanan negara serta
pengembalian hutang. IMF menuntut pengurangan belanja militer &endash;tapi
bukan pengembalian hutang! Kaum imperialis tidak menginginkan terjadi kudeta
dan amat pasti mereka tidak menginginkan pecahnya perang antara India dan
Pakistan. Namun uji coba nuklir yang dipamerkan India dengan cepat memprovokasi
rezim Pakistan untuk mengekor. Hal ini menunjukkan batas kecakapan imperialisme
mengontrol situasi. Kelas yang berkuasa baik di India ataupun Pakistan tanpa
perlu kita sangsikan telah menggunakan masalah nuklir sebagai pengalih
perhatian (massa), membangkitkan sentimen-sentimen chauvinis dengan tujuan
mencegah perkembangan terjadinya revolusi. Tapi hal ini hanya bisa bertahan
sebagai fenomena temporer. Sekali efek chauvinis tadi tertelanjangi, perhatian
massa akan kembali bahkan lebih fokus pada kebutuhan yang paling menekan hidup
mereka, yaitu pekerjaan, makanan, dan tempat tinggal.
Kapitalisme
Pakistan tetap secara ekstrim lemah serta tidak stabil. Semua kontradiksi telah
terbangun selama puluhan tahun, menghasilkan situasi yang eksplosif. Di bawah
tekanan imperialisme yang tak mengenal belas kasihan, Pakistan mereduksi
tarifnya. Sebagai akibat dari hal itu, 3.462 perusahaan menengah dan besar
ditutup. Efektifnya, negara ini bangkrut. Di perempat terakhir tahun 1996 saja,
550 juta dollar dikeluarkan untuk membayar bunga hutang. Jika tidak disokong
pasar gelap raksasa (obat bius, peredaran senjata gelap, dsb.) seluruh
perekonomian tentu kolaps. Tapi biar bagaimana pun, situasi saat ini tak dapat
ditangani lebih lama lagi. Ada tekanan konstan dari IMF untuk menaikkan pajak
tak langsung atas bensin, gas, dan listrik, dan dengan itu mengoyak standar
hidup massa yang sudah menyedihkan. Namun mereka bermain api. Sebagaimana di
India, klik yang berkuasa di Pakistan coba mengalihkan perhatian kemarahan
massa ke pada musuh eksternal dan membangkitkan sentimen patriotik atas masalah
peledaka uji coba nuklir. Mungkin Nawar Sharif tidak punya alternatif kecuali
mengikuti contoh dari India. Kasta ksatria tidak akan menerima yang kurang dari
itu. Tapi konsekuensinya akan jauh lebih serius di Pakistan daripada India.
Pemutusan bantuan AS akan akan berefek jauh lebih buruk di bidang keuangan bagi
negara yang telah tertatih-tatuh di bibir jurang kebangkrutan. New Delhi
memiliki cadangan 2,6 milyar dollar, sementara Pakistan hanya 1,2 milyar
dollar, hanya cukup buat pertukaran impor selama lima minggu. Tekanan tanpa
ampun yang dirasakan massa sekarng adalah persiapan bagi terjadinya ledakan di
kedua negara ini. Revolusi tahun 1968 diletikkan oleh kenaikan harga gula
sebesar 10 persen. Hal yang sama terjadi lagi.
Terdapat
banyak kesamaan paralel antara Pakistan dan tsarisme Rusia. Seperti Rusia,
Pakistan adalah sebuah masyarakat semi-feodal di mana kapitalisme bercokol di
sejumlah daerah, terutama di Karachi dan sebagian dari Punjab. Masalah nasional
yang dihadapi juga serupa, dengan orang Punjab yang mendominasi orang-orang
Sandhi, Baluchi, Pushtoon, dsb. Jika kelas pekerja tidak merebut kekuasaan,
amat mungkin Pakistan akan terpecah di masa nanti. Kemungkinan ini telah
terlihat dengan pemiisahan diri yang dilakukan oleh Bangladesh (dulu merupakan
Bengali Timur). Mengingat percampuran penduduk dewasa ini (contohnya, orang
Sindhi adalah minoritas di Karachi, dan orang Baluchi minoritas di kota-kota
Baluchistan), pecahnya Pakistan jadi bagian-bagian menurut suku jelas merupakan
mimpi buruk absolut. Hanya perjuangan revolusioner kelas pekerja Pakistan yang
bersatu yang dapat mencegah terjadinya hal ini dan memecahkan masalah nasional
di atas basis federasi sosialis yang demokratis, yang dapat menjadi titik mula
bagi terbentuknya Federasi Sosialis bangsa India Sub-benua. Cuma hal ini yang
dapat mencegah horor berupa perang dan kekerasan komunal yang merupakan akibat
tak terelakkan dari kapitalisme.
Pemerintahan
PPP pimpinan Benazir Bhutto bersifat korup, tetapi pemerintahan Nawar Sharif
saat ini bahkan lebih buruk lagi. Yang disebut belakangan ini merupakan sebab
pemerintahan yang terdiri atas bagian-bagian terbusuk dari para komprador
borjuasi, berhubungan erat dengan bandar-bandar perdagangan obat bius,
bersandar pada kaum fundamentalis reaksioner. Situasi yang tidak stabil yang
ada saat ini tidak akan berlangsung terlalu lama. Di paruh akhir tahun 1997,
500.000 pekerjaan hancur sebagai akibat diterapkannya kebijakan-kebijakan IMF.
Hal ini mengacaukan kelas pekerja dengan banyaknya pabrik yang ditutup.
Rata-rata pertunbuhan penduduk Pakistan per tahun adalah 3,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi tidak dapat menjajari pertumbuhan penduduk ini. Dengan
angka kelahiran tertinggi di dunia, negeri ini termasuk yang paling rendah angka
melek hurufnya serta terburuk pelayanan kesehatannya. Untuk obat, per tahun
negara membelanjakan lima penny per orang. Infrastruktur negeri ini sedang
kolaps. Dalam beberapa tahun terakhir, 7.500 kilometer jalur kereta api
ditutup. Semua aset negara dalam persiapan diswastanisasikan. Tapi bahkan jika
mereka jual semua aset ini (harganya sekitar £ 5 milyar), tetap tidak dapat
menutupi bunga hutang £ 7 milyar. Justru di tengah krisis sosial dan ekonomi
ini kelas berkuasa Pakistan maju terus dengan program persenjataan nuklirnya.
Ini memperlihatkan usaha mati-matian kelas penguasa ini mengalihkan perhatian
massa dari masalah-masalah rill, dengan menghadirkan musuh dari luar, yaitu
India. Hal ini tidak akan menyelamatkan kelas pengusa di Pakistan dari kegusaran
massa sekali saja massa telah mulai bergerak.
Semua tanda
ini mengindikasikan bahwa situasi objektif mulai berubah. Suasana hati massa
saat ini telah berbalik melawan pemerintahan Nawar Sharif. Baru-baru ini PPP
mengadakan demonstrasi di Karachi di mana Benazir Bhutto berpidato. Dia
mengharapkan kumpulnya 5.000 orang, tetapi ia mendapati dirinya telah
mengumpulkan 500.000 orang. Betul-betul ini bukan jenis dukungan yang ia
inginkan. Kepemimpinan di PPP lebih menyukai situasi di mana pemogokan gagal
dan demonstrasi hanya menarik minat sedikit orang saja, jadi mereka bisa
mengecilkan hati massa dengan mengatakan bahwa situasinya sungguh sukar.
Menghadirkan setengah juta orang dalam satu demonstrasi hanya dapat dimaknakan
sebagai adanya dukungan dari para pekerja dan mahasiswa Pakistan. Terpisah dari
demonstrasi itu ada banyak indikasi lain yang meunjukkan bahwa mood yang
berubah sedang mengambil tempatnya, bahkan di Karachi.
DEMOKRASI
ATAU KEDITAKTORAN?
Karakteristik
penting lain dari situasi yang terjadi saat ini di dunia kolonial adalah
berpindahnya kecenderungan imperialisme dari mendukung kekuasaan militer ke
mendukung pemerintahan "demokratis" di mana saja hal ini mungkin
dilakukan. Kita melihatnya di Haiti, di Filipina, dan di negeri-negeri lainnya,
di mana Washington menarik dukunngannya terhadap boneka-boneka yang dulunya
jadi tumpuan perpanjangan tangannya. Dua alasan utama dari perubahan ini di
satu sisi adalah kenyataan bahwa Stalinisme tak lagi merupakan ancaman dan oleh
karena itu, di bawah tekanan massa, mereka bisa mengakui demokrasi formal,
sejauh itu tidak mengancam kepentingan-kepentingan ekonomis dan
kepentingan-kepentingan strategisnya. Di sisi lain pemerintahan diktatorial
cenderung mendapatkan peledaknya sendiri. Kediktatoran menciptakan aparatus
birokratis yang mahal dan masif, dan para ditaktor sendiri punya tendensi akan
kronisme dan kemewahan yang mana hal ini memakan bagian kue yang harusnya bisa
diperas oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara ini.
Beberapa diktator tersebut bahkan berani menantang tuan mereka dan menyebabkan
berbagai kesulitan bagi Amerika. Inilah kasusnya Noriega di Panama dan Saddam
Hussein di Irak, sekadar contoh.
Selama
tekanan gerakan massa tidak mengancam eksistensi sesungguhnya dari sistem kapitalis,
demokrasi adalah cara pemerintahan yang paling ekonomis menurut pandangan kaum
kapitalis. Di sembarang pemerintahan tadi, keputusan-keputusan yang paling
penting masih diambil di Washington, Paris, dan London. Kenyataan bahwa, pada
awalnya, imperialisme lebih memilih pemerintahan yang "demokratis"
tidaklah lantas berarti ia mampu mencapainya. Jangan kita lupakan kalau dua
negara yang dianggap memiliki transisi yang lancar menuju demokrasi borjuis
adalah Zaire pimpinan Mobutu dan Nigeria. Di masing-masing negara ini penguasa
militer mempunyai ide-ide berbeda dan membatalkan proses proses demokrasi tadi,
membuat kaum imperialis terhina.
Hal ini
berkaitan juga dengan sikap imperialisme AS yang enggan terlibat dalam
intervensi militer yang bersifat langsung di luar negeri. Tendensi kita telah
menjelaskan bahwa kekalahan Amerika dalam perang Vietnam terutama sekali
disebabkan oleh perlawanan massa di negerinya sendiri serta
prajurit-prajuritnya yang tak kenal lelah. Satu jenderal Amerika Serikat
betul-betul membandingkan situasi di tengah prajurit di Vietnam dengan garnisun
Petrograd pada tahun 1917. Jika saja Partai Buruh Sosialis Amerika memiliki
suatu program revolusioner yang murni, maka Amerika Serikat akan telah di
ambang situasi revolusioner bahkan pada saat itu. Itu adalah kali pertama
Amerika Serikat kalah dalam perang. Hal itu akan membuat mereka menghindari
intervensi dengan menggunakan pasukan tempur darat di luar neger. Satu-satunya
perkeculaian yang kita massukkan dalam penjelasan tendensi kita adalah di Timur
Tengah, di mana kita menjelaskan bahwa kepentingan pokok imperialisme terhadap
minyak dapat memaksa mereka melakukan intervensi jika terjadi kasus situasi
revolusioner di Saudi Arabia.
Sejak perang
Vietnam itu kemudian kita melihat bahwa AS, imperialis terkuat dalam sejarah,
menarik pasukan daratnya dari Libanon dan Somalia. Intervensi yang sesungguhnya
dengan menurunkan pasukan darat hanya terjadi di negeri-negeri kecil seperti
Grenada, Panama, dan Haiti sebab suatu operasi militer yang cepat melawan
negeri yang kecil dan lemah mengandung sedikit sekali resiko.
Sebaliknya,
perang Gurun melawan Irak bersandar pada kekuatan pemboman udara. Bahkan ketika
mereka mendobrak perbatasan Irak dan berjalan menuju Baghdad, mereka gagal
mencapainya. Mereka takut berhenti dan masuk dalam perang gerilya yang membuat
mereka harus menghadapi massa di rumahnya sendiri, para serdadu akan pulang
dalam kantung mayat. Begitulah, kita lihat situasi yang kontradiktif, kekuatan
imperialis paling unggul dalam sejarah ternyata impoten untuk melakukan
intervensi darat bahkan di negara kecil dan lemah seperti Somalia. Bagaimana
pun, "perselingkuhan" antara imperialisme dan demokrasi hanya akan
berlangsung selama demokrasi formal bisa menjamin dominasi ekonomi kaum imperialis.
Dalam kasus manapun, "demokrasi" macam apa yang begini ini? Paling
banter, kita dapat mempertimbangkannya sebagai semi-demokrasi, sebuah penipuan
dan penggelapan keaslian untuk menutupi dominasi berbagai bank, monopoli, dan
tentu saja untuk menutupi imperialisme. Begitu kelas pekerja dan kaum tani
menghadirkan tantangan serius kepada aturan kaum kapitalis, mereka akan kembali
mengulangi, tanpa ragu dan malu, metode yang sama yaitu kediktatoran yang keji.
Di Amerika
Latin, sebagian terbesar rezim-rezim diktatorial runtuh dan kita sekarang
memiliki demokrasi borjuis yang "normal" di hampir seluruh benua itu.
Tetapi bahkan di situ, sebuah konflik kelas telah menjadi makin akut, jajaran
aparatus negara telah gagal memainkan peran sabar dan kembali pada represi
terbuka untuk menindas gerakan buruh dan organisasi-organisasinya. Di Peru kita
liaht sebuah rezim bonapartisme parlementer yang di dalamnya Angkatan
Bersenjata diberi peran yang terus bertambah besar dalam menjalankan
pemerintahan negara, sisten peradilan, dll. Di banyak negeri-negeri di Amerika
Latin, kelas penguasa melakukan usaha terakhir yaitu menyewa para pembunuh
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dengan para aktivis serikat buruh. Di
Honduras, Kolombia, Brazil, Argentina, ini sekadar menyebut sejumlah kecil
negeri yang hanya formalnya saja demokratis, para aktivis buruh dan kaum tani
telah dibunuh siang-siang bolong. Dari tindakan ini, untuk membuka kediktatoran
masih ada satu langkah lagi jauhnya, tetapi yang satu inipun akan tanpa ragu diambil
juga oleh kelas penguasa di negeri-negeri tersebut, dengan dukungan penuh dari
imperialisme AS, jika kondisi menuntut demikian.
Bagaimanapun,
mereka hanya mengambil langkah terakhir ini jika gerakan kaum pekerja secara
fundamental mengancam aturan modal. Saat ini, di Amerika Latin, pendulum sudah
bergeser ke kiri. Kita telah melihat gerakan yang masif dari kelas pekerja
selama periode kemarin. Pemogokan, pemogokan umum, dan berbagai aksi regional
yang mengandung unsur pemberontakan telah terjadi di sebagian terbesar
negeri-negeri ini. Pemogokan umum di Ekuador, yang mempunayi karakter
pemberontakan, menumbangkan pemerintah Buccaram yang dibenci, tetapi disebabkan
kurangnya alternative politis, penumbangan ini digantikan tempatnya oleh sebuah
pemerintah borjuis yang lebih "normal". Di Bolivia kita telah
menyaksikan heroisme para pekerja mengorganisir pemogokan umum habis-habisan
yang berkansung hampir sepanjang satu tahun. Tetapi tanpa sebuah partai
revolusioner, tidak ada jalan keluar yang mungkin. Di bawah kondisi kaum
kapitalis yang berada dalam krisis, bahkan pemogokan yang paling heboh tidak
dapat memecahkan masalah-masalah fundamental kelas pekerja.
MEKSIKO
Jika dilihat
kulitnya saja, kelihatannya ekonomi Meksiko telah pulih sepenuhnya dari kolaps
keuangan di tahun 1994/95, dan bahkan beberapa analis internasional berkata
bahwa Meksiko adalah contoh yang harus digunakan perekonomian Asia untuk
secepatnya keluar dari resesi mereka. Bagaimana pun, realitasnya sungguh
berbeda. Setelah kontraksi ekononomi yang mengerikan sebesar 6,2 persen di
tahun 1995, perekonomian kembali tumbuh di tahun 1996 dan bahkan mencapai
pertumbuhan yang (secara ofisial) impresif, yaitu 7 persen di tahun 1997. Jika
gambaran 3 tahun tersebut dirata-ratakan, ternyata kita mendapatkan angka
pertumbuhan rata-rata hanya 1,8 persen per tahun. Ini lebih rendah daripada
pertambahan penduduk 1,9 persen per tahunnya. Jauh dari bertambah, menurut
sebuah riset universitas ,upah nyata para buruh terus jatuh hungga 34,5 persen
di 3 tahun belakangan. Kemerosotan dalam upah adalah bagian dari trend yang
berlangsung jauh lebih lama, daya beli dari upah legal minimum saat ini hanya
25 persen dari di tahun 1980.
Satu dari
alasan-alasan utama bagi pertumbuhan ekonomi ini sesungguhnya adalah meningkatnya
kekompetitifan eksportir-eksportir Meksiko sebagai akibat devaluasi peso. Hal
ini terutama menguntungkan bagi sektor "maquiladora", dengan cara
merakit berbagai mesin pabrik-pabrik AS yang berpusat di perbatasan AS-Meksiko
dengan berbagai praktek kerja yang mengerikan. Sektor ini sekarang menghadapi
persaingan dari ekspor Asia Tenggara yang sekarang jauh lebih murah akibat
kolapsnya keuangan Asia Tenggara. (Sementara buruh-buruh maquiladora sekarang
mulai terorganisir dalam proses yang serupa dengan yang terjadi di perekonomian
Asia Tenggara yang berupah rendah). Hal ini memberi tekanan pada keuangan
Meksiko dan kolapsnya lagi mata uang peso bukannya bisa diabaikan begitu saja,
khususnya bila seorang mempertimbangkan beban hutang sebesar 42 persen dari
jumlah total hutangnya. Pemerintah Meksiko sedang mencoba menghalangi
kemungkinan kolaps peso kembali dengan suatu kebijakan devaluasi terkontrol.
