Indonesia dikenal sebagai negara dengan berbagai anugerah dari
Tuhan yang sangat berlimpah. Tanah air kita ini, posisinya secara geografis
sangat strategis karena terletak diantara benua Asia dan Australia serta
diantara samudera Hindia dan samudera Pasifik. Wilayahnya sangat luas. Jika
ditotal jumlah daratannya saja (karena negara ini negara kepulauan) bisa mencapai
1.919.317 Km2. Terluas di Asia Tenggara. Bandingkan dengan Malaysia yang
‘hanya’ seluas 329.749 Km2 dan Myanmar (negara terluas kedua setelah Indonesia
di Asia Tenggara), yang seluas 678.033 Km2. Meski kalah luas dibanding Republik
Rakyat Cina (RRC) dan Amerika Serikat (AS) namun Indonesia, yang tidak memiliki
daerah gurun seperti gurun gobi RRC dan gurun Mojave di AS, memiliki tanah yang
sangat subur, terutama tanah Jawa sebagai akibat muntahan gunung vulkanik.
Akibatnya kita punya kekayaan flora yang tinggi pula, 4000 macam pohon, 1500
macam pakis-pakisan, dan 5000 macam Anggrek yang tumbuh disini. Hutannya juga
bervariasi, mulai dari hutan musim, hutan hujan tropis, hutan sabana, sampai
hutan bakau. Hutan bakau terluas di dunia yang luas keseluruhannya mencapai
4.250.000.000 Ha. Iklim tropisnya pun sangat bersahabat. Disini petani bisa
panen lebih dari sekali dalam setahun. Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia pun
melimpah-ruah, mulai dari minyak, gas, emas, perak, timah, nikel, sampai
bahan-bahan yang diperlukan bagi industri dasar seperti bijih besi dan baja,
bahkan uranium, ada di bumi Indonesia. Selain itu, Indonesia ditinggali oleh
kira-kira 170.000.000 penduduk. Itu artinya Indonesia punya lebih dari cukup
tenaga untuk mengolah kekayaan alamnya sekaligus menjadi pasar ekonomi yang
potensial. Kawan-kawan sekalian, dengan itu sebenarnya kita punya cukup modal
untuk menggapai kesejahteraan rakyat banyak. Tetapi, ya sayangnya selalu ada
tetapi, apakah rakyat kita yang secara de jure dianggap merdeka sejak
proklamasi 65 tahun lalu, merdeka pula secara de facto, secara riil,
hari ini? Apakah kemerdekaan, bebas, lepas, merdeka dari belenggu kemiskinan,
penghisapan, dan penjajahan itu dirasakan seluruh rakyat? Apakah Indonesia
merdeka 100%? Hanya ada satu kata: Tidak!
…
Di negeri permai ini,
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
…
Menyedihkan, tapi itu semua adalah kenyataan. Menurut data
PBB, rakyat miskin di Indonesia jumlahnya sebesar 60 juta jiwa. Menurut UNICEF,
dari 23,5 juta balita di Indonesia, 8,3% di antaranya menderita gizi buruk dan
1,67 juta anak balita terjangkit busung lapar. Sekitar 400 ribu bayi yang
dilahirkan tiap tahun menderita gangguan intelektual karena Ibunya semasa hamil
kekurangan yodium. Sekitar 2.300 perempuan Indonesia meninggal tiap tahun
selama masa kehamilan dan melahirkan disebabkan kekurangan zat besi. Sekitar
14.000 anak per tahun rawan infeksi karena kekurangan vitamin. Kematian karena
rokok telah mencapai angka 427.948 jiwa (Koran Tempo 9 April 2007). Di bidang
pendidikan prestasi Indonesia juga tak kalah hancur. Menurut United Nation
Educational Scientific and Cultural (UNEC), November 2007, peringkat pendidikan
Indonesia di dunia merosot dari rangking 58 ke 62 diantara 130 negara. Penduduk
buta huruf di Indonesia mencapai 15,4 juta orang, lebih dari separuh penduduk
Malaysia. Pendidikan para pekerja di Indonesia lebih dari separuhnya hanyalah
pendidikan dasar atau SD, sementara pendidikan SMP hanya 20,3%, SMA 19,1%,
Diploma 2,5%, dan sarjana 3,6%. Angka pengangguran Indonesia sendiri sebesar
9,4 juta. Tak heran kalau World Economic Forum 2007-2008 menyebut daya saing
Indonesia berada di tingkat 54 dari 131 negara, sementara tetangga kita
Singapura berada di tingkat 7 dan Malaysia pada tingkat 21.