Jatuhnya
harga minyak juga telah keras memukul jatuh perekonomian Meksiko sebab,
meskipun ekspor minyak hanya mengisi 9 persen GNP, itu seharga 40 persen
penghasilan pajak negara. Sampai sejauh tahun ini berjalan, pemerintah telah
memperkenalkan dua paket pemotongan anggaran sebagai akibat langsung jatuhnya
harga minyak. Mempertimbangkan semua faktor ini, dan lagi dalam perspektif
ekonomi dunia yang gelap dan suram, ramalan resmi bagi pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,2 persen di tahun 1998 adalah benar-benar hal yang terlalu
dibesar-besarkan (dan nyatanya pemerintah telah merevisinya hingga turun dua
kali lipat).
Mengingat
situasi ekonomi yang lemah, adalah bukan kejutan sama sekali kalau proses
dekomposisi rezim (yang dimulai sejak akhir tahun 1980-an dan dipercepat
setelah pemberontakan kaum zapatista tahun 1994) terus berlanjut. Dengan cepat,
lapisan-lapisan birokrasi PRI meninggalkan partai itu bagaikan tikus wirog
bersicepat kabur dari kapal yang sedang tenggelam, membentuk partai-partai
mereka sendiri atau bergabung dengan sayap kiri, yaitu PRD dan sayap kanan,
yaitu PAN. Bahkan di tahun 1997, satu bagian penting dari persatuan birokrasi
resmi telah membelot dari federasi serikat buruh resmi (CTM) dan membentuk Uni
Pekerja Nasional (UNT) milik mereka sendiri, yang meskipun masih mempertahankan
praktek-praktek internal mereka yang lama, yaitu anti demokrasi, tetapi
menentang kebijakan ekonomi pemerintah yang merusak kesejahteraan dan hak-hak
istimewa mereka sebagai pimpinan-pimpinan serikat buruh.
Perkembangan
krisis ditunjukkan oleh perpecahan di dalam elit yang berkuasa. Ada
golongan-golongan pejabat negara dan para boss yang doyan pada kebijaksanaan
"ketat" untuk melawan semua gerakan oposisi. Sasaran utama mereka
adalah gerakan kaum zapatista dan mereka telah menempuh berbagai cara untuk
memaksa kaum zapatista menyerah atau musnah. Mereka meloloskan sebuah undang-undang
kaum pribumi dalam parlemen (ini ditentang oleh PRD) dan UU tadi menghancurkan
semua kesepakatan terdahulu antara pemerintah dan EZLN. Mereka melancarkan
kampanye untuk memaksa para pekerja berkebangsaan asing di berbagai LSM berbeda
di Chiapas agar keluar dari Meksiko (sejauh ini 200 orang dari telah terdesak
keluar), dengan tujuan mengenyahkan semua saksi yang tidak diinginkan.
Puncaknya mereka mengajukan kehadiran tentara di Chiapas, medirikan pos-pos
militer dengan helikopter dan pesawat militer yang terbang rendah di atas
komunitas-komunitas kaum zapatista, dan lain-lain tindakan represi. Pemerintah
juga membiayai, mempersenjatai, serta melatih organ-organ para-militer. Tidak
hanya di Chiapas tetapi juga di berbagai daerah rawan konflik lainnya di negeri
tersebut.
Tentu saja,
represi begini tidak hanya ditujukan untuk kaum zapatista. Para aktivis serikat
buruh, orgnisasi-organisai penghutang, para pimpinan kaum tani, dll., semuannya
telah dilukai dengan adanya berbagai penangkapan ilegal (seperti dalam kasus
pimpinan serikat buruh Aquiles Magaña), usaha-usaha pembunuhan (sebagaimana
kasusnya pimpinan organisasi penghutang di Chiapas, yaitu Federico Valdez yang
juga sekaligus seorang Marxis), dan lain-lain pembantaian dalam artian
sebenarnya (lebih dari 600 anggota PRD telah dibunuh selama 10 tahun terakhir
ini). Biar bagaimanapun, meningkatnya represi ini bukanlah signal kekuatan
rezim PRI, melainkan tanda kelemahannya. Secara mengagumkan, rakyat kehilangan
rasa takut mereka atas represi pemerintah. Meskipun tingkat-tingkat pemogokan
masih rendah, kebanyakan disebabkan tingginya pengangguran dan kondisi keamanan
kerja, proses pembentukan arus demokrasi di tengah perserikatan-perserikatan
(buruh) yang resmi telah makin cepat jalannya. Para pekerja dan kaum tani
bergabung dengan PRD sebagai satu-satunya saluran di mana mereka dapat
mengungkapkan aspirasi bagi perubahan, meskipun banyak pimpinan PRD memiliki
sifat korup dan pengera karir. Kelas pekerja adalah faktor utama dalam situasi
di Meksiko (dan kebanyakan negeri-negeri lain di Amreika Latin) kali ini telah
dibuktikan sekali lagi. Partisipasi para pekerja di skenario politik, khususnya
saat demonstrasi May Day tahun 1994 dan 1995 yang dihadiri jutaan orang, telah
menancapkan batu peringatan penting dalam proses dekomposisi rezim PRI.
Kebangkitan
PRD tergambarkan oleh kemenangan mereka dalam pemilhan di tingkat Distrik
Federal (DF) musim panas lalu, yang mana untuk pemilihan itu semua orang
berpikir PAN yang akan menang. Kebangkitaan itu juga tergambarkan oleh fakta
bahwa PRI kehilangan kedudukan mayoritas di Kongres untuk pertama kalinya. Saat
ini birokrasi PRI dan pemerintahan nasional tengah berusaha untuk menghancurkan
dan mensabotase Cardenas sebagai walikota Meksiko City dengan tujuan untuk
melemahkannya dalam usaha mendapatkan kursi kepresidenan tahun 2000 nanti.
Bagaimana pun massa masih memiliki ilusi-ilusi yang patut dipertimbangkan
terhadap PRD (khususnya Cardenas yang, bersama dengan Manuel López Obrador,
merupaakan representasi sayap "kiri" PRD). Di dalam tubuh PRD
perbedaan antara kiri dan kanaan (diwakili Muños Ledo) sekarang sedang
berkembang. Kongres PRD baru-baru ini mendeklarasikan bahwa partai itu adalah
sebuah "partai sayap kiri", ini satu gerakan yang jelas-jelas
merupakan refleksi tekanan dari bawah. Organisasi DF dari prtai tersebut
dikontrol oleh apa yang dinamakan Organ Demokrasi Kiri.
Adalah
sangat mungkin bahwa PRD akan memenangkan pemilu tahun 2000. Namun jika PRD
meraih kekuasaan dan tidak membawakan sebuah program yang revolusioner, tak
diragukan lagi itu akan mempersiaapkan jalan bagi adanya reaksi dan situasi
yang lebih buruk daripada sebelumnya. Dalam konteks kemorosotan dunia dan
kolapsnya ekonomi Meksiko, mereka akan berada di bawah tekanan dahsyat dari
kekuatan-kekuatan kontradiksioner. Di satu sisi imperialisme akan mencoba
menggunakan otoritas yang dimiliki PRD di tengah massa untuk mengadakan
kebijakan yang lebih menyiksa dan berbagai swastanisasi. Di sisi lain para
pekerja dan kaum tani mengharapkan sebuah pemerintahan PRD untuk memecahkan
problem-problem mereka yang paling mendesak: upah, demokrasi serikat buruh,
korupsi, pertanahan, dll. Perayaan euphoria akan kencang berhamburan di dalam
krisi kapitalis dan massa akan maju terus dengan ofensif, bahkan tidak menunggu
pemerintah untuk bertindak. Tekanan gerakan massa akan tercermin dalam PRD
dengan kemunculan sebuah sayap baru yang lebih jelas terdefinisi kirinya,
tumpah ruah, berhadapan dengan perang pimpinan partai yang hingga saat ini
lebih menjalin hubungan dengan borjuasi.
NIGERIA
SETELAH ABACHA
Setelah
Afrika Selatan, negara kunci di Afrika adalah Nigeria. Ini adalah negara
terbesar di Afrika sub-Sahara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa.
Satu dari lima orang Afrika tinggal di Nigeria. Sejak kemerdekaan formalnya di
tahun 1960-an, Nigeria terus-terusan mengalami krisis politik, perang saudara,
dan periode-periode panjang pemerintahan militer. Pemerintahan sipil Shageri,
yang mengepalai terjadinya korupsi di mana-mana, pelipatgandaan hutang luar
negeri, dan penghancuran basis manufaktur negeri tersebut, telah membuka jalan
bagi terjadinya kup militer yang dipimpin oleh Jenderal Babangida di tahun
1985, yang pada gilirannya digantikan oleh Abacha. Diperintah oleh militer,
negeri itu malah jatuh lebih jauh lagi ke dalam krisis ekonomi. Sekrang ini
Nigeria menanggung hutang sebesar £ 19 milyar. Meskipun kekayaan sumber daya
alamnya luar biasa &endash;Nigeria adalah produsen minyak ke lima terbesar
di dunia&endash; negeri ini menderita krisis energi yang akut. Kejatuhan
dalam infrastruktur menggiring Nigeria pada posisi di mana hanya satu dari
kilang-kilang minyaknya berfungsi dan stasiun pembangkit tenaganya hanya
beroperasi pada 32 persen dari kapasitas normal. Kebuntuan masyarakat Nigeria
terungkap dengan fakta kurangnya akses air bersih dan sanitasi, setengah jumlah
penduduk buta huruf, dan harapan hidup di sana hanya 51 tahun.
Sebagaimana
dengan seluruh negeri-negeri bekas jajahan, bantuan senantiasa berjalinan
dengan perjanjian dalam persenjataan. Antara 1988-1992 persenjataan dicurahkan
ke Nigeria: Italia menyediakannya seharga 143 juta dollar, Czechoslovakia 134
juta dollar, Perancis 74 juta dollar, dan Innggris 75 juta dollar. Bahkan
setelah pembatalan pemilu 1993 dan pencekalan Ken Sara-Wiwa, dana dan senjata
terus saja berdatangan dari luar negeri.
Di bulan
Agustus 1994 pemerintahan militer membubarkan dewan eksekutif nasional dari
Nigerian Labour Congress dan perserikatan buruh pekerja sektor minyak dan gas.
Rezim memberikan pengawasan yang luar biasa keras terhadap lawan-lawannya,
menyerang anggota-anggota serikat buruh, menutup berbagai universitas, dan
menangkapi para oposan. Tetapi, kelas pekerja Nigeria adalah satu dari yang
paling kuat di Afrika serta memiliki tradisi yang militan. Kematian Abaacha
membukakan situasi yang sepenuhnya baru dan penuh gejolak di Nigeria. Pada
tanggal 12 Maret 1998 kami menulis pada kaum Marxis Nigeria: "Borjuasi
akan bergerak dengan mengabaikan pemerintahan militer manakala mereka rasai
bumi berguncang di bawah kaki mereka. Bisa jadi mereka mengarah pada front
populer &endash;di mana wakil-wakil kelas pekerja dibawa masuk ke dalam
susunan pemerintahan, guna melakukan berbagai pekerjaan kotor."
Jauh lebih
cepat dari yang kita antisipasi, perspektif ini dibuktikan oleh kejadian
sesungguhnya. Kematian Abacha yang tiba-tiba sepertinya tidaklah dikarenakan
sebab-sebab alamiah. Lebih mungkin karena kaum imperialis yang memiliki
kepentingan- kepentingan besar di Nigeria, ketakutan atas kemungkinan
terjadinya ledakan yang jelas-jelas telah tersiapkan adanya, memutuskan untuk
menyingkirkan si Abacha itu, sebab segala tekanan mereka tidak menunjukkan efek
apapun. Tetapi dengan cara yang sama seperti pengunduran diri Soeharto menandai
dimulainya revolusi di Indonesia, demikianlah kematian Abacha merupakan episode
pertama dalam revolusi di negeri yang paling padat penduduknya di Afrika.
Secara spontan massa turun ke jalanan untuk mengekspresikan kesenangan hati
mereka atas lenyapnya penindas yang mereka benci. Namun kini, kaum borjuasi dan
kaum imperialis akan buru-buru bergerak guna mengupayakan padamnya gerakan
massa, dengan cara menukar posisi dari kanan ke kiri.
Apapun yang
didirikan oleh rezim borjuis, tak akan kita memberinya secabikpun dukungan
politis. Biar bagaimana, kita harus mengggunakan hak-hak demokrasi yang amat
terbatas yang mungkin menjamin naiknya propaganda kitaa bagi penumbangan rezim
borjuis dan teraihnya kekuasaan oleh kelas pekerja. Kembali, kita akan
menekankan pada kelas pekerja untuk hanya bersandar pada kekuatannya sendiri,
daya tahannya sendiri, organisasinya sendiri, serta taktik dan strategi
independen miliknya sendiri. Tidak dalam cara apapun kaum Marxis dapat
mendukung Abiola yang disebut "demokrat". Posisi independen harusnya
terus dipelihara. Bahkan saat Lenin menunjukkan keberpihakan pada demokrasi
borjuis di Rusia, ia senantiasa menentang kaum borjuasi liberal di bawah
tsarisme dan di negeri-negeri lain. Secara konstan Lenin mengupas habis tema
pokok: tak ada kesetiaan di kaum borjuis liberal! Percayalah hanya pada
kekuatan-kekuatan milik kau sendiri untuk menemukan solusi bagi premasalahan
kelas pekerja! Kaum stalinis-lah yang meracuni gerakan dengan ide-ide
kolaborasi kelas mereka serta dukungan mereka bagi kaum liberal. Hal yang sama
berlaku juga bagi Nigeria. Jika saja ia hidup sekarang ini, Lenin tentu akan
berkata pada massa di Nigeria: bersandarlah pada daya dan kekuatanmu sendiri,
organisasimu. Jangan kamu memiliki ilusi-ilusi terhadap apapun yang ada dalam
borjuasi liberal. Ya tentu saja, setelah periode panjang kediktatoran militer
akan terdapat ilusi-ilusi pada kaum borjuasi liberal. Kita harus
mempertimbangkan hal ini dan berjuang untuk semua tuntutan demokratis serius,
terutama tuntutan adanya sebuah Majelis Permusyaawaratan Rakyat. Namun kita
harus mengkaitkan tuntutan-tuntutan demokratik kepada tuntutan-tuntutan
sosialis dalam suatu cara transisional.
Kita tidak
medukung satu pemerintahan borjuis untuk melawan pemerintahan borjuis lainnyaa.
Bagaimana pun, penumbangan Junta, bahkan meski itu menggiring terjadinya sebuah
pemeintahan borjuis yang baru, merupakan satu langkah ke depan. Akan tercipta
kondisi-kondisi baru yang mengizinkan kaum proletar berorganisasi secara lebih
bebas dan memberi kita performa ide-ide baru. Tiap satu hak demokratik yang
dicapai oleh kelas pekerja adalah satu langkah ke depan yang akan digunakan
untuk leangkah yang lebih jauh lagi. Pada saat yang sama, kita tidak
mempercayai apapun bentuknya pemerintahan "demokratis" borjuis yang
baru. Itullah posisi Lenin dan Trotsky di tahun 1917, sebagai lawan
konsiliasionisme Stalin dan Kamenev yang berkehendak mendukung Pemerintahan
Sementara "sejauh mungkin" pemerintahan itu mendukung revolusi.
Seluruh
sejarah Nigeria, yang telah terombang-ambing antara "demokrasi" dan
kediktatoran, adalah indikasi ketidakstabilan masyarakatnya. Hanya kekuatan
aksi massa dan revolusi yang dapat memaksa Junta menyerah, dan kemudian
meletakan landasan bagi terebutnya seluruh tuntutan demokratik. Itulah alasan
TIDAK memberikan pilihan suara pada Abiola di pemilu Juni 1993. Kita harus
tidak memperkuat ilusi-ilusi yang berkembang atasnya. Adalah sama sekali keliru
untuk mendorong kaum pekerja agar memilih Abiola sebab ia "tidak terlalu
jahat". Kedua partai (kontestan pemilu itu) pada nyatanya adalah
partai-partainya pemerintah. Militer hanya memperkenankan terjadinya pemilu
atas dasar pesertanya hanyalah dua partai ya direstui pemerintah. Itu kan
lelucon. Kita tidak boleh endukung yang macam begitu. Dengan cara apapun klik
berkuasa yang akan menang! Di Amerika Serikat kita tidak akan mendukung satupun
kandidat kaum borjuis untuk pemilihan presiden. Kita kampaye bagi Partai Buruh
AS untuk menaruh calonnya melawan borjuasi. Ketika di Nigeria Junta membatalkan
hasil pemilu, satu-satunya jalan maju adalah aksi massa. Jelas-jelas kita dalam
semangat menumbangkan Junta, tetapi jangan sampai kita punya ilusi apapun dalam
gaya-gaya demokrat borjuis yang sekarang ini tampil ke muka.
Borjuasi
Nigeria takut kepada demokrasi borjuis sebab ia takut pada massa. Hanya ketika
ada ancaman nyata terjadinya revolusi kaum imperialis melakukan intervensi
untuk mendukung kaum demokrat borjuis, sebagaimana terjadi di Amerika Latin.
Akibatnya, bahkan Abiola pun telah mendukung Junta, si Abiola itu membiarkan
dirinya terseleksi sebagai orang "yang dapat dipercaya" untuk dipilih
dalam pemilu. Untuk alasan itulah tepatnya sekarang inni ia didorong lagi
sebagi seorang yang bisa jadi merupakan "altenatif yang demokratis".
Ia tidak menimbulakn ancaman apa-apa bagi elite berkuasa dan juga bagi
imperialisme. Kepemimpinan dalam Nigerian Labour Congress, yang sekarang ini
dijabat olleh antek-antek pemerintah, tidak disiapkan untuk berjuang, sebab
berjuang artinya menghantar terjadinya sebuah perjuangan revolusioner. Kita
haruslah membasiskan diri di kelas pekerja, terutama di lapisan-lapisannya yang
paling militan seperti para pekerja tmabang minyak. Kaum Marxis Nigeria telah
melakukan dengan betul apa yang harus mereka lakukan dengan mengghimbau
berdirinya komite-komite aksi untuk mengkoordinasi aksi massad memajukan
tuntutan-tuntutan transisional seperti penyitaan harta milik kaum imperialis,
nasionalisasi, Majelis Permusyawarahan &endash;inilah stu-satunya kebijakan
yang benar-benar revolusioner: kebijakan yang mengkaitkan tuntutan-tuntutan
demokratik dengan sebuah program anti-kapitalis.
Bagi massa,
satu solusi bagi problem-problem mereka adalah "pemilihan umum" atau
sebuah "Perwakilan" dalam bentuk apapun. Sebuah kediktatoran polisi
militer senantiasa menimbulkan terjadi berbagai ilusi demokrasi borjuis di
tengah-tengah massa. Semua mata tertuju pada kegagalan yang dipikul
kediktatoran itu dan kembalinya "demokrasi". Massa melihat
"demokrasi" sebagai satu cara untuk menuntaskan permasalahan mereka.
Bagi kaum borjuis "demokratik" itu adalah satu cara, peluang, untuk
mematahkan potensi revolusioner massa. Kaum Marxis harus betul-betul
mempertimbangkan situasi begini. Trotsky membuat point yang sama atas revolusi
Cina dan kebutuhan kaum Trotskyist untuk mengukur hasrat atas hak demokratis
setelah sekian lama di bawah cengkraman keddiktatoran kaum Bonapartis. Itu
adalah perasaan alamiah setelah pengalaman berada di bawah junta militer.
"Kami inginkan hak-hak demokratis kami yang paling dasar" akan
menjadi satu perasan yang tersebar luas. Kita haruslah menggunakan perasaan
macam ini untuk kemaajuan kita. Tugas kita adalah mengaitkan hasrat terhadap
hak-hak demokratik &endash;hak untuk mengorganisir serikat-serikat buruh
dan partai-partai politik, hak untuk melakukan pemogokan, kebebasan pers,
kebebasan majelis, dll.&endash; pada masalah mengenai, dan program untuk,
sebuah revolusi sosialis. Kita harus memberikan suatu isian kelas terhadap
ungkapan-ungkapan yang menginginkan demokrasi ini. Kita harus mengekspos
klaim-klaim borjuasi yang ingin jadi pahlawan "demokrasi". Pendekatan
ini akan memberikan pada kita telinga massa dan sebuah peluang untuk
menerangkan ikhwalnya kaum Marxis.
Posisi
"demokrasi" lebih dulu, lalu kemudian sosialisme, adalah satu variasi
Stalinisme. Tentulah, Majelis Permusyawarahan tetap merupakan point tempat
berkumpulnya kelas pekerja, tetapi di dalam dan dari majelis begitu sendiri
tidak ada solusi. Hanya oleh sebuah pemerintah kaum pekerja yang mengurusi
ekonomi maka permasalahan demi permasalahan dapat mulai diselesaikan. Tentu
saja hanya dengan meluaskan revolusi ke seluruh Afrika dan ke dunia Barat
solusi yang sebenarnya bisa ada.
Mengingat
radikalisasi massa dan takut akan pemberontakan, para reformis borjuis dan para
reformis kiri sungguh-sungguh ketakutan pada perkembangan ini dan berharap bisa
menghindarkannya. Kita tidak dapat memberi dukungan pada kebijakan kolaborasi
kelas. Daripada mengadaptasikan tekanan kaum borjuis kecil begitu, kaum Marxis
perlu mengedepankan ide-ide kelas yang jelas. Tentulah, di bawah kodisi
semilegal dan ilegal, susah untuk memelihara sebuah posisi kelas yang jelas.
Kebenaran dari pernyataan barusan telah diperlihatkan oleh pengalaman kaum
Bolsheviks di tahun 1917 ketika Stalin, Kamenev, dan Zinoviev terombang-ambing
dan menyerah pada tekanan kaum borjuis dan opini publik kaum borjuis kecil dan
lalu mengambil garis perlawanan yang terlemah. Tetapi amatlah perlu untuk
berjuang melawan arus. Tanpa sebuah posisi kelas yang jelas dan independen,
tidak mungkin ada jalan keluar.
AFRIKA
SELATAN
Afrika
Selatan tetaplah negara kunci di seluruh Afrika. Selama berpuluh tahun kaum
proletariat berkulit hitam yang hebat telah memberikan cukup banyak bukti
kegagahberanian dan insting revolusionernya yang mengagumkan. Hanya kurangnya
faktor subyektif yang menghalangi jalan terjadinya revolusi proletar klasik di
Afrika Selatan. Meskipun berbagai kejadian telah berkembang secara berbeda
dengan apa yang sesunguhnya telah kita bayangkan dalam pikiran,
perspektif-perspektif fundamentalnya tetap sama. Di atas sebuah basis kapitalis
tidak ada masa depan bagi Afrika Selatan, bahkan lebih tidak ada daripada di
negara-negara lain manapun. Alasan utamanya adalah, setelah keruntuhan
Stalisnisme, kepemimpinan ANC, terutama Mandela, benar-benar bersiap untuk
membuat kesepakatan dengan kelas berkulit putih yang berkuasa hingga dengan itu
mereka menjadi bagian (kelas berkuasa tersebut). Sebagai tukarannya para
pemimpin itu memberikan kepastian bahwa tidak akan ada satu pun perubahan yang
fundamental. Para pemimpin ANC melekatkan diri mereka dengan
kebijakan-kebijakan kapitalis untuk penerimaaan berlanjutnya kekuasaan
komunitas bisnis raksasa kulit putih, tidak ada tindakan yang akan diambil pada
mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap rakyat di masa lalu, dan
seterusnya. Dengan kata lain, mereka setuju untuk sepenuhnya menyerah.
Imperialisme
AS dalam beberapa kejap telah mengenali bahwa situasi tidak bisa dipertahankan
seperti sebelumnya. Tekanan dan militansi kelas pekerja kulit hitam telah
menjadi terlalu kuat untuk diredam begitu saja dengan melancarkan represi.
Sebagaimana biasa, reformasi adalah hasil sampingan revolusi. Ngeri akan
terjadinya revolusi di Afrika Selatan, Washington memberikan tekanan berat pada
De Klerk dan wakil-wakil lain dari kelas penguasa kulit putih untuk mendorong
orang-orang ini menerima sejenis "kekuasaan mayoritas", dengan
sejumlah persyaratan. Buat pertama kalinya, melagnkahi pengikut-pengikutnya yang
orang-orang Afrika kaum borjuis kecil, De Klerk mencapai persetujuan dengan ANC
&endash;suatu yang tidak kita harapkan. Di masa lalu, kapan saja kelihatan
perjanjian dilakukan untuk menentang kepentingan mereka, mereka akan berkelit
dan berhasil memutar balik situasi kembali. Partai Nasional sendiri merupakan
hasil perpecahan macam begitu yang terjadi sebelum Perang. Sepertinya sesuatu
yang sejenis akan kembali muncul. Namun di jajaran luas yang spesifik dari para
Afrikaner (kebanyakan petani) setelah beberapa dekade berlalu, telah merosot ke
posisi di mana mereka tidak dapat menerimakan akibat-akibat hal tersebut
seperti di masa lalu. Tetapi justru pada saatnya, para Afrikaner telah
tereduksi pada gestur-gestur impoten dan juga pada terorisme. Ini urusan serius
dan imperialisme lah yang memutuskannya.
Sementara,
adalah sama sekali tidak disebabkan konklusi terdahulu maka persetujuan akan
kembali dilanggar. Segala elemen, yang di atasnya kita letakkan basis
perspektif kita, kini hadir di dalam proses. Terdapat banyak sekali hal-hal di
mana di dalamnya terlihat proses itu akan pecah. Satu darinya adalah setelah
pembunuhan Chris Hani, terjadi kerusuhan dan aksi tuntutan atas sebagian para
pemimpin ANC. Jawaban yang mereka terima hanya "peliharalah ketenangan".
Para Afrikaner kulit putih juga mengusahakan kekerasan, dan aksi-aksi yang
dilancarkan ABW serta elemen sayap kanan ekstrim di dalam jajaran aparatus
negara diarahkan untuk mengacaukan situsai. Mereka juga berusaha
mengkampanyekan teror, menggunakan jasa gerakan kaum Inkatha "Zulu"
yang reaksioner yang hampir berhasil menggagalkan pemilu di beberapa region.
Tetapi akhirnya elemen-elemen yang bekerja sesuai perjanjian ternyata lebih
kuat dari yang kita pikirkan dan pemilu berlangsung terus.
Fakta bahwa
segalanya telah berbalik secara melenceng dari apa yang kita harapkan tidaklah
lantas membuat perspektif umum kita bagi Afrika Selatan sama sekali tidak
valid. Bahkan, dalam pengertian apapun yang cukup berarti, kini tidak ada
kekuasan mayoritas di Afrika Selatan. Persetujuan yang disepakati oleh De Klerk
dan ANC adalah untuk pembentukan Pemerintahan Nasional dengan
perwakilan-perwakilan semua partai. Hingga setelah berlangsungnya pemilu 1999
hal itu tidak akan terjadi.
Kita tidak
akan menilai rendah efek dari penyerahan beberapa hak demokratis kepada
penduduk kulit hitam. Tentulah di permulaan akan tak terelakkan munculnya
berbagai ilusi (tentang demokrasi). Konsensi atas beberapa hal seperti listrik
dan air bersih di perkotaan, istimewanya, akan dilihat oleh warga kulit hitam
sebagai kemajuan utama. Namun harapan massa yang diletakkan di pundak para
pemimpin ANC jauh melebihi konsensi-kensensi begitu. Kemarahan pekerja kulit
hitam terutama kaum pemuda telah tumbuh dengan cepat akibat tingkah laku para
pemimpin ANC. Setelah bergenerasi lamanya mengalami perbudakan yang begitu
rupa, massa kulit hitam di Afrika Selatan mempunyai aspirasi terhadap
eksistensi yang seimbang dan beradap dalam arti sesungguhnya. Bagi massa,
masalah demokrasi selalu merupakan masalah kongkrit, berkait dengan pekerjaan,
upah, dan perumahan. Pemerintahan pimpinan ANC mengajukan berbagai serangan
terhadap serikat pekerja, hak-hak, melakukan swastanisasi alat produksi, dll.,
melalui rencana yang secara salah kaprah dinamai GEAR (Growth, Employment, and
Restribution). Hal itu mendorong para pemimpin COSATU (yang mendeskripsikan
GEAR sebagai sebuah "program keuangan kapital") untuk mengadakan
sejumlah pemogokan dan gerakan penting. Mereka melakukan ini terutama untuk
meredam uap panas dan memelihara prestise mereka di dalam gerakan, tetapi
perpecahan antara COSATU dan pemerintahan koalisi ANC mencerminkan urusan yang
lebih mendalam lagi.
Sebagaimana
kami sebutkan di tahun 1992; "reformasi tidak akan menghalangi terjadinya
gejolak sosial, khususnya di masa merosotnya perekonomian dunia, yang akan
menjadi suatu malapetaka bagi peduduk berkulit hitam. Hal itu juga mencancam
pekerjaan dan hak-hak istimewa pwnduduk kulit putih yang akan mulai mengabaikan
De Klerk dan bergerak menuju reaksi. Dalam cara yang sama, masa kulit hitam
menyadari bahwa mereka telah diperdaya, basis ANC akan mulai menyusut. Krisis
dan perpecahan akan terkuak di dalam ANC sendiri. Biar bagaimanapun, sama
sekali tidak ada kepastian bahwa persetujuan akan tercapai. Namun meski
perjanjian ditandatangani, itu tidak akan memecahkan satu pun
kontradiksi-kontradiksi fundamental di masyarakat Afrika Selatan. Itu malah
akan menjadi pengantar dalam sebuah periode baru pergolakan dan kekacauan
sosial." (World Perspective, Agustus 1992)
Kita dapat
melihat hal itu telah dan tengah terjadi. Terdapat ketidakpuasan di dalam
jajaran ANC dan serikat-serikta buruh mengenai pemerintahan yang sekarang ada
dan mengenai cara bagaimana elit kulit hitam bekerjasama dengan borjuasi kulit
putih, meninggalkan mayoritas penduduk kulit hitam yang masih hidup dalam
kondisi kemiskinan.
Kelanjutannya
para pemimpin ANC terpaksa melangkah mundur, dan hal ini dapat terlihat dalam
Konferensi ANC ke-50. Dalam reportase pada majalah Australia GreenLeft Weekly,
Oupa Lendlere menulis bahwa: "Mandela hanya memilih Inkatha Freedom
Party-nya Mangosuthu Gatsha Buthelezi sebagai penghormatan dan secara personal
membawa wakil IFT itu mendapat tepuktangan panjang dan riuh. ...Publik ANC
disiapkan untuk adanya kemungkinan merger dua organisasi itu, dan penempatan
Mangosuthu Buthelezi pada posisi penjabat presiden Afrika Selatan. Penjabat
presiden ANC yang baru, Jacob Zuma dari KwaZulu-Natal, dipercaya untuk
melakukan merger tersebut."
Kami telah
memperingatkan di tahun 1992 bahwa "begitu massa kulit hitam menyadari
bahwa mereka telah ditipu, basis ANC akan mulai menyusut." (WP, 1992).
Reportase yang sama (GreenLeft tadi) mengomentari: "Kelemahan-kelemahan
organisasional, jumlah keanggotaan yang anjlok, dan ketidakberfungsian cabang-cabang
juga mengkonspirasikan lancarnya kemenangan ANC kanan di Mafikeng. Delegasi
Cape Timur, yang pernah jadi wilayah terkuat ANC, hanya berjumlah setengah dari
kekuatannya di tahun 1994 disebabkan anjoknya keanggotaan itu." (GreenLeft
Weekly)
Pada
akhirnya, massa akan menilai kesuksesan "demokrasi" atas kemampuan
demokrasi itu menyediakan perumahan, pekerjaan, dan kondisi-kondisi kehidupan
yang layak. Para pemimpin ANC menjanjikan hal-hal itu. Namun kini menjadi jelas
bahwa kemajuan standard hidup hanya terbatas pada sebuah minoritas kecil kelas
menengah kulit hitam. Mayoritas terbesar cuma memperoleh cuilan saja. Beberapa
orang kulit hitam sukses masuk papan daftar para direktur perusahaan-perusahaan
monopoli besar di mana kulit putih telah membuat ruang bagi mereka. Orang-orang
ini termasuk sejumlah pemimpin penting ANC yang telah bekerjasama dengan kelas
penguasa. Jadi, keseluruhan penyelewengan "reformasi" adalah berupa
reduksinya yang memperkaya segelintir warga kulit hitam yang memiliki hak
istimewa penuh, serta pengawetan kekuasaan milik oligarki kulit putih lama yang
sama di bawah proteksi ANC. Thabo Mbeki adalah wakil paling sempurna dari
lapisan borjuis kulit hitam ini.
Sebuah
laporan statistik yang dipublikasikan baru-baru ini menggambarkan bahwa Afrika
Selatan adalah negara yang memiliki gap antara si kaya dan si miskin kedua
terlebar setelah Brazil. 40 persen penduduk termiskin Afrika Selatan hanya
menerima 11 persen pendapatan negara, sementara 7 persen yang terkaya menerima
bagian melangit sebesar 40 persen. Jika di masa lalu gap ini berasosiasi dengan
perbedaan ras, sekarang ini bukan demikian kasusnya, sebab gap yang luar biasa
lebarnya juga terjadi di tengah orang kulit hitam sendiri. Mereka yang berada
di puncak sekarang ini hidup dalam kondisi yang sama dengan para pengusaha
kulit putih dan berdampingan sebagai tetangga, pergi ke klub-klub yang sama,
dll., sementara mereka yang berada di bawah menyaksikan standar hidup mereka
sendiri terbenam. Secara nyata lebih banyak orang kulit hitam yang berada dalam
kelompok yang memiliki penghasilan teratas, daripada orang kulit putih.
Laporan
tersebut secara grafikal menjelaskan bagaimana "pembagian pendapatan
negara yang diterima 40 persen penduduk termiskin Afrika Selatan telah menyusut
48 persen, sementara bagian yang diterima 10 persen penduduk terkaya tumbuh 43
persen." Inilah alasan di belakang begitu banyaknya kenaikan dalam jumlah
kriminalitas dan pelanggaran hukum, bukannya "warisan metode-metode yang
digunakan dalam perjuangan melawan apartheid" seperti yang berulang kali
diklaim oleh pers borjuis. Kaum yang makmur hidup dalam rumah-rumah yang
menyerupai benteng, dalam ketakutan atas kemarahan kaum miskin. Situasi
berjalan jadi mimpi buruk bagi semua bagian masyarakat &endash;kulit hitam,
campuran, ataupun putih, sama saja. Dan di atas basis krisis kapitalisme,
segala hal dapat menjadi lebih buruk lagi. Para pemimpin ANC ingin menarik
minat investor-investor asing, tetapi pada saat yang sama harus menjaga
ketenangan massa dengan sekurang-kurangnya suatu yang mirip dengan reformasi.