Ya, kawan-kawan, pendidikan kita separah itu. Sering kita
heran, menggerutu, istighfar bahkan beberapa orang kehilangan kesabaran dan
mengumpat, karena biaya pendidikan kian mahal dari waktu ke waktu. Seakan kita
belum cukup diperas untuk membayar belanja kebutuhan pokok yang harganya kian
membumbung tinggi, seakan hutang kita belum cukup banyak untuk membeli
barang-barang yang kini tak lagi disubsidi, dan seakan kita kurang ditarik
pajak dan pungutan ini-itu yang kita tak tahu larinya kemana. Sekarang
pendidikan rupanya jadi barang dagangan. Bahkan lahan pemerasan. Banyak terjadi
kasus sekolah di daerah tertinggal, termarjinalkan karena tak tersentuh dana
dan fasilitas memadai. Peristiwa sekolah ambruk, sengketa kasus tanah sekolah
yang berakibat penggusuran, penarikan fasilitas pendidikan seperti meja dan
kursi murid, sampai sekolah yang bobroknya seperti kandang ayam masih ada
banyak di Indonesia. Termasuk kasus anak sekolah mati bunuh diri karena tak
mampu bayar pungutan.
Kini Pemerintah, birokrat, bahkan akademisi gadungan secara
massif memaksakan ide bahwa kalau mau pendidikan bermutu memang harus mahal.
Semakin mahal biaya pendidikan semakin bagus kualitasnya. Ada uang, ada barang.
Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bagus hanya untuk orang mampu dan kaya
bukan untuk rakyat miskin. Lucunya rezim SBY dengan gencar melancarkan
propaganda bohong tentang sekolah gratis sementara di sisi lain dana BOS hanya
diberikan per kepala murid tanpa mempertimbangkan kebutuhan sekolah. Jangan
lupakan juga sekolah-sekolah yang berobsesi mengglobal dengan mencoba menjadi
sekolah bertaraf (lebih tepatnya bertarif) internasional dan juga dibukanya
penerimaan mandiri (alias ujian masuk sekolah lewat jalur finansial) yang
menggerus jatah murid-murid biasa.
Kita jadi tersentak sadar, slogan pemerintah adalah pelayan
rakyat merupakan mimpi di siang bolong belaka. Pemerintah tak lebih dari
penarik pajak. Pemerintah hanyalah tukang perintah. Bahkan lebih buruk lagi
pemerintah saat ini adalah kepanjangan kapitalis asing. Ya, benar. Pemerintah
adalah kepanjangan tangan imperialis, antek penjajah bagi penjajahan atas
bangsanya sendiri, termasuk di bidang pendidikan. Kalau mau buktinya, mari kita
telusuri regulasi hukum yang diatur demi melegalkan penjajahan di Indonesia.
SEJARAH INVASI KAPITALISME KE PENDIDIKAN INDONESIA
Kapitalisasi pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari
tindak-tanduk dan tunduknya pemerintah pada WTO. Badan imperialis ini bermula
dari dirumuskannya General Agreement of Tariffs and Trade (GATT), atau
kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagangan. GATT ini didirikan atas
dasar perjanjian di Jenewa, Swiss pasca Perang Dunia II berakhir, tepatnya pada
Oktober 1947. GATT lahir untuk membobol dinding-dinding yang menghalangi
perdagangan antar negara baik berupa proteksi-proteksi maupun tarif bea cukai.