Kebijakan ini akan berujung pada akhir yang tidak memberikan kepuasan bagi
siapa pun.
Para pekerja
kulit hitam berjuang selama berpuluh-puluh tahun bukan untuk hal begini.
Ketidakpuasan dan kemarahan kaum pekerja akan muncul dalam sebuah gelombang
perjuangan baru seperti perjuangan-perjuangan di masa lalu, tetapi pada level
yang lebih tinggi. Setelah menyingkirkan apartheid (setidaknya dalam pengertian
formalnya), dan mempercayai para pemimpin ANC ke puncak kekuasaan, kaum pekerja
akan sampai pada pemahaman perlunya politik-politik kelas. Akan terbuka jalan
bagi formulasi sebuah tendensi Marxis yang murni. Dalam hal ini, SACP menempati
posisi penting yang istimewa. Terdapat kemungkinan bahwa SACP (Partai Komunis
Afrika Selatan) pecah dari ANC dan membuat aliansi dengan konfederasi serikat
COSATU yang kuat. Tak diragukan lagi inilah tekanan pada peringkat dan
keanggotaan (yang dialami ANC tadi).
Harian Cape
Town "Die Burger" menarik kesimpulan yang sama dengan kaum Marxis:
"kebijaknan pemerinntah telah begitu efektifnya memperkaya yang kaya,
khususnya si kaya berkulit hitam, dan secara luas membiarkan kaum miskin dari
semua ras tetap tak berubah nasibnya. Jadi sebuah bom waktu sedang dicipta,
memungkinkan kita melihat cita-cita Marx yang revolusioner direalisasikan di
Afrika Selatan." (Edisi Bahasa Inggris Die Burger, versi internet, 16 Juni
98).
GDP Afrika
Selatan hanya tumbuh 0,2 persen di perempat awal tahun 1998 dan kemerosotan
ekonomi dunia yang segera tiba pastilah memiliki berbagai konsekuensi serius
bagi perekonomian negeri ini. Frustrasi yang terus tumbuh di dalam kelas
pekerja kulit hitam akan menemukan ekspresi melalui organisasi-organisasi yang
mendorong perpecahan dan pergolakan di antara ANC, SACP, dan COSATU. Dengan tradisi
kaum proletar dan para pemuda kulit hitam yang revolusioner, dapatlah kita
harapkan terjadinya perjuangan kelas besar-besaran di Afrika Selatan pada
periode yang akan tiba.
TIMUR TENGAH
Tidak ada
satu pun rezim tunggal bisa stabil di Timur Tengah. Bahkan Arab Saudi pun
berada dalam keadaaan krisis sejak jatuhnya harga minyak menghancurkan
pendapatannya. Sudah tidak ada lagi kemungkinan buat membeli kesetiaan penduduk
dengan menghamburkan berbagai subsidi. Perpecahan dan krisis di jajaran atas
adalah indikasi kebuntuan rezim. Krisis di Bahrain telah mulai terarah pada
kekacauan dan gerakan "pro-demokrasi". Pada gilirannya ini memecah
belah elit penguasa di Saudi. Satu bagian (Raja Fahd) menawarkan berbagai
konsensi, sementara pemerintahan resmi Saudi, dipimpin oleh peredana menteri
yang lemah, Pangeran Abdullah, menentang konsensi-konsensi tersebut. Fermentasi
pemberontakan diperlihatkan oleh peristiwa bom mobil yang menewaskan lima warga
Amerika Serikat dan dua orang India di sebuah kantor yang dikontrol oleh
Amerika Serikat di Saudi. Adanya revolusi di periode mendatang tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Innilah mengapa Arab Saudi cemas menghindarkan
serangan Amerika Serikat terhadap Irak, yang dapat membangkitkan propovaki pada
massa di wilayahnya sendiri dan bahkan menggiring kejatuhan rezim. Putaran
begitu dalam situasi sekarang ini akan mempunyai berbagai konsekuensi paling
serius sebagai akibat kepentingan ekonomis dan strategis Arab Saudi terhadap
imperialisme Amerika Serikat. Amerika Serikat akan terdorong untuk ikut campur,
dan hal ini akan memprovokasi suatu ledakan revolusioner di seluruh Timur
Tengah dan akan berlanjut melampaui wilayah ini.
Di Timur
Tengah kebijakan dua tahap telah menunjukkan akibatnya yang paling jahat,
menyebabkan kekalahan revolusi di satu demi satu negara di sana, serta
kebangkitan reaksi fundamentalis. Kaum borjuis dan imperialis, yang pertamanya
menyokong kaum fundamentalis sebagai imbangan atas bahaya revolusi, sekarang
ngeri pada konsekuensi-konsekuensi tindakan mereka sendiri. Di Aljazair, massa
menunjukkan keberanian dan determinasinya yang luar biasa dalam perang
kemerdekaan melawan imperialisme Perancis. Itu harusnya bisa menimbulkan
revolusi sosialis di Aljazair dan sekaligus di Perancis, jika saja perang itu tidak
dibelokkan oleh kebijakan kaum Stalinis Perancis dan keterbatasan (pandangan)
nasional para pemimpin FLN. Yang disebut terakhir ini tidak melihat perlunya
mengadakan himbauan kepada kelas pekerja Perancis, tetapi mengadopsikan sebuah
kebijakan yang murni nasionalis. Konsekuensinya, satu setengah juta orang
perancis, kebanyakan mereka adalah tenaga ahli yang jasanya diperlukan oleh
rakyat Aljazair, kabur dari negeri itu dan ini menyebabkan kesulitan besar di
bidang perekonomian. Para pemimpin FLN yang borjuis kecil nasionalis menamai
diri mereka sosialis dan melakukan nasionalisasi, tetapi tidak menuntaskan
pekerjaan mengenai penyitaan modal dan pemutusan hubungan dengan imperialisme.
(Kaum Stalinis Cina, dengan tokohnya Chou En Lai, begitu aktif menakut-nakuti
mereka untuk tidak melakukan ini). Sebagai akibatnya, jadilah mereka
mneyediakan jalan terhadap adanya reaksi, pertama adalah kudeta Boumidienne,
dan belakangan, dengan akibat yang parah, adalah kebangkitan fundamentalisme.
Setelah
hampir empat dekade sebuah kemerdekaan di atas basis borjuis, Aljazair masih
berada dalam kekisruhan meskipun kaya benar akan potensi minyak bumi. Jutaan
kaum muda tak punya pekerjaan dan masa depan. Krisis kapitalisme berarti bahwa
pintu emigrasi ke Perancis terutup. Kesuksesan gilang gemilang dalam perang
kemerdekaan telah berganti jadi abu di mulut mereka. Dalam keputuasaan, mereka
menjelma jadi kaum fundamentalis. Ini satu ironi yang mengerikan, sebab tradisi
revolusi-revolusi bangsa Aljazair itu sekuler dan progresif. Reaksi bernafas
Islam &endash;sama halnya dengan fundamentalisme Yahudi, Katolik,
Protestan, dan Hindu&endash; mengkombinasi fanatisme agama dan reaksi yang
hitam dalam porsi yang seimbang. Demagogi anti-imperialis yang mereka gunakan
tidak merubah fakta ini.wajah aasli fundamentalisme diperlihatkan oleh adanyaa
pembaataaiaan terhadap laki-laki, perempuan, dan anak-anak, meskipun banyak
pembantaian itu jelas-jelas merupakan pekerjaan kekuatan-kekuatan negara. Di
antara keduanya (fundamentalisme dan negara) tidak ada yang dapat dipilih.
Kekisruhan berdarah di Aljazair adalah kegagalan FLN mengadakan revolusi hingga
ke akhirnya. Hal ini dengan amat tajam mengigatkan kita pada pernyataan Marx
yang terkenal mengenai pilihan yang dihadapi umat manusia &endash;sosialisme
atau barbarisme. Barbarisme yang sama seperti yang tengah kita lihat di
Aljazair akan dihadapi oleh negara-negara lain, dan tidak hanya di Dunia
Ketiga, kalau kelas pekerja tidak merebut kekuasaan.
Jantung dari
semua krisis di Timur Tengah adalah konflik Israel-Palestina. Konflik ini telah
menggiring terjadi empat perang dan konfliknya masih saja belum terselesaikan.
Appa yang disebut perjanjian damai yang dimakelari imperialis Amerika Serikat
tidak menyelesikaan apa-apa. Washington menyukai perundingan damai sebab ia
tidak inginkan konflik-konflik yang membahayakan investasinya yang luar biasa
besar di area tersebut, dan meski ia adalah klik karib elit penguasa di Arab
Saudi, ia selalu saja memberikan akhiran yang menguntungkan Israel karena yang disebut
terakhir tetaplah satu-satunya sobat terkarib di dunia. Meski Amerika Serikat
terganggu dengan kebijakan yang di lakukan Tel Aviv, ia tidak punya pilihan
selain menerimanya.
Tendensi
kita secara konsisten melawan kebijakan-kebijakan edan dari terorisme dan
gerilyaisme (ini benar-benar hal sejenis) yang dilakukan oleh kepemimpinan PLO
di masa lalu. Kebijakan itu menggiring terjadinya kerusakan demi kerusakan dan
tidak membawa apapun yang mendekatkan pada penyelesaian masalah rakyat
Palestina. Sebaliknya, ia dipermainkan oleh kelas penguasa Israel dan
ddiasingkan pula oleh massa Yahudi. Kita harus mengingatkan diri kita bahwa
kita adalah satu-satunya yang menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk
mengalahkan imperialis Israel adalah dengan melalui perjuangan massa di
berbagai teritorial yang diduduki (oleh Israel), terutama di West Bank.
Perspektif
ini telah ditunjukkan sebagai suatu yang benar oleh Intifada yang hebat
&endash;suatu yang tidak diharapkan dan tidak secuilpun disiapkan oleh para
pemimpin PLO. Intifada adalah keberhasilan parsial. Ia tidak dapat menjadi
lebih daripada sekedar parsial dalam ketiadaan sebuah kepemimpinan sadar yang
mampu melakukan himbauan kelas pada para pekerja dan serdadu Yahudi. Itulah
kunci untuk mencapai keberhasilan. Adalah perlu untuk membangun aliansi
perjuangan antara massa Palestina dengan kelas pekerja di Israel. Yang disebut
belakangan tadi adalah sasaran serangan ke penguasa di Israel, dan kini tengah
melakukan perlawanan. Para pionir awal Israel bennar-benar kaum sosialis utopia
yang mengidamkan nasionalisasi ekonomi. Sebenarnya, serikat pekerja,
Histadruth, memiliki bagian besar dari perekonomian. Namun sebagaimana umumnya
negara kapitalis, kelas penguasa Israel mengadakan kebijakan yang amat buruk
yaitu swastanisasi dan pemotongan (subsidi). Inilah yang menimbulkan terjadinya
ledakan perjuangan kelas di Israel.
Di awal
Desember 1997 Israel diguncang pemogokan umum yang dimotori Federasi Umum para
buruh, Histadruth. Pemogokan itu mulai di tanggal 3 Desember, berlangsung
selama lima hari, dan berujung pada kemenangan. Sekitar 700.000 pekerja
berpartisipasi dalam pemogokan terbuka itu meski serangan gencang media massa
dan ancaman pemerintahan Netanyahu yang akan menggunakan jalur hukum untuk
melawan para pemogok, menetak serikat dan memenjarakan pra pemimpinnya, dan
pengadilan menyatakan pemogokan itu "tidak legal". Setahun sebelumnya
Sholo Shani, orang ke dua di Histadruth, ditahan karena alasaan
"penghinaan terhadap pengadilan" karena adanya gelombagn pemogokan
dan juga inilah usaha pertama Histadruth untuk mengadakan pemogokan umum di
bulan September yang dihentikan oleh pengadilan setelah pemogokan tersebut
berlangsung beberapa jam. Pemogokan umum bukanlah isu tersendiri, melainkan
bagian dari krisis ekonomi yang terus membesar yang menghantam Israel. Telah
ada sejumlah aksi yang pahit, seperti pendudukan pabrik tekstil Kitan di
Nazareth Elite oleh para pekerjanya yang melakukan protes sebab pabrik itu akan
ditutup, perjuangan Tel Aviv menolak para kolektor guna melawan swastanisasi,
perjuangan di pabrik kimia Haifa Chemicals, dll. Dalam beberapa di antaranya,
seperti protes atas "pengembangan kota" Ofakim, yaitu menentang
pemberthintian kerja, para pekerja Yahudi dan Arab melakukan demonstrasi
bersama. Sebenarnya itu anggota-anggota Histadruth di dewan-dewan berbeda yang
mendorong para pemimpin dewan tersebut untuk melakukan aksi umum.
Pemisahan
baru di masyarakat Israel ini, yang terjadi atas isu-isu kelas, juga memiliki
efek di dalam politik. Telah ada pembicaraan mengenai perlunya menciptakan
suatu partai yang berbasis serikat-serikat dan dewan-dewan pekerja, dan bahkan
Partai Buruh MP dan sekretaris jenderal Histadruth, Amir Peretz, sudah
mengeluarkan komentar simpatik mengenai ide tersebut. Partai Buruh, yang secara
tradisional berbasis lebih pada kelas menengah Yahudi Ashkenazi (aslinya
berasal dari Eropa), selama pemogokan umum berlangsung sama sekali tidak
menunjukkka dukungan apa-apa, dan sesungguhnya beberapa pemimpinnya mengatakan
bahwa jikapun mereka yang memegang kekuasaan mereka akan menerapkan kebijakan
yang sama dengan Netanyahu. Pemisahan ini berimbas pula pada Likud, yang secara
tradisional berbasis pada kelas pekerja yang lebih miskin, yaitu Yahudi
Sephardis (berasal dari Timur Tengah), yang telah terlihat bahwa kelompok ini
mengabaikan pendukung tradisionalnya dengan menghimbau program "revolusi thatcherite".
Inilah alasan di balik pengunduran diri satu menteri dalam jajaran pemerintahan
koalisi Netanyahu, David Levy, sebab penentangannya atas pemotongan anggaran
belanja sosial. Jelas-jelas dia khawatir kehilangan dukungan bagi paratainya yang
kecil di tengh pekerja Yaahudi. Perkembangan-perkembangan ini menunjukkan bahwa
suatu program yang bebasis kelas akan bisa menyatukan para pekerja Arab dan
Yahudi, Yahudi Ashkenazi dan Yahudi Shepardis, menyebrangi kebencian nasional
dan agama. Tetapi taktik-taktik dari grup-grup seperti Hamas sungguh-sungguh
memiliki efek sebaliknya, mendesak massa Israel di belakang Likud, dan memberi
bantuan serta keberanian pada elemet-elemen yang paling reaksioner dalam
masyarakat Israel, sambil terus mengorbankan elemen-elemen kaum muda Palestina
yang paling gagah berani yang menyerahkan hidup mereka tanpaa pamrih apapun.
Keedanan
fundamentalisme tidak pernah merupakan bagian tradisi orang Palestina.
Sebagaimana di Aljazair, itulah harga yang harus dibayar akibat penolakan
kepemimpinan massa untuk mengadakan kebijakan sosialis. Hanya sebuah program
yang berbasis kebijakan kelas dan internasionalis yang dapat berhasil
menyatukan massa Arab dan Israel melawan musuh bersama. Revolusi sosialis di
Israel dalam menjadi titik awal bagi revolusi di seluruh wilayah Timur Tegah.
Supaya berhasil, revolusi itu tidak dapat dibatasi pada Israel dan
daerah-daerah yang didudukinya, tapi harus bertempur bagi seluruh wilayah Timur
Tengah sebagai langkah pertama untuk berhasil sepenuhnya.
"KEAJAIBAN"
ASIA TENGGARA
Satu tempat
yang dulunya berada di bawah kekuasaan kolonial di mana telah terjadi
pertumbuhan ekonomi yang signifikan adalah Asia Tenggara, di mana apa yang
disebut "macan-macan ekonomi" diambil sebagai model bagaimana
kapitalisme dapat menyediakan formula bagi penyelesaian keterbelakangan.
Nyatanya, ada alasan-alasan historis yang spesifik mengapa Jepang, Korea
Selatan, dan bahkan Taiwan berkembang dalam cara ini. Hal itu terutama sebagai
hasil korelasi ganjil dari kekuatan-kekuatan yang berkembang setelah Perang
Dunia Kedua. Trotsky memnaruh poinnya bahwa reformasi dan segala jenis
perubahan penting adalah produk sampingan revolusi. Hukum ini dapat diterapkan,
bahwa bukan cuma di negara-negara tertentu, melainkan secara internasional.
Reformasi agraria yang merupakan tugas fundamentalis revolusi demokratik
borjuis di Jepang dan Korea Selatan diperkenalkan sebagai akibat adanya
ketakutan imperialisme AS akan perluasan revolusi China (dalam kasus Jepang hal
itu secara langsung diperkenalkan oleh kekuatan pendudukan AS segera setelah
Perang Dunia Kedua). Mereka mengadakan suatu reformasi mendalam yang berasal
dari jajaran atas guuna menghalangi terjadinya revolusi dari bawah. Apa ini
berkontradiksi dengan teori revolusi permanen? Tidak. Negara-negara ini sungguh
merupakan perkecualian, bukan aturannya begini. Dan jika Korea Selatan, Jepang,
Taiwan adalah perkecualian, Hong Kong dan Singapura adalah perkeculian yang
bahkan lebih ganjil. Dua yang disebut terakhir sama sekali bukan negara, melainkan
negara-kota yang memiliki keuntungan dari perkembangan-perkembangan tertentu
dalam perekonomian dunia.
Cukup
berharga juga untuk mencatat bahwa ekonomi-ekomomi ini tidak berkembang di atas
basis pasar bebas dan pembukaan pasar, tetapi sebaliknya di atas basis
intervensi negara dalam ekonomi dan berbagai rintangan trif tinggi yang
dipasang untuk melindungi industri-industri nasional mereka. Di Korea Selatan
ada rencana 5 tahun dan bank-bank diberitahu perusahan-perusahaan mana yang
boleh dipinjami uang, dan perusahaan-perusahaan diberitahu di manna tempat
untuk melakuka ninvestasi serta produk apa yang harus dikembangkan.
Hanya satu
tahun yang lalu, Asia dinobatkan sebagai satu contoh brilyan kesuksesan
kapitalisme dan pasar. Borjuasi mabuk kepayang dengan ilusi bahwa Asia dapat
menjamin sebuah masa depan yang menakjubkan mengenai pertumbuhan yang
terus-menerus serta kejayaan. Ilusi-ilusi ini bahkan bergema juga di jajaran
kaum Marxis. Masalah yang diperdebatkan adalah bagaimana pun perkembangan di Asia,
bersama-sama dengan berbagai lapangan investasi baru seperti informasi dan
globalisasi, tidak mensignifikasikan sebuah periode baru dari kemajuan
kapitalisme, seperti satu kemajuan yang membuntuti tahun 1945. Kami menandaskan
bahwa tidak ada susuatu yang baru dalam perkembangan-perkembangan ini. Seorang
dapat menemukan proses-proses analogis di setiap periode kapitalisme, dari abad
ke-16 hingga kini. Sejatinya profit yang diperoleh investor asing benar-benar
amat luar biasa banyak &endash;20, 30, atau bahkan 50 persen. Inilah magnet
bagi investasi dan pertumbuhan yang terjadi. Namun Marx menjelaskan bahwa ini
manya mungkin di tahap-tahap awal. Di masa yang lebiih panjang rata-rata profit
itu akan jatuh hingga pas-pasan saja.
Itulah
tepatnya apa yang terjadi di Asia Tenggara. Perkembangan kelas pekerja berarti
perkembangan gerakan pemogokan, perjuangan melawan eksploitasi, yang pada satu
tahap tertentu akan membawa (pekerja) kepada upah yang lebih tinggi dan
pembatalan keuntungan-keuntungan awal. Sementara itu kontrakdiksi-konntradiksi
yang ada makin menajam. Dengan kata lain, anda memiliki syarat-syarat objektif
bagi terjadinya revolusi sosialis. Hukum-hukum klasik kapitalisme diterapkan
dalam kasus ini sebagaimana ia diterapkan pada kasus-kasus lainnya. Dua atau
tiga tahun lalu kaum borjuis kegirangan soal Asia Tenggara dan Cina. Namun kini
mereka berhadapan dengan kapasitas berlebihan yang masif, atau dengan kata
lain, over produksi. Apa yang telah terjadi di negara-negara Asia Tenggara
&endash;dan itu dengan mudah dapat diprediksi melalui sudut pandang
Marxis&endash; adalah mereka sedang memasuki satu situasi kapitalis normal.
Mereka menghadappi kelebihan kapasitas masif di segala sektor produksi: mobil,
semikonduktor, perlengkapan elektronik, mikrochip, dan bahan kimia. Ini adalah
suatu model kapitalis klasik sebagaimana digambarkan oleh Marx.
Kita
menyambut investasi dan industrialisasi Asia Tenggara. Dari cara pandang
seorang Marxis itu adalah sebuah hal yang bagus, karena hal itu menciptakan
sebuah kelas pekerja yang kuat dan dengan itu menciptakan syarat-syarat
objektif bagi revolusi sosialis. Sebagaimana dengan tsaris Rusia seratus tahun
lalu, investasi-investasi asing ini tidak lah menggeser berbagai antagonisme
sosial tapi malah memperparahnya. Proses-prosenya serupa dengan apa yang
terjadi di Rusia di pergantian abad lalu. Di tahun 1890-an terdapat
perkembangan kolosal dari kekuatan-kekuatab produktif, meski terbatas pada
wilayah tertentu. Secara eksklusif ini berbasis pada kapital asing di area sekitar
Moskow, St. Petersburg, daerah Ural, dan bagian Timur Rusia. Tetapi tetap saja
Rusia itu negara ekstrim terbelakang. Hanya ada 3 juta pekerja dari jumlah
total pennduduk 150 juta jiwa. Itu jauh lebih terbelakang daripada India kini.
Jenis perindustrian yang didirikan di sana kemudian, sebab hukum perkembangan
tak merata dan tak imbang (uneven and unequal), adalah perindustrian yang
paling modern di dunia, dengan rata-rata pertumbuhan yang amat tinggi serta
konsentrasi tinggi pada kekuatan buruh. Dan di atas basis pembayaran upah yang
amat rendah, mereka mendapat keuntungan yang amat tinggi. Posisi yang
benar-benar sama ini yang kita lihat pada "macan ekonomi" hingga
baru-baru ini. Periode ledakan pertumbuhan ekonomi dalam tsaris Rusia berakhir
saat revolusi tahun 1905 dan 1917.
Borjuasi
senantiasa mencari jumlah profit yang lebih tinggi dan ketika ia menemukanya
mereka mengisinya, dan mereka menginvestasi bagai gila. Mereka yang sampai di
sana memperoleh bagian paling masif, tetapi sebab anarki prodiksi kapitalis
mereka akhirnya menimbulkan adanya over produksi yang masif pula. Itulah akar
penyebab bagi krisis yang di Asia Tenggara (yang diharap dapat lepas dari
hukum-hukum kapitalisme dan menjadi model Asia yang unik berbasis pada
pertumbuhan berkesinambungan &endash;seperti impian usang tentang sebuah
mesin yang "bergerak tanpa henti") sekarang ini muncul dalam bentuk
klasik. Problemnya adalah borjuasi hanya melihat negara-negara ini sebagai
pasar dan lahan investasi. Mereka tidak menyadari bahwa sekali dari yang
disebut belakangan ini membangun industri, maka mereka mulai mengekspor. Saat
ini Cina telah mengejar Jepang sebagai negara dengan surplus perdagangan
terbesar, bersama Amerika Serikat, dengan konsekuensinya sebagian dari Kongres
Amerika Serikat telah tiba-tiba mengembangkan perhatian serius bagi "hak
azazi" di China. Tiap periode perkembangan kapitalis disertai dengan
pembukaan daerah-daerah baru di muka bumi, dimulai dari penemuan Dunia Baru
saat fajar kapitalisme, lalu perkembangan kolonialisme di abad ke-18 dan ke-19,
Cina, Kalifornia, dan Australia di abad yang lalu, dan seterusnnya.
Sejak di
halaman-halaman Manifesto Komunis, Marx dan Engels telah menjelaskan bahwa
sistem kapitalis, tak seperti seluruh cara produksi yang terdahulu, secara konstan
mengembangkan cara-cara produksi dengan mencari daerah-daerah investasi baru.
Inilah tepatnya sisi progresif kapitalisme. Apa yang menyentak dari masa
sekarng ini bukanlah eksistensi area-area baru bagi investasi produktif
&endash;tanpanya sistem tidak dapat eksis&endash; melainkan kurangnya
ubvestasi yang produktif dan besarnya jumlah kapital yang melekat pada
aktivitas-aktivitas non-produktif dan parasitis pula sifatnya, spekulasi
keuangan, derivatif-derivatiif, pertaruhan atas suplai barang, properti,
pengusaan, dan juga penjarahan sistematis terhadap negara di semua negeri atas
nama swastanisasi. Semuanya ini menyiapkan jalan bagi kemerosotan mendalam pada
skala dunia di periode mendatang.
Sejauh-jauhnya
"globalisasi" diberi perhatian, ini juga telah dibahas di Manifesto
Komunis. Bahkan di saat sekarang, ini adalah soal yang dapat diperbincangkan
meski derajat integrasi ekonomi dunia, nyatanya, lebih besar di periode antara
tahun 1870 dan 1914. Adalah benar bahwa divisi buruh internasional dan perdagangan
dunia telah berkembang luar biasa di periode lalu. Ini adalah motor kekuatan
utama bagi perkembangan kapitalis selama seluruh periode seth 1945, bertindak
sebagai stimulus kolosal atas investasi dan produksi. Namun, sebagaimana telah
kami jelaskan di dokumen terdahulu (lihat A New Stage in the World Revolution)
hal ini kini telah mencapai limit, dan ekspansi perdagangan dunia tidak lebih
lama lagi memili efek yang sama. Benar, dalam pencarian keuntungan ekstra,
borjuasi telah menginvestasi sejumlah besar uang di Asia dan, untuk efek yang
agak kurang menguntungkan, di lain-lain "pasar yang sedang muncul"
(Amerika Latin dan Eropa Timur). Marx menjelaskan bahwa satu dari perangkat
yang dengannya kaum kapitalis dapat bertempur bagi melawan tendensi turunnya
perolehan keuntungan adalah benar-benar melalui perdagangan dunia dan khususnya
perdagangan dengan negeri-negeri kolonial yang melibatkan lebih banyak buruh
dengan nilai tukar yang lebih rendah.
Di sini
sebuah proses serupa muncul sebagaimana saat kapitalisme melakukan investasi
dalam suatu cabang teknologi baru yang mempermurah produksi dan membuat mereka
mampu menangkap bagian pasar yang lua. Mereka yang tiba di tempat itu lebih
duluan akan mmeperoleh keuntungan luar biasa banyak untuk sementara waktu, namun
ini tidak akan berlangsung lama atau seterusnya. Termotivasi oleh keserakahan
pada profit super itu, kapitalis yang lain ikut masuk, menyebabkan produksi
yang amat berlebih-lebihan. Perolehan keuntungan kembali jatuh ke angka
rata-rata. Akhirnya over-investasi melebihi tuntutan yang terbatas, memberi
kenaikan jumlah over-produksi. Harga-harga stagnan dan lalu jatuh. Daripada
sekadar cuma keuntungan yang jatuh, kita melihat jatuhnya profit massa,
menghasilkan suatu kemerosotan yang akan berlangsung hingga semua produk
surplus habis, sejalan dngan penutupan pabrik-pabrik, pengangguran massa, dan
perusakan paksa alat-alat produksi yang akhirnya menciptakan kemungkinan bagi
pasar-pasar baru serta lahan-lahan investasi baru, serta tumpah ruah produksi
yang baru.
Investasi-investasi
di Asia Tenggara dan Cina secara luar biasa telah mengembangkan ekonomi.
Permasalahannya adalah, sudahkah hal itu memecahkan kontradiksi-kontradiksi
kapitalisme? Sebaliknya. Partisipasi pasar dunia yang tumbuh cepat,
penyingkiran segala macam rintangan perkembangan kapital, semata-mata hanya
pemproduksi ulang berbagai kontradiksi lama pada skala dunia, di levelnya yang
lebih tinggi dan dalam tampilan yang lebih intens. Apa yang kini tengah
dipersiapkan adalah benar-benar krisis global kapitalisme, yang akan menghantam
ekonomi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dengan kekerasan yang palign besar,
secara luarbiasa memperparah tekanan-tekanan yang terakumulasi selama puluhan
tahun. Ksisis ekonomi yang kini terjadi di Asia adalah sebuah peringatan
tentang apa yang akan segera tiba di skala dunia di periode mendatang. Teori
revolusi permanen tidak mengatakan bahwa anda tidak dapat memiliki perkembangan
ekonomi yang penting di sebuah negeri jajahan. Teori itu mengatakan persis
sebaliknya. Apa yang diucapkannya adalah bahwa borjuasi (daerah) kolonial itu
tidak mampu menanggulangi problem masyarakatnya. Dan di sini kita lihat bahwa
hal itu sepenuhnya benar.
Alasan
mengapa Amerika mulai menyerang Cina atas rekornya soal hak-hak pekerja, serta
konsidi buruh dan upah di Korea Selatan adalah karena negeri-negeri ini telah
membangun industrinya hingga ke tingkat mampu bersaing dengan produk-produk
Barat di pasar dunia. Tetapi menurut pandangan kaum kapitalis upah di Korea
Selatan sudah terlalu tinggi, dibandingkan dengan kompetitor-kompetitor
regional lainnya. Sesungguhnya, perusahaan-perusahaan Korea Selatan, bahkan
sebelum krisis, telah turun pada upah yang lebih rendah seperti di Indonesia,
Filipina, dan Malaysia. Hal ini menciptakan situasi yang eksplosif di Korea
Selatan, di mana para boss dipaksa melakuakn hantaman terhadap upah, kondisi,
dan pekerjaan para pekerja. Ini menimbulkan ledakan perjuangan kelas dalam
bentuk pemogokan umum di bulan Desember 1996/Januari 1997.
Perkembangan-perkembangan ini menandai kebangkitan kaum proletar Asia, secara
amat sangat, diperkuat oleh perkembangan industri di periode terakhir. Pada
kenyataannya, tidak lah benar mengatakan Korea Selatan sebagai negara kolonial
sekarang ini. Negara ini kini kekuatan ekonomi ke delapan terkuat di dunia dan
perusahaan-perusahaannya melakukan investasi di luar negeri bahkan di South
Wales di mana biaya tenaga kerja sekarang secara aktual lebih rendah daripada
di Korea Selatan sendiri.
Sebagaimana
diperlihatkan di Korea Selatan, di semua negara-negara (di Asia Tenggara) ini
kelas pekerja berada dalam posisi memainkan peran pemimpin, membuktikan ia
memiliki kepemimpinan revolusioner. Para pekerja di Korea Selatan telah
berkali-kali menunjukkan determinasi mmereka untuk berjuang melawan kapitalisme
namun berkali-kali pula para pemimpin mereka mengecewakan mereka. Bahkan para
pemimpin konfederasi serikat pekerja yang ilegal dan militan, KCTU, menerima
kebijakan kolaborasi kelas dan menandatangani perjanjian tiga pihak IMF dengan
pemerintah dan para boss, memperkenankan massa terabaikan, di awal krisis.
Tetapi jajaran serikat segera mengadakan pertemuan nasional wakil-wakil wilayah
kerja di mana di dalam pertemuan itu di ambil keputusan bersama menolak
persetujuan tersebut tadi dan kepemimpinan diganti dengan mereka yang lebih
militan, yaitu wakil-wakil dari serikat pekerja pabrik baja. Ini adalah satu
perkembangan yang signifikan yang memperlihatkan bagaimana
organisasi-organisasi massa akan tergugah pada pondasinya di satu demi satu negara
sebagaimana krisis berkembang.
Tetapi
bahkan kepemimpinan yang lebih radikal ini tidak dapat mengemban tugas,
sebagaimana diperlihatkan dalam gerakan di awal Juni baru-baru ini, saat
setelah pemogokan peringatan yang dahsyat dihadiri 200.000 orang, mereka
membatalkan pemogokan umum habis-habisan yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal ini menimbulkan fermentasi lebih jauh dari kritisisme di kalangan rakyat
banyak. Contoh ini mengilustrasikan fakta bahwa, semilitan apapun satu serikat,
dalam keadaan-keadaan seperti ini, jika ia tidak dipersenjatai dengan suatu
program politik mengenai perubahan sosialis di masyarakat, maka ia terkekang
hingga lebih dalam berada di bawah tekanan kapitalisme. Situasi di Korea
Selatan hanya mengizinkan dua solusi: apakah itu para pekerja mengambil alih
para chaebol atau kebijakan Kim Dae Jung harus ditelan seluruhnya &endash;
"seluruh bangsa berkorban untuk keluar dari krisis" (yaitu, kaum
pekerja mananggung beban krisis melalui berbagai redudansi massa, pemotongan
upah, dll.) tidak ada jalan tengah.
PANDANGAN
MARX ATAS KOLONIALISME
Marx menulis
sedikit sekali mengenai revolusi kolonial, sebab pada tahap tersebut masalah
revolusi sosialis dalam sebuah negara terbelakang belum berlaku. Namun dalam
volume ketiga Kapital terdapat satu bagian yang amat menarik mengenai
kolonialisme dan aturan main bagi investasi di negeri-negeri kolonial yang
sepenuhnya masih dapat diterapkan dalam situasi sekarang ini. Dalam bagian
mengenai tendensi di mana perolehan keuntungan jatuh, Marx menjelaskan bahwa
satu dari cara-cara yang dengannya kapitalisme memerangi tendensi ini adalah a)
dengan berpartisipasi dalam pasar dunia, ini setepat-tepatnya apa yang kini
tengah mereka lakukan; dan b) khususnya melalui perdagangan kolonial dan
investasi kolonial. Bagaimana cara kerjanya? Kaum kapitalis yang menanam
investasi di negeri-negeri kolonial, terutama mereka yang datang pertama, dapat
meraih keuntungan dari suatu komposisi kapital organis yang amat rendah: upah
rendah, industri-industri bermasa kerja tinggi, dan cara bahwa eksploitasi ini
bekerja melalui serikat buruh adalah bahwa mereka menukar sedikit buruh dengan
lebih banyak buruh lainnya.
Dalam cara
yang sama seperti kaum kapitalis yang pertama menaruh investasi dalam mesin
baru dapat memperoleh keuntungan, maka kaum kapitalis yang menaruh investasi di
Asia menadah laba yang mencengangkan, sebagaimana telah kami sebutkan tadi.
Negeri-negeri terbelakang serta berpenduduk padat ini, lapar akan investasi,
industri dan teknik Barat, terlihat membuka sebuah pandangan tanpa batas bagi
ekspansi dan pengerukan profit. Ilusi yang sama telah berkali-kali diulangi di
masa lalu. Di abad lalu, Engels mengomentari dengan ironis mengenai ilusi para
pemilik manufaktur katun di Manchester yang percaya bahwa pasar Cina (ya,
Cina!) akan menjamin pasar bagi produk mereka, pasar yang tak akan pernah
berakhir. Mimpi itu berakhir pada kemerosotan ekonomi, seperti biasanya. Namun
untuk sementara waktu, di atas basis upah rendah dan teknologi baru, profit
berlimpah &endash;profit super&endash; menjadi mungkin adanya. Tapi
kini semua ekonomi ini sudah kolaps dan berada dalam resesi mendalam. Ini telah
menyulut revolusi Indonesia dan berbagai gerakan penting di negara-negara
lainnya. Limit Asia telah dicapai (tentu saja, dalam cara pandang kaum
kapitalis, dalam prakteknya, perkembangan Asia secara menyakitkan telah mulai).
Jumlah
investasi yang luar biasa besar telah memproduksi limpahan timbunan produksi
yang tak dapat dijual. Ekspansi yang produksi kapitalis begitu deras di Asia
(satu-satunya area di mana berbagai hasil yang demikian spektakuler itu bisa
dicapai) telah sampai pada benturan dengan daya beli massa yang terbatas.
Secara kebetulan, upah rendah, bukanlah sumber bagi datangnya profit lebih
banyak lagi. Mestilah ada faktor-faktor lain yang menutupi upah rendah,
contohnya produktivitas yang rendah. Banyak dari negara-negara ini tidak
mempunyai kelas pekerja ahli yang berjumlah besar, sebagaimana kasusnya di
Malaysia, Indonesia, Thailand, dll. Tambahan lagi terhadap hal ini adalah
adanya pajak, korupsi, infrastruktur yang buruk, biaya pengangkutan ke
pasar-pasar Eropa dan Amerika Serikat, dll. Jika mereka berkeinginan untuk
lengkap, meski di antara mereka, mereka harus menurunkan upah. Tetapi kaum
borjuis Korea menghadapi kelas pekerja yang amat kuat yang tidak mau
menyerahkan bagiannya tanpa melalui pertempuran.
Berbagai
profit mencengangkan telah diambil dari investasi di Asia Tenggara sepanjang
sepuluh tahun terakhir. Demikian juga di Cina, yang merupakan kasus yang amat
pelik, sebab meski Cina tetap sebuah negara-negara kelas pekerja yang
terdeformasi, ia telah berani sekali mengizinkan perkembangan kapitalisme di
area-area tertnetu. Sepintas, Lenin bermaksud melakukan sesuatu yang serupa
dengan yang ada di tahun 1920-1negara saat ia menawarkan pada para investor
segama macam daftar konsensi, namun senantiasa berada di bawah kontrol ketat
sebuah negara kaum pekerja. Ide itu adalah untuk memperoleh keuntungan dari
teknologi modern yang bisa jadi hanya bisa dikembangkan dalam Uni Soviet dengan
harga yang lebih tinggi lagi. Tetapi hal itu mustahil sebab secara fundamental
Rusia waktu itu adalah negara pekerja yang sehat dan daripada menarus investasi
di sana, kaum kapitalis bercita-cita menggempur negara Soviet. Bagaimanapun,
jika kaum Bolsheviks memang dapat memperoleh investasi tersebut mereka akan
memperolehnya.
Di Cina,
situasinya berbeda sejak birokrasi, dan bukannya kelas pekerja, berada di dalam
kontrol dan mereka ini tidak merepresentasikan suatu ancaman fundamental terhadap
kapitalisme di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, kaum kapitalis merasa
bahwa rezim ini adalah satu rezim yang dapat diajak berbisnis! Nyatanya, Cina
telah memainkan peran yang pada awalnya mereka kira dimainkan oleh Rusia di
periode lalu. Adanya sedemikian banyak investasi dan pertumbuhan ekonomi
sangatlah mengesankan. (Selewatan saja ya, pertumbuhan ekonomi ini, dimungkinan
oleh partisipasi dalam pasar dunia, mengilustrasikan keedanan kebijakan autarki
dari Stalin dan Mao). Sejumlah besar investasi asing di Cina telah
membangkitkan ilusi di sebagian kaum kapitalis Barat, dan bahkan di kalangan
beberapa kaum Marxis. Dapatkah Cina dan Asia membukakan sebuah periode ekspansi
kapitalis yang baru seperti hal yang sama pernah terjadi mengikuti Perang Dunia
Kedua?
Sesungguhnya,
kebanyakan investasi di Cina terlimitasi pada sejumlah kecil area pesisir di
sekitar Zona Ekonomi spesial dan telah menciptakan begitu banyak kontradiksi
yang tak seimbang. Jutaan kaum tani telah pindah dari daerah rural yang lebih
terbelakang ke pusat-pusat urban yang betumbuh cepat, menciptakan berjuta-juta
surplus buruh. Ini bisa dipelihara pada perluasan (industri) tertentu sementara
ekonomi tumbuhnya pada angkat rata-rata dua digit. Tetapi kini roda ekonomi
mulai melambat, segala kontradiksi akan tampil ke permukaan. Telah ada sejumlah
laporan mengenai kerusuhan yang melibatkan puluhan dari ribuan orang baik di
daerah rural maupun urban, dan ini cuma satu permulaan.
Memperburuk
keadaan, kolapnya ekonomi Asia Tenggara dan kejatuhan terus menerus dar i mata
uang Yen Jepang telah memotong sebagian terbesar keuntungan kompetitid eksport
Cina dan akhirnya akan mendesaknya melakukan devaluasi keuangan
&endash;satu-satunya keuangan yang kelihantannya stabil selama
berlangsungnya kolaps Asia Tenggara. Tingkat debit yang buruk pada bank-bank di
Cina bahkan lebih besar daripada di seluruh wilayah (Asia) dan sebuah krisis
ekonomi yang serius hanya sekadar masalah waktu. Ini akan menenggelankan negara
itu ke dalam kesukaran yang jauh lebih dalam. Para pemegang otoritas Cina
mencoba menekan segala berita mengenai revolusi Indonesia atau menghadirkannya
sebagai melulu kerusuhan anti-etnis Cina. Tahun 1989, sebelum pembantaian di
Lapangan Tian An Men, terutama hanya para mahasiswa yang berpartisipasi dan
pergerakan. Kaum pekerja dan tani tetap tinggal pasif selama perekonomian
mereka masih dapat diterimakan. Kali ini halnya akan sama sekali berbeda, dan
bahkan sebagaimana kita telah lihat di Indonesia, sebuah pergerakan yang
dimulai oleh para mahasiswa dapat menimbulkan kebangkitan massa. Pada
kesempatan terakhir, hal ini yang akan memutuskan nasib reformasi Cina yang
pro-kapitalis. Menghadapi sebuah pergerakan yang memiliki karakter begini serta
bermuka-bukaan dengan krisis ekonomi, jajaran birokrasi terikat untuk
mengabaikan jalan bagi kapitalisme bahkan jikapun jalur itu melulu cuma
kepentingan pribadi.
CINA PUN
BERHADAPAN DENGAN REVOLUSI
Kaum
kapitalis mencoba menenanf-nenangkan diri mereka dengan pikiran bahwa
setidaknya Cina belum lagi tercebur ke dalam krisis. Tetapi Cina tidak dapat
bertahan sendirian mengahdapi krisis umum di Asia. Malah sebaliknya, segala hal
kelihatannya mengindikasikan bahwa Cina ada di tengah-tengah berbagai
perkembangan revolusioner. Usaha-usaha meningkatkan kecepatan proses
"reformasi" (yaitu, kontra revolusio kaum kapitalis) di Cina di bawah
kondisi-kondisi krisis kapitalis memprovokasi terjadinya dislokasi sosial dan
ekonomi secara kolosal. Deng (Xiao Ping) selalu berhati-hati, bergerak
perlahan-lahan menuju denasionalisasi, sambil memastikan berlanjutnya monopoli
kekuatan politik di tangan birokrasi. Tetapi kini klik penguasa, didominasi
sayap pro-kapitalis, ingin mempercepat segalanya. Hasilnya adalah malapetaka
bagi rakyat Cina dan sebuah ledakan perjuangan kelas. Reformasi pro-pasar di
pedesaan telah memunculkan ketidakseimbangan ekstrim dan polarisasi antara
sejumlah kecil minoritas yang menjadi makmur dengan sebagian besar mayoritas
yang telah dimiskinkan. Jutaan orang telah kabur ke perkotaan dan daerah pesisir
di mana industri, meskipun perkembangannya begitu kencang, tidak mampu menyerap
mereka. Sekurangnya 150 juta orang jadi pengangguran. Usaha untuk melakukan
deregulasi dan swastanisasi atas industri yang dimiliki oleh negara akan
melipatgandakan jumlah pengangguran ini. Kemunduran di Asia telah mulai
menghantam ekspor Cina yang secara luas inilah yang dihitung sebagai rata-rata
angka pertumbuhan yang tinggi di tahun-tahun terakhir, ini jelas menyebabkan
kemunduran (bagi Cina). Hal ini akan memiliki berbagai efek yang paling pedih
di Cina, tidak cuma secara ekonomis, tetapi juga sosial dan politik.
Jatuhnya
nilai yen telah membunyikan tanda bahaya di Beijing. Kekhawatiran tejadinya
devaluasi tiba saat angka pengangguran bertambah dengan amat cepat. Pertumbuhan
ekonomi bisa jatuh di bawah 6,5 persen di akhir tahun, sama sekali jauh dari
trget resmi sebesar 8 persen. Cina memerlukan pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi
untuk menyerap lebih dari 5 juta pekerja yang diperkirakan akan kehilangan
pekerjaan mereka tahun ini akibat restrukturisasi berbagai perusahaan. Ancaman
terbesar bagi perusahaan-perusahaan Cina berteknologi rendah dan sedang adalah
bukan cuma Jepang, yang mengekspor barang-barang jadi. Apa yang dikhawatirkan
Cina adalah bagaimana devaluasi Jepang bisa mempengaruhi Korea. Jika yen
melemah hingga nilai 150 terhadap dollar, sepertinya won Korea juga
terdevaluasi dalam upaya menjadikan industri-industri Korea kompetitif. Hal itu
akan berarti menambahkan kompetisi bagi perusahaan-perusahaan Cina yang sudah
berusaha menangkis (perusahaan) Korea di rumah mereka sendiri serta di
pasar-pasar yang lain. Di dalam industri baja Cina, ini untuk contoh, profit
berkurang, sebagian karena kompetisi baru dari Korea. Hal itu juga berlaku pada
industri petrokimia, sebuah sektor yang di dalamnya harga telah turun 20 persen
sejak Oktober. "Akan ada tekanan lebih jauh pada korporasi-korporasi
domestik," prediksi Andy Xie, seorang ekonom dari Morgan Stanley Asia Ltd.
di Hong Kong.
Meskipun
mereka yang percaya diri mengklaim bahwa Cina tidak akan mendevaluasi renminbi,
amat susah untuk melihat bagaimana hal itu dapat dihindarkan di periode
mendatang. Dan devaluasi terhadap renminbi (yang juga disebut yuan) akan
memprovokasi sebuah rantai kehancuran dari berbagai devaluasi kompetitif fi
Asia dan di luarnya dan mungkin sekali membanting seluruh dunia ke dalam
resesi. Usaha-usaha kalap dari Amerika dan Eropa untuk menekan Jepang adalah
berkaitan secara langsung dengan ketakuan mereka atas Cina. Sebagaimana di
soroti oleh Bussiness Week: "dengan para pemuka bisnis AS disergap
ketidaknyamanan mengenai menjulangnya dollar dan para pemimpin Cina melakukan
tekanan untuk adanya keringanan &endash;demi menghalangi terjadinya
devaluasi atas renminbi&endash; pejabat-pejabat Keuangan mulai menyodokkan
intervensi di akhir minggu, 13-14 Juni. Setelah konsultasi yang intens dengan
rekanan Jepang mereka untuk 72 jam berikutnya, Rubin and Co. menaruh 2 milyar
dollar belanja pemerintah buat yen.
"Pendorong
terbesar adalah kecemasan yang menggunung di Asia sebab yen terperosok dalam
dua minggu pertama bulan Juni. Yang mendapat signal bahaya adalah khususnya
para pejabat Cina yang khawatir rencana utama ekonomi mereka akan tak dapat
terlaksanan karena runtuhnya yen. Orang-orang Cina mulai melobi AS secara
diam-diam guna intervensi sebelum kedatangan Clinton di Beijing tanggal 22
Juni. 'Orang-orang Cina telah mengajukan komplain bahwa kami belum cukup
bertindak untuk menghentikan depresiasi yen', yang membuat ekspor Cina kurang
kompetitif, demikian diucapkan seorang pejabat tinggi Administrasi (AS).
Sementara itu, pernyataan-pernyataan publik menunjukkan bahwa Beijing sedang
menyiapkan jalan untuk melakukan devaluasi mereka sendiri. Sumber-sumber Cina
mengindikasikan bahwa pejabat-pejabat keuangan Beijing suatu yen yang lebih
lemah daripada 150 berarti menetakkan kehancuran dan akan mendorong aksi
ofensif." (BussinessWeek, 29/6/98)
Perspektif
mengenai krisis ekonomi yang makin dalam telah menempatkan perjuangan kelas tak
tergoyahkan dalam agenda di Cina. Telah ada pergerakan-pergerakan besar.
Menurut agen berita Perancis, Agence France-Presse (Hong Kong):
"Pergolakan
sporadis para pekerja telah bangkit di segenap penjuru Cina, sebagaimana
reformasi pemerintah mendorong prusahan milik negara kehilangan profit atau
binasa. Ratusan firma yang masuk dan tenggelam dalam daftar tinta merah akan
bankrut, dan meninggalkan jutaan surplus pekerja, ini demi menggapai apa yang
disebut dengan efisiensi. Diestimasikan, sektor negara akan menanggalkan 11
juta pekerjaan urban tahun ini."
Sumber yang
sama menegaskan bahwa: "Ratusan pekerja yang terkena PHK di pabrik yang
dikontrol pemerintah di tengah kota Wuhan pada hari Selasa melakukan marching
di tempat mereka, sebelum diPHK, bekerja, untuk memprotes uang pensiun yang tak
dibayarkan. General Manager kantor China Number-One Metallurgical Company
menyangkal adanya demonstrasi apapun, tetapi seorang satpam memberitahu AFP
bahwa sekitar 100-200 orang berkumpul di depan pabrik. Satpam itu mengatakan
bahwa para mantan pekerja, kebanyakan pensiunan, diperkenankan bertemu dengan
pejabat-pejabat perusahaan sebelum protes yang lebih riuh dapat berkembang dan
mereka ini meninggalkann pabrik tiga jam kemudian. Seorang mantan pekerja yang
memilih tidak ikut demonstrasi, Li Cingrong, saatdihubungi melalui telepon
mengatakan bahwa demonstrasi melibatkan sekitar 200 pekerja. Lelaki berusia 71
tahun itu menyatakan bahwa dalam tiga bulan terakhir, perusahaan hanya
mengiriminya bayaran satu bulan dari tiga bulan yang harusnya ia terima, bernilai
400 yuan (48 dollar) perbulan."
Derajat
pergolakan pekerja di Cina meluas &endash;meski di pers Barat terdapat
konspirasi untuk tutup mulut mengenai hal ini. Dalam sebuah artikel berjudul
'Labour Turmoil Involving 100,000 Workers in Four Cities. A True Account of
Workers Unrest an Riot in Heilogjiang', sebuah koran Hong Kong melaporkan:
"Dari 25 November hingga 3 Desember, pemogokan para pekerja dan pegawai
toko daiadakan bergantian di kota Qiqihar, Jiamusi, Mudanjiang, dan Yichun di
provinsi Heilongjiang. Para pemogok mengepung gedung-gedung partai dan kantor
pemerintah, mengunci kantor-kanotr komite partai serta kantor-kantor manajer
perkebunan, membakari mobil-mobil milik para pejabat partai dan pejabat
pemerintah serta mesin-mesin sekuritas umum, menyerang biro keamanan umum,
menduduki rumah-rumah, dan bandar udara, lalu mengambil alih menara kontrol
bandar udara, dan seterusnya. Mereka bahkan terlibat bentrokan dengan dinas
keamanan umum dan personel polisi bersenjata yang dikirim dengan maksud menghalau
pemogokan itu. Dilaporkan jatuhnya korban cedera di di Jiamusi dan
Yichun."
Menurut
sebuah laporan internal yang dikeluarkan oleh dinas keamanan umum provinsi
Heilongjiang tanggal 10 Desember 1997, nyaris 105.000 anggota staf, para
pekerja, kader, dan penduduk urban berpartisipasi atau terlibat dalam huru-hara
yang meledak di empat kota yaitu Qiqihar, Jiamusi, Mudanjiang, dan Yichun,
sepanjang minggu antara tanggal 25 November hingga 3 Desember. Sebagaimana
huru-hara itu berganti jadi kerusuhan, lebih dari 70 orang terluka; 25 orang
penjaga keamanan umum dan personel polisi yang diturunkan untuk menahan laju
pemogokan itu juga terluka saat diserang dengan batu, benda-benda terbuat dari
besi, senapan berburu, dan senapan biasa. Empat orang polisi meninggal karena
luka-luka yang mereka derita. Laporan resmi ini tidak memberikan perhatiann
sama sekali padakorban cedera di pihak para pekerja dan rakyat umum, tapi
menyingkapkan bahwa lebih dari 150 jumlah total orang yang ditangkap selama
minggu pergolakan dan kerusuhan itu berlangsung.
Komite
Partai Komunis Cina Provinsi Heilongjiang dan pemerintah daerahnya mencatat
bahwa terdapat faktor-faktor politis yang rumit di balik terjadinya pergolakan
dan kerusuhan tersebut, beberapa insiden diorganisir dan ditukangi dengan baik
oleh elemen-elemen culas yang telah menyusup ke dalam organisasi partai dan
pemerintahan, dan beberapa insiden lainnya dikacaukan oleh kekuatan-kekuatan
jahat dari luar."
Komite
partai tingkat provinsi dan pemda juga menekankan bahwa huru-hara itu juga
bangkit dalam penghentian jumlah personel sebagai hasil reformasi perusahaa,
korupsi di antara kader perusahaan, cara kerja yang tidak dehat di antara
kader, dan beberapa insiden kebetulan seperti kecelakaan lalu lintas. Komite
partai tingkat provinsi dan pemda juga memberi atribut huru-hara serta
kerusuhan itu sebagai "para pemimpin partai dan pemerintah lokal terlampau
berlebihan melihat berbagai kondisi rumit di komunitas lokal itu dan mereka
keholangan kewaspadaan melawan kekuatan-kekuatan jahat yang laten." Dengan
kata lain, para pemogok itu bekerja sama atau bahkan dipimpin oleh anggota
Partai Komunis. Ini mengkonfirmasikan apa yang senantiasa kami peliharakan
&endash;yaitu, bahwa sekali kelas pekerja mulai bergerak, jajaran birokrasi
yang lebih rendah akan datang menyambut.
Laporan lain
menyatakan bahwa: "Pada tanggal 29 November, para staf dan pekerja pabrik
lokomotif dan pabrik prosesing timber melakukan mogok dan mengadakan pertemuan
akbar. Mereka didukung oleh para pekerja dari 7 perusahaan milik negara yang
berbeda di Qiqihar (di manna dua pabrik mesin berat, dua pabrik perangkat
elektronik, dan sebuah kompleks penanganan hasil susu dimiliki oleh sektor
perdagangan asing). Lebih dari 30.000 anggota staf dan para pekerja disertai
anggota keluarga mereka bergabung dalam pemogokan dan mengikuti pertemuan.
Pekerja-pekerja dari beberapa mengajukan slogan seperti: "Semua kekuatan
dan properti dimiliki oleh rakyat!", "turunkan eksploitasi dan
represi atas kekuasaan, ekonomi, dan politik!". para staf dan dari Serikat
Pekerja Pabrik Prosesing Timber menutup kantor manajer dan bepartemen
keuangannya dengan kertas pembatas. Mereka bentrok dengan sekretaris kantor
komite partai Komunis memaksa para manejer pabrik dan sekretaris komite partai
untuk mngeluarkan pernyataann yang mendaftar pengeluaran keuangan prabrik.
Mereka juga melawan pihak keamanan umum yang datang untuk menangkapi mereka.
Konfrontrasi berlangsung antara pukul 13.00 hingga pukul 20.00. Pihak keamanan
umum memanggil polisi bersenjata untuk mengendalikan suasana, dan mengontrol
area pemogokan, dan untuk menangkapi para peserta pemogokan. Sekitar 300
keamanan umum dan polisi bersenjata bentrok dengan sekitar 2.000 pekerja dan
anggota staf pabrik. Lebih dari 20 orang terluka dan lebih dari 30 orang
pekerja dan anggota staf ditahan. Sejak 1 Desember, United Timber Processing
Plant Qiqihar tidak meresume produksi." (Hong Kong Cheng Ming, dalam
bahasa Cina, 1/1/98)
Ini luar
biasa signifikan. Perjuangan para pekerja Cina, dinilai dari laporan-laporan
ini, tidak cuma bertumbuh cepat, tapi juga menyulut karakter pemberontakan.
Para pekerja dan kaum tani telah melampaui sekolah kapitalisme dan telah
menarik berbagai konklusi yang diperlukan. Kaum pekerja menentang baik itu
kapitalisme atau pun birokras: "Segenap kekuasaan dan properti milik
rakyat!". ini adalah slogan revolusioner politik di Cina. Kita harus
bersiap untuk adanya putaran yang tiba-tiba dan perkembangan yang eksplosif di
seluruh Asia, terutama di Cina. Perkembangan kekuatan-kekuatan produktif telah
luar biasa memperkuat kelas proletar Cina. Sebuah gerakan revolusiover di Cina
di bawah kondisi-kondisi yang ada sekarang ini tidak adakn mengulangi posisi
tahun 1949, saat kelas pekerja jauh lebih lemah dan belum sepenuhnya sembuh
dari kekalahan di masa lalu. Kekuatan kelas yang imbang telah sepenuhnya
tertransformasi. Bila sebuah partai Marxis eksis di Cina, akan ada kemungkinan
terjadinya sebuah revolusi kaum proletak klasik di atas garis Oktober 1917, di
mana di sana kaum proletar menempatkan diri sebagai pimpinan berjuta-juta massa
kaum tani. Potensi revolusioner di Cina diperlihatkan dengan tegas atas
terjadinya kejadian di Lapangan Tian An Men satu dekadee lalu. Gerakan heroik
para pemuda itu mengalami kekalahan sebab gerakan waktu itu tidak menerima
dukungan aktif kaum pekerja. Ekonomi masih berjalan maju, dan birokrasi yang
berkuasa masih memiliki dukungan. Kini semuanya sudah berubah. Sebuah gerakan
revolusioner yang baru dari kaum muda tak akan terelakkan adanya, dan kali ini
gerakan itu tidak akan terisolasi. Sekali gerakan itu dipersenjatai program
ilmiah Marxisme, ia akan tidak terbayangkan. Suatu revolusi politik di Cina
akan mengguncang dunia. Ia akan menempatkan revolusi sebagai perintah mendesak
bukan hanya di Asia, tetapi di Rusia dan juga di negara-negara kapitalis maju.
Oleh karena itu kehancuran revolusi berkait amat sangat erat dengan nasib Cina.
INDONESIA
DAN REVOLUSI PERMANEN
Diskusi
sekarang ini sama sekali bukan diskusi yang berwatak akademis, melainkan sebuah
masalah panas bagi perkembangan-perkembangan revolusioner di Dunia Ketiga
sekarang ini. Revolusi telah dimulai di Indonesia. Revolusi itu telah mulai di
Indonesia dan ini merupakan fakta penting yang menentukan, bukan hanya bagi
Asia, melainkan secara potensial penting bagi seluruh dunia. Di periode yang
bergiolak sebelum Perang Dunia Kedua, dalam berbagai kesempatan berbeda,
Trotsky mengatakan bahwa kunci bagi situasi dunia ditemukan di negara-negara
berbeda &endash;Jerman, Perancis, Spanyol, dll. Trotsky menegaskan bahwa
seluruh Internasional harus memberikan perhatian khusus pada
perkembangan-perkembangan ini, mengikutinya di atas basis reguler, menarik
konklusi-konklusi yang diperlukan, pollitis, taktis, dan organisasional,
terutama untuk keperluan pendidikan kader, tetapi juga, untuk mengintervensi
sesuai derajat hal ini bisa mungkin dilakukan. Pada saat itu kekuatan kecil
Trotskyisme masih lemah dan terisolasi. Kekuatan Stalinisme yang kolosal di
skala duniasecara efektif memblok jalan bagi kaum Leninis-Bolshevik murni
mencapai para pekerja dan pemuda yang paling maju di jajaran Partai Komunis.
Sekarang ini bukan lagi masalah. Kolapsnya Stalinisme telah sepenuhnya
mentransformasi sutuasi. Para pekerja dan pemuda Komunis yang terbaik sedang
mencari ide-ide. Mereka berjuang menemukan jalan revolusi, dan kita harus
membantu mereka untuk menemukannya.
Berpuluh
tahun tendensi kita adalah berjuang mempertahankan panji-panji, program,
metode-metode, dan tradisi-tradisi dari Revolusi Oktober dan Bolshevisme. Kita
terpaksa berenang melawan arus. Sekarang, untuk pertama kalinya, kita mulai
bereang sesuai aliran air. Bahkan sekarang, di awal revolusi, kenyataan bahwa
ide-ide kita mendapatkan gaung hangat di antara kaum Komunis di Indonesia
adalah satu indikasi tentag apa yang akan mungkin terbuka bagi kita di periode
mendatang. Fakta penting yang harus dimengerti adalah bahwa hal ini mustahil
terjadi sepuluh tahun lalu. Ini adalah satu simptom bahwa seluruh situasi
sedang mulai berubah di skala dunia.
Adalah
sangat penting untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teori revolusi permanen
dalam prakteknya dan slogan-slogan kongkrit apa yang harus diajukan oleh kaum
revolusi dalam kondisi-konsisi begini. Di satu sisi, penting untuk
mempertahankan slogan-slogan dan tuntutan-tuntutan demokratik (sebagaimana
dilakukan dengan benar oleh PRD). Tetapi pada saat yang sama tugas utama
haruslah menjelaskan (pada massa) bahwa borjuasi nasional itu sepenuhnya tidak
mampu membawa tuntutan dan slogan itu jadi kenyataan. Perang pekerja dan pemuda
harus dididik dalam semangat yang tak tergantikan mengenai penentangan atas
kolaborasi kelas, untuk tidak mempercayai politikus-politikus borjuis yang
bahkan merupakan "oposisi" yang bersuara paling lantang dan radikal,
dan untuk berjuang demi garis kaum proletar revolusioner yang independen. Tentu
saja, perlu juga untuk melakukan aliansi temporer dengan kekuatan-kekuatan
non-proletar guna tujuuan-tujuan praktis. Namun kekuatan itu terutamanya adalah
kaum tani dan borjuis kecil, bukan kaum borjuis Liberal. Kedua, syarat-syarat
utama untuk berbagai perjanjian sepanjang waktu dipelihara kesesuaiannya dengan
program dan kebijakan revolusioner yang jelas. Sllogan kaum Bolshevik selalu
"Berbaris terpisah, lakuka serangan bersama-sama!". harus tida ada
blok progamatis, tidak ada percampuran program serta panji-panji. Satu-satunya
persatuan yang kita mau adalah persatuaaan dalam perjuangan. Siapaun yang ingin
berjuang melaawan Soehartoisme dan imperialisme dalam perbuatan dan bukan dalam
perkataan semata, disambut untuk itu. Tetapi kita tidak menaruh satu pon pun
dalam program kita untuk menyenangkan sembarang oraang, dan, sementara
mendukung bahkan aksi progresif terkecil dari kaum demokrat borjuis kecil,
gunakan kesempatan untuk mengkritisi kekeliruan mereka, keragu-raguan dan
kemunduran mereka , bukakan hal itu pada massa. Hanya dengan cara-cara begitu
kita dapat membantu mereka mengatasi keraguan mereka dan lalu mengadopsi sebuah
posisi demokratik yang konsisten.
YANG MANA
JALAN BAGI INDONESIA MELANGKAH MAJU?
Dengan
sendirinya sebuah partai revolusioner di Indonesia akan melakukan agitasi bagi
tuntutan-tuntutan demokratik (legalisasi partai-partai politik, serikat-serikat
pekerja, dan organisasi-organisasi mahasiswa, hak untuk mogok, penolakan
terhadap semua undang-undang yang represif, dll.) akan sebagai nbagian dari hal
ini partai tersebut akan menuntut Majelis Permusyawaratan yang dipilih secara
demokratis. Sementara mengagitasi tuntutan-tuntutan tersebut, sebuah partai
revolusioner akan mulai membangun komite-komite aksi (yaitu soviets bernama
lain) yang berbasis di tiap pabrik, persaudaraan kelas pekerja, desa kaum tani,
dan kampus universitas. Komite-komite aksi yang dipilih secara demokratis
inimesti berkaitan di level lokal melalui wakil-wakil yang dipilih secara
demokratis dan dapat direcall. Pada gilirannya komite begini akan mencapai
level nasional, hingga menjadi kekuatan tandingan bagi kekuatan resmi yang ada
sekarang, baik itu pemerintahan Habibie ataupun pemerintahan oposisi borjuis
demokratik. Pendirian komite-komite ini (soviets) adalah kunci utama sebab
tanpanya massa tidak memiliki jalur mengungkapkan cara-cara yang bersifat
langsung dan mendesak untuk melakukan perubahan dalam kesadaran politik mereka,
frustrasi mereka yang terus tumbuh akibat ketidakmampuan paraa politikus borjuis
demokratik memecahkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling mendesak: pangan,
tanah, dan pekerjaan.
Pada saat
yang sama kita menuntut penyitaan segera atas kekayaan Soeharto, keluarganya,
dan kroni-kroni serta para kolaboratornya, termasuk mereka-mereka yang sekarang
iniberusaha mengganti bajunya sebagai "demokrat". Tuntutan yang
demikian akan mendapatkan gemanya di kalangan massa, tidak hanya di tengah kaum
pekerja, namun juga di kalangan massa tani, kelas menengaaah, dan bahkan
pengusaha-pengusaha kecil yang telah dikacaukan oleh kelas penguasa. Lebih
lanjut, itu akan menjadi signifikasi bagi nasionalisasi sebagian besar
perekonomian Indonesia. Harus tidak ada kompensasi. Parasit-parasit kaya ini
telah cukup lama menjarah dan merampok rakyat! Dan mengapa berhenti cuma di
sini? Jika slogan revolusi demokratik-borjuis berarti apapun, maka ia harus
mensignifikasikan pemutusan yang radikal dengan imperialisme. Hapus semua
hutang luar negeri dan persetujuan-persetujuan dengan IMF! Nasionalisasikan
properti kaum imperialis! Hanya program begitulah yang dapat membuat sebuah
revolusi demokratik-borjuis menjadi kenyataan. Segala suatu yang kurang drps
itu akan berarti mengobral rakyat Indonesia pada imperialisme. Namun, program
yang begitu harus mensignifikasikan, dalam praktek, hal melampaui revolusi
demokratik-borjuis menuju revolusi sosialis.
Di bawah
kondisi-kondisi yang berlangsung saat ini, adalah mustahil untuk memisahkan
keduanya. Sebuah perjuangan yang konsisten bagi tuntutan-tuntuta
nasional-demokratik tidak terelakkan akan membawa kita pada penyitaan milik
kaum imperialis dan jongos-jomgos lokal mereka, dan jadinya, penyitaan
poin-poin dasar dukungan kapitalisme di Indonesia. Di bawah kontrol dan
administrasi demokratis rakyat pekerja, nasionalisasi alat-alat produksi akan
menjadi syarat pertama untuk mengakhiri krisis eknonomi dan jadinya menghalangi
malapetaka yang membahayakan Indonesia. Ini soal hidup mati, sebab semua
komentator borjuis sepakat bahwa jika dalam beberpa bulan tidak diambil
langkah-langkah drastis, maka pemerintahan Jakarta akan kehabisan uang dan
import makanan akan terhenti.
Reformasi
yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie nyaris semuanya mempunyai karaktek
kosmetika semata, dan tidak menyentuh akar penyebab dari problem-problem yang
dihadapi negara. Kekayaan keluarga Soeharto tetap tak tersentuh. Tidak satupun
dari kriminal yang bertangungjawab atas segala kejahatan di masa lalu telah
diadili. Koran tetap harus punya perizinan. Tahanan-tahanan politik masih saja
merana di balik terali, meski beberapa telah dibebaskan. Masalah nasional tetap
tak terpecahkan. Tawaran Habibie mengenai "status khusus"
&endash;seperti Jakarta&endash;pada rakyat tertindas di Timor Timur
adalah sebuah penghinaan terhadap apsirasi nasional mereka. Pemimpin mereka,
Xanana Gusmao, tetap dipenjara. Di atas semua itu, kemiskinan dan eksploitasi
terhadap jutaan pekerja dan kaum tani tetap berlangsung tanpa terlihat adanya
perspektif kecuali lebih banyak pengangguran dan kelaparan. Dan Habibi cuma
senyum di depan kamera serta meminta "waktu yang lebih lama lagi".
Amien Rais,
sang "oposan" muslim, telah menunjukkan warna aslinya dan,
sebetulnya, menyokong Habibie. Pada bagiannya, Megawati Soekarno Putri sedang
menunggu kekuasaan, bagaikan apel busuk, jatuh ke tangannya. Pemimpin-pemimpin
ini tidak melakukan apapun untuk memobilisasi massa dalam perjuangan, sebab
mereka ngeri pada gerakan massa. Mereka ini dapat dengan mudah mengambil
kekuasaan, tetapi ingin selama mungkin bertahan di luar pemerintahan karena
mereka tahu mereka tidak mempunyai program untuk menanggulangi berbagai problem
mendesak yang dihadapi massa. Para politikus borjuis dapat kuat menunggu, tapi
tidak demikian halnya dengan massa. Rakyat akan berhadapan dengan pengangguran
besar-besaran, kemiskinan, dan kelaparan. Dengan menarik uang mereka, kaum
imperialis berharap itu memberikan satu pelajaran kepada rakyat Indonesia dan
menunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya jadi Boss. Satu tantangan serius
yang menuntut jawabab serius pula! Tapi tidak satupun dari para borjuis yang
disebut oposan tadi dipersiapkan untuk menerima tantangan itu. Krisis ekonomi
terus memburuk. Di perempat tahun yang pertama, perekonomian menyusut tak
kurang dari 8,5 persen. Rupiah, yang telahkehilangan 80 persen nilainya terhadap
dollar, masih tak terlindung, dan sepertinya masih bisa jatuh lebih dalam lagi,
mendorong membumbungnya harga-harga. Tahun ini inflasi diramalkan sebesai 80
persen. The Economist (6/6/98) mengomentari kolapnya keuangan "telah
memaksa pula perusahan-perusahaan orang Indonesia untuk menjadwal ulang
segunung utang swasta pada pihak asing yang berkisar sekitar 80 juta
dollar," tapi menambahkan bahwa, "Bahkan setelah mereka mencapai
kesepakatan dengan kreditor-kreditor mereka pada tanggal 4 Juni, IMF, sebagaimana
diharapkan, mencurahkan bantuan pinjamannya, tidak percaya adanya pengembalian
yang ajaib. Sistem perbankan masih ketat.
"Wajah
Indonesia, dalam bentuk yang amat rusak, turunan spiral di Thailan, dan
Malaysia. Rata-rata interes yang ada tinggi, sebagian untuk menghentikan
anjloknya keuangan lebih jauh, sebagian lagi disebabkan pemerintah melakukan
pinjaman besar untuk menyuntik bank. Ini berarti makin banyak perusahaan yang
aa tidak mampu membayar hutang. Jadi pinjaman bank-bank yang tidak terlihat itu
makin parah saja kabarnya dan pemerintah mengambilalih lebih banyak lagi
institusi keuangan, akan menggunakan bahkan lebih banyak likuidasi untuk
mempertahankan hidup institusi-institusi tersebut.
"Persoalan-persoalan
diperburuk dengan melemahnya yen Jepang. Hal itu memberikan tekanan yang lebih
kompetitif pada keuangan Asia Tenggara, yang, dengan perkecualian bagi rupiah,
sekarang ini hanya punya selapis saja pembatas terhadap yen dibandingkan
pertahanan mereka tiga tahun lalu. Juga muncul ketakutan bahwa Cina akan
melakukan devaluasi. Di dalam iklim yang nervous, baht, ringgit Malaysia, dan
peso Filipina mulai tergelincir lagi setelah beberapa bulan relatif
stabil."
Keseluruhan
krisis di Asia, meskipun terdapat segala prediksi optimistik, tidak menunjukkan
satu tandapun ia bisa terpecahkan. Malah sebaliknya. Sebagaimana petikan di
atas menunjukkan, krisis itu akan menjadi lebih buruk di bulan-bulan ke depan,
malah mungkin dalam hitungan tahun, menimbulkan kemungkinan riil terjadinya
kemerosotan di Jepang, yang akan menjadi signal kemerosotan pada skala dunia.
Perkembangan yang demikian akan memiliki efek sosial dan politik yang mendalam
di mana-mana. Bahkan tanpa terjadinya kemerosotan, krisi ekonomi punya efek
serius di seluruh negara di Asia, terutama di Indonesia. Persediaan pangan
menipis di bagian timur negeri itu dan bisa jadi ini akan menjalar ke seluruh
negeri.
Maka apa
kebijakan yang dikedepankan oleh PRD (yang sebenarya adalah Partai Komunis
Indonesia saat ini)? Dalam sebuah pers-rilis tanggal 25 Mei 1998, yaitu setelah
Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Habibie, PRD, setelah menegaskan
hal itu semata cuma manuver dan harus tidak menghentikan protes, mengajukan
sejumlah tuntutan:
- 1.cabut Lima Undang-Undang Politik tahun 1985
- 2.akhiri Dwi-Fungsi ABRI
- 3.pertanggungjawaban dan Pengadilan Soeharto
- 4.penyitaan semua aset bisnis kroni-kroninya
- 5.penyitaan kekayaan pejabat korup
- 6.pemilu multi partai yang bebas dan demokratik
- 7.bebaskan semua tahanan politik
Kita akan
menyetujui semua poin kecuali nomor 6) kita mengedepankan ide mengenai sebuah
Majelis Konstituante yang demokratik. Ide mengenai Majelis Konstituante ini
telah dimunculkan dalam bentuk yang membingungkan oleh PRD di bawah nama
"dewan rakyat independen". Persoalan utama dari hal ini adalah bahwa
cara membingungkan yang di dalamnya mereka mengedepankan slogan ini
"Kepada
Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia yang diturunkan
secara paksa, Amien Rais ketua Muhammadiyah, Budiman Sujatmiko ketua PRD yang
dipenjarakan, Sri-Bintang Pamungkas ketua PUDI yang dipenjarakan, dan
lain-lainnya; sekaranglah waktunya bagi kalian untuk menegaskan kesiapan kalian
menggantikan Soeharto. Hal ini harus dilakukan secepatnya karena Soeharto sudah
tidak diinginkan lagi oleh rakyat untuk berkuasa lebih lama lagi dan iapun
telah siap diturunkan." Dalam praktek, apa arti dari hal ini? Para
pemimpin PRD memohon pada para oposisi borjuis untuk mengambil kekuasaan. Namun
kejadian demi kejadian menunjukkan bahwa baik Amien Rais maupun Megawati tidak
segera mengambil alih kekuasaan, dan lebih suka membiarkannya berada di tangan
Habibie. Para "oposan" itu menyangga Habibie, kroni reaksioner dari
Soeharto, yang pada gilirannya melakukan apapun dalam kekuasaannya untuk melindungi
boss lamanya beserta seluruh keluarganya, dan mengusahakan sebanyak mungkin
rezim lama tak tersentuh. Tetapi massa yang terdiri dari para pekerja, kaum
tani, dan mahasiswa, tidak akan pernah menerima hal ini. Mereka tidak berjuang
melawan Soeharto cuma demi melihat rezim lama terus berlanjut dengan perubahan
yang kosmetikal semata. Para pemimpin oposisi borjuis hanya bertindak sebagai left
cover bagi Habibie yang mewakili perpanjangan rezim lama. PRD harus tidak
bertindak sebagai left cover bagi oposan borjuis! Mereka itu harus
diekspos kepada massa untuk peran tidak dapat dipercaya yang tengah mereka
mainkan. PRD harus berjuang untuk memenangkan massa dari pengaruh-pengaruh
jahat pseudo-oposisi kaum borjuis.
Situasi ini
serupa dan paralel dengan revolusi Februari di Rusia. Massa turun ke jalan dan
mengalahkan rezim tsaris yang dibenci dan kaum borjuis demokratik loncat ke
dalam kereta dan membentuk pemerintahan sementara. Dalam setiap revolusi, ini
merupakan perkembangan yang normal. Kaum borjuis berusaha merampok buah
kemenangan dari perjuangan massa, mengambil dengan licik dan penuh tipu daya
apa yang oleh rezim lama tidak dapat dipertahankan dengan menggunakan kekuatan.
Pada awal tiap revolusi, ter apat fase ilusi-ilusi demokratik, semacam karnaval
di mana di dalamnya kegembiraan alamiah massa atas tumbangnya rezim lama
berpadu dengan intoksinasi frasa-frasa serta berbagai pidato demokratis yang
coba menyembunyikan realitas bahwa, pada fundamentalnya, tidak ada suatu pun
yang telah berubah. Para eksploitor dan penindas rakyat yang lama tetap
memegang kekuasaan dan menggerakkan benang pengontrol di balik layar,
merencanakan segala macam plot dan konspirasi dengan petinggi angkatan
bersenjata, menunggu massa menjadi kecapekan dan kembali jatuh tak beraktivitas
keras, sebelum akhirnya mereka ini melancarkan coup d'état.
Semua ini
adalah sifat yang amat dikenali dengan baik adanya dalam berbagai revolusi.
Tapi penting bagi partai revolusioner dan kepemimpinannya untuk tetap terpisah
dan berjarak dengan lelucon demokratik ini dan menerangkan pada massa bahwa
masalah belumlah terpecahkan &endash;masih ada pekerjaan serius yang harus
dituntaskan. Secepat ia mendengar tumbangnya Tsar, secepat itu pula Lenin, yang
masih dalam pengasingan di Swiss, buru-buru mengirim telegram berisi pesan
berikut kepada kaum Bolsheviks di Petrograd:
"Taktik
kita: absolut kurangnya kepercayaan; jangan dukung pemerintahan baru; curigai
khususnya Kerensky; persenjatai kaum proletar dengan semata jaminan saja;
pemilihan secepatnya bagi Duma Petrograd; jangan lakukan pendekatan dengan
partai-partai lain."
Malangnya,
para pemimpin Bolshevik di Petrograd (pada masa itu, Stalin dan Kamenev di
tengah lainnya) tdak memberikan perhatian pada anjuran Lenin. Mereka mabuk
ilusi-ilusi demokratik, terimbas mood umum dan himbauan konstan bagi
"persatuan seluruh kekuatan demokratik". Menentang saran Lenin,
mereka mendukung Pemerintahan Sementara kaum borjuis. Dalam cara yang serupa,
PRD menghimbau para pemimpin oposisi borjuis di Indonesia untuk meraih kekuasaan,
tidak memahami sifat asli dan peran yang sesungguhnya dari para pemimpin ini.
Untungnya,
ini bukanlah akhir dari kisah di Rusia. Lenin mengatur perubahan jalannya
partai setelah kedatangannya dari pengasingan pada bulan April 1917, meski itu
bisa dilakukan hanya setelah perjuangan internal yang tajam. Kebijakan partai
Bolsheviks sejak saat itu adalah "menjelaskan dengan sabar" kepada
massa kaum pekerja dan kaum tani bahwa satu-satunya cara meraih tuntutan mereka
yang paling mendesak adalah memberikan kepercayaan dan dukungan pasar
soviet-soviet dan tidak menaruh kepercayaan apapun pada kaum borjuis Liberal.
Isu ini jelas telah didiskusikan di dalam PRD sendiri, dan hal ini terbukti
dengan adanya pernyataan yang diiluncurkan beberapa hari setelahnya oleh PRD
dalam menjawab kaum cendekiawan sayap kiri yang mengusulkan sebuah pemerintahan
transisional yang terdiri atas kekuatan-kekuatan oposisi dan para jenderal
angkatan bersenjata yang "demokratis". Pertama sekali, pernyataan
tersebut dengan benar menanyakan siapa yang memobilisasi rakyat:
"Siapa
saja yang menjadi pimpinan kumpulan orang itu? Siapa yang memobilisasikan
mereka? Amien Rais, Megawati, atau Gus Dur? Atau para aktivis yang telah
berjuang memulai berbagai aksi lusinan orang, kemudian menjelma jadi aksi
ratusan orang, kemudian ribuan, kemudian puluhan ribu orang, dan seterusnya?
Ada banyak aktivis itu, dan mereka tidak disorot oleh media massa."
"Orang-orang
itu, terutama di Jakarta, bergerak tanpa pemimpin. Itulah mengapa mereka
kehilangan arah dan dengan mudah terpropokasi melakukan kerusuhan. Apakah Amien
Rais mengarahkan mereka untuk mengadakan aksi damai, berjalan menuju gedung
Parlemen, atau Istana Merdeka, atau stasiun radio negara? Atau apakah Megawati,
Gus Dur, atau tokoh-tokoh lain melakukan tugas-tugas ini?"
Berbagai
pengamatan ini seratus persen benar dan langsung menuju jantung masalah. Jika
bukan para pemimpin oposisi borjuis yang memimpin rakyat di jalanan, mengapa
mereka harus tidak mempercayai kepemimpinan massa sendiri?
"Lantas,
siapa yang harus mewakili orang-orang ini dalam pemerintahan transisional
sekarang? Bagiku, rakyat harus memilih para pemimpin mereka sendiri.
Satu-satunya cara untuk melakukan hal itu adalah dengan pendirian dewan-dewan
rakyat dari tingat terendah (mungkin di kampung, kampus, pabrik, kantor-kantor,
dsb.) setelah memilih pemimpin di tingkat yang paling rendah ini, mereka dapat
bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, dst., hingga ke tingkat nasional. Dengan
cara inilah seorang pemimpin sejati akan muncul, yaitu, seorang pemimpin yang
benar-benar merupakan wakil arus bawah."
Inilah
program yang akan kita dukung sepenuh hati, dan ini membuktikan bahwa di dalam
PRD mestilah terdapat banyak aktivis yang jujur mencari sebuah program
revolusioner yang sesungguhnya. Jika PRD mengadopsi sebuah program yang tidak
menaruh kepercayaan pada kaum borjuis liberal dan mulai menciptakan
komite-komite di tiap pabrik, kampus dan yang segolongannya, sejalan dengan
waktu, ini akan menaikkan otoritasnya secara luar biasa di tengah-tengah massa,
mempersiapkan basis bagi transfer kekuasaan kepada kaum pekerja dan kaum tani
sebagaimana yang dikerjakan partai Bolsheviks di periode Februari hingga
Oktober. Esensial bagi kita untuk secepatnya mengadakan kontak dengan lapisan
ini untuk membantu perkembangan arus revolusioner sejati yang, dalam kondisi
umum, akan dengan amat cepat menangkap karakter massa.
Program
mengenai tuntutan-tuntutan demokratis dan nasionalisasi perekonomian harus
digabung dengan sebuah himbauan internasionalis pada rakyat di Asia Tengara dan
kaum proletar di Barat agar mereka ini mempertahankan Revolusi Indonesia.
Inilah bagian kedua dari teori Revolusi Permanen. Trotsky menegaskan bahwa kaum
proletar akan berjaya di negara terbelakang dan, dimulai dengan tugas-tugas
borjuis demokratis dari revolusi, melanjutkannya ke tugas-tugas sosialis.
Tetapi pada akhirnya, syarat yang diperlukan bagi pengambilan kekuasaan dan
pemegangan kekuasaan itu adalah perluasan revolusi ke negeri-negeri yang
industrinya maju. Krisis kapitalisme menciptakan kondisi-kondisi menguntungkan
bagi perluasan revolusi ke seluruh wilayah Asia. Dalam proses ini, revolusi
Indonesia adalah kuncinya. Pengunduran diri Soeharto menimbulkan efek luar
biasa besar di seluruh wilayah Asia dan juga secara internasional. Proses itu
akan berlarut-larut, tapi sebuah revolusi yang berjaya di Indonesia akan
menyebar bagai percikan api ke seluruh Asia, di mana kondisi-kondisi yang di
hadapi massa di Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dll, kurang lebihnya sama,
dan hal ini juga akan menyetrumkan efeknya di Barat, terutama jika kaum pekerja
Indonesia meraih kekuasaan di adtas basis sebuah revolusi kaum proletar klasik
yang dipimpin oleh sebuah partai Marxis sejati dengan kebijakan dan perspektif
internasional.
Sekarang ini
PRD menempati posisi yang menentukan. Ia memiliki para aktivis yang pada
nyatanya memimpin penumbangan Soeharto. Ini adalah pencapaian yang luar biasa
besar, tapi cuma merupakan separuh tugas. Separuh yang lebih bbesar lagi masih
tertinggal. Supaya memenuhi tugas ini diperlukan satu hal. Nasib revolusi
Indonesia bergantung pada pembangunan sebuah kepemimpinan Leninis yang sejati,
dipersenjatai dengan berbagai perspektif yang diperlukan bagi revolusi.
Kita berdiri pada basis independensi kelas sepenuhnya! Segala macam jalan lain
tak terelakkan akan menggiring pada jalur kompromi dan akhirnya pada kandasnya
revolusi. Seluruh sejarah revolusi (daerah) jajahan, dan khususnya sejarah
Indonesia, membuktikan hal ini. Di atas segalanya, adalah perlu untuk memahami
keterbatasan sebuah revolusi di negara terbelakang, meski yang sebesar
Indonesia. Nasib Rusia dan Cina adalah peringatan keras mengenai apa yang
terjadi bagi usaha-usaha membangun "sosialisme di dalam satu negeri".
Perlu kita menyiapkan kelas pekerja untuk perebutan kekuasaan, namun perlu juga
untuk menjelaskan bahwa nasib revolusi Indonesia itu secara tak dapat
terpisahkan berkait dengan revolusi di seluruh Asia dan di atas skala dunia.
Tahun 1848, menarik kesimpulan dari kekalahan revolusi di Jerman sebagai akibat
pengkhianatan kaum borjuis liberal, para pendiri sosialisme ilmiah, Kart Marx
dan Frederick Engels, menyatakan himbauan pada para pekerja yang menjaga
segenap kekuatannya. Ini tetaplah jadi woro-woro yang kita adakan buat
mengumpulkan massa dan juga slogan kita saat ini:
"Tetapi
mereka sendiri harus sepenuhnya melakukannya demi kemenangan akhir mereka
dengan menjernihkan pikiran mereka sebagai kelas apa mereka sesungguhnya,
dengan secepat mungkin mengambil posisi mereka sebagai partai independen dan
tidak membiarkan diri mereka sekejap pun tergoda oleh frase-frase hipokrit
mengenai demokrasi borjuasi kecil yang bertujuan menghalagi mereka dari
organisasi independen partai kaum proletar. Pertempuran mereka haruslah:
Revolusi Dalam Cara Permanen." (K. Marx dan F. Engels, Address to the CC of the
Communist League, Maret 1850, MESW, Volume 1, halaman 185.)
London,
25/6/98
catatan
penerjemah:
dalam
terjemahan ini, beberapa pernyataan PRD diterjemahkan dari teks bahasa Inggris.
Bisa jadi terdapat perbedaan dengan apa yang tertulis di teks aslinya yang
berbahasa Indonesia, namun kami harap secara esensi tidak ada penyimpangan yang
dapat merugikan pihak manapun.
0 komentar:
Posting Komentar