Ini lantas disusul dengan dirumuskannya The Washington Consensus atau
Konsensus Washington (1989-1990) yang salah satu dari 10 butir rumusannya
berbunyi “Mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur” (sehingga beban tanggungjawab
pemerintah berkurang). Demi membentuk badan yang lebih perkasa, GATT ini lantas
berevolusi menjadi WTO pada 1 Januari 1995. Sebelumnya Indonesia sudah
memberikan restu melalui UU No. 7 tahun 1994. UU yang ditandatangani oleh,
siapa lagi kalau bukan fasis Soeharto ini, merupakan persetujuan sekaligus
pengesahan atas Agreement Establishing World Trade Organization (WTO)
atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program World
Bank atau Bank Dunia yang merambah dunia pendidikan. Proyek itu
bernama University Research for Graduate Education (URGE). Proyek ini
diteruskan dengan proyek-proyek lain yaitu, Development of Undergraduate
Education (DUE), Quality of Undergraduate Education (QUE).
Proyek-proyek ini dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma sosial
melainkan untuk meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi ini disusul
dengan proyek yang disponsori UNESCO yaitu Higher Educations for
Competitiveness Project (HECP). HECP ini dikemudian hari berevolusi menjadi
Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency
(IMHERE). Liberasi semakin tampak terang, terbukti dari salah satu indikator kuncinya
adalah pembangunan struktur hukum yang koheren pendukung efektivitas otonomi
kelembagaan (baca: privatisasi). Privatisasi dalam pendidikan ini akan
berbentuk BHP. Regulasi pemBHPan semua institusi pendidikan di Indonesia itu
diperintahkan pada pemerintah Indonesia agar disahkan paling lambat tahun 2010.
Untuk membiayai proyek liberalisasi, otonomisasi, atau lebih lugasnya
privatisasi dan komodifikasi pendidikan Indonesia itu, dilancarkanlah Loan
Agreement – IBRD – no. 4789-IND dan Development Credit Agreement – IDA –
no. 4077-IND Schedule 4. Dua perjanjian itu tidak lain dan tidak
bukan adalah perjanjian hutang untuk membiayai IMHERE dengan besaran
total US$ 98.267.000,-.
Sementara itu di Indonesia pasca reformasi, tepatnya pada
tahun 2003, rezim Megawati (yang mengaku reformis juga) melahirkan UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) no. 20 tahun 2003. Beberapa hal kontroversial
di dalamnya termasuk kewajiban rakyat untuk mengongkosi biaya pendidikan (Pasal
9), “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan”. Pasal ini membingungkan karena membuat rancu
mengenai ada di tangan siapa tanggungjawab penyediaan sumber daya pendidikan?
Apakah bukan lagi tanggungjawab pemerintah, sehingga dilempar ke rakyat? Mengapa
kini jadi rakyat yang wajib mengongkosi pendidikan mereka sendiri? Dukungan
sumber daya ini juga bisa ditafsirkan sangat luas, mulai dari pendanaan,
penyediaan fasilitas, sampai guru yang harus digaji. Sedangkan pada pasal 53
ayat (1) UU yang sama menyebutkan, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan
hukum pendidikan (BHP)”.
Kembali ke WTO, badan yang bermarkas di AS ini di tahun 2005
menelurkan General Agreement of Trade and Services (GATS) alias
kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan. Disana secara lebih eksplisit,
pendidikan dimasukkan sebagai salah satu lingkup usaha atau industri. Sehingga
pendidikan bukan lagi bidang sosial kemanusiaan tanggungjawab pemerintah
melainkan ajang jual beli di pasar. GATS ini langsung ditandatangani Indonesia
pada tahun yang sama, 2005. Ya, pemerintah Indonesia yang katanya telah melalui
reformasi ternyata sebenarnya tak ada bedanya dengan rezim fasis orde baru.
Rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meneruskan rezim Soeharto itu,
melahirkan regulasi pengaman bagi invasi kapitalisme ke pendidikan di
Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) no. 76 dan no. 77 tahun 2007. Kedua
Perpres yang dikeluarkan mantan ajudan Soeharto itu menyatakan bahwa pendidikan
(di Indonesia) termasuk sektor terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal
49%. Tiga tahun kemudian, dikeluarkanlah pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 48
tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. PP ini mengesahkan keterlibatan pihak
asing dan juga membolehkan penarikan pungutan ke orang tua peserta didik.
Regulasi-regulasi ini kemudian diperkuat dengan regulasi lain yaitu Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan (RPP PPP).
RPP PPP yang harusnya mengacu pada UU BHP ini malah dikeluarkan lebih dahulu
daripada UU BHP. Tampaknya RPP PPP ini dirancang pemuka liberalisasi pendidikan
dan penyokong UU BHP sebagai pengecoh publik (yang saat itu ramai menentang RUU
BHP). Terbukti hal menyangkut penanaman modal asing di RUU BHP dihapus tapi
ternyata kehadiran lembaga pendidikan asing diakomodasi RPP PPP ini.
Puncak liberalisasi pendidikan ini terjadi pada 17 Desember
2009 lalu, dimana RUU BHP disahkan. Meski rakyat dari berbagai elemen termasuk
buruh, tani, mahasiswa, akademisi, wartawan, menentang UU BHP, pemerintah tetap
melenggang saja dengan menutup mata dan telinga dari teriakan rakyat. Rakyat
yang telah memilih mereka. Rakyat yang telah memberikan kepercayaannya pada
mereka sehingga pemerintah bisa duduk di kursi kekuasaan. Rakyat yang ditipu
kampanye manipulatif dan janji-janji kosong. Rakyat yang katanya berdaulat
untuk menentukan pemimpinnya. Kedaulatan rakyat ternyata tak lebih dari omong
kosong karena kedaulatan hanya ada di bilik-bilik pemilihan umum (pemilu).
Selebihnya dipegang penguasa. Rakyat bahkan tak punya daya upaya terhadap wakil
dan pemerintah yang dipilihnya, meski pemerintah itu pun telah berkhianat.
BAHAYA KOMERSIALISASI PENDIDIKAN KHUSUSNYA UU BHP PADA RAKYAT
UU BHP yang menjadi pamungkas
liberalisasi dan komodifikasi pendidikan Indonesia menyimpan beberapa bahaya
yang mengancam rakyat Indonesia. Bahaya-bahaya itu tersebar berupa pasal-pasal
komersil dan ayat-ayat kapitalis dalam UU BHP. Pertama, UU BHP
negara melepas tanggung jawab untuk mendanai pendidikan rakyat.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 40 ayat (1) berbunyi:
“Pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kalimat yang dicetak tebal diatas sekali lagi menimbulkan
keambiguan antara tanggung jawab pemerintah dan tanggung jawab rakyat.
Pemerintah bisa saja lepas tangan ketika diprotes rakyat dan menuntut tanggung
jawabnya dalam pendanaan pendidikan. Rakyat yang merasa dirugikan karena dari
hari kehari pendidikan kian mahal tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pemerintah
bisa saja berkelit atau berdalih, “Bukankah pendidikan tanggung jawab
bersama?” Kalau sudah begitu buat apa rakyat membayar pajak kalau semua
hal, termasuk pendidikan harus rakyat sendiri yang bayar?
Padahal itu berkontradiksi dengan pasal lanjutannya atau UU
BHP Bab VI Pendanaan Pasal 40 ayat (4) yang berbunyi:
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggungjawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam
pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Nah, sekarang mari kita lihat ke UUD 1945 kita.
UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (1)
berbunyi:
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”
UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (2)
berbunyi:
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”
Ini berarti semua lapisan rakyat harus harus dibiayai penuh
untuk mengakses pendidikan dasar. Dengan begitu, melalui pendidikan dasar ini,
pemberantasan buta huruf seharusnya dilakukan secara massif dan menyeluruh baik
di Indonesia Barat, Tengah, maupun di Timur sampai belahan bumi Papua. Tapi
nyata-nyatanya pembangunan sekolah di banyak daerah, terutama desa dan wilayah
terpencil, termasuk Indonesia Tengah dan Timur masih minim. Banyak kisah siswa
SD harus menyeberangi sungai, mendaki bukit, menuruni lembah, menembus hutan,
untuk sampai di sekolah. Sementara di sisi lain pemerintah malah menggencarkan
Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang biaya pendirian dan
penyelenggaraannya sebenarnya bisa untuk mendirikan dan membiayai 10 sekolah
biasa. Harusnya pemerintah memprioritaskan pembangunan sekolah secara
menyeluruh, bukan membangun sekolah-sekolah yang kualitas dan tarifnya
membumbung tinggi sehingga mendiskriminasikan rakyat. Tapi mari itu kita
kesampingkan dulu. Sekarang mari kita cermati, sudahkan pemerintah berkomitmen
menyediakan pendanaan bagi pendidikan?
UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (4)
berbunyi:
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.”
Rezim SBY rupanya mencoba melakukan propaganda tipu-tipu pada
rakyat. Pada pidato kenegaraan SBY tentang APBN 2009, presiden yang
pemerintahannya kini digoyang skandal bank century ini menyatakan bahwa
anggaran pendidikan telah naik. “Anggaran pendidikan telah meningkat hampir
dua kali lipat dari Rp 78,5 trilyun pada tahun 2005, menjadi Rp 154,2 trilliun
pada tahun 2008. Bahkan, alhamdullilah, untuk tahun anggaran 2009, di tengah
krisis harga minyak dan pangan dunia yang berdampak pada perekonomian kita,
kita telah bisa memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi.” Katanya, sebagai itikad baik pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dengan membantu pengadaan gedung, beasiswa,
kompetensi, dan kesejahteraan guru, dan sebagainya. Dana itu akan dialokasikan
APBN yang jumlah total besar APBNnya adalah Rp 1.122,2 trilliun. Namun
seharusnya 20% anggaran itu berjumlah Rp 224,4 trilliun. Kalau kita cermati
anggaran untuk Depdiknas sebesar Rp 52 trilliun ditambah Rp 46,1 trilliun untuk
meningkatkan penghasilan guru dan peneliti. Jika ditambahkan dengan anggaran
Departemen Agama (Depag) sebesar Rp 20,7 trilliun maka didapatkan angka Rp
118,8 trilliun (10,58%). Jika anggaran Depdiknas yang dijadikan parameter
besarnya anggaran sektor pendidikan, ini masih berkisar di anggaran tahun 2008
yaitu Rp 48,4 trilliun (9,8%). Kesimpulannya, anggaran pendidikan tahun 2009
bukan 20% melainkan hanya 4,63% dari APBN.
Gaji guru jelas tidak bisa dimasukkan alokasinya dari anggaran
pendidikan, karena U Sisdiknas sendiri sudah mengatur dengan jelas. Mari kita
cermati.
UU Sisdiknas Bagian Keempat, Pengalokasian Dana Pendidikan,
Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
“Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah”
Ini lebih detil lagi pada ayat lanjutannya,
UU Sisdiknas Bagian Keempat, Pengalokasian Dana Pendidikan,
Pasal 49 ayat (2) berbunyi:
“Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Jadi harusnya Gaji guru dan dosen diatur terpisah dengan
anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD. Dengan demikian rezim SBY telah
melakukan kebohongan besar.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 41 ayat (4) berbunyi:
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD
yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai standar nasional pendidikan.
Kuota 1/3 tangungan biaya pendidikan ini tidak jelas. Karena berlawanan
dengan propaganda sekolah gratis (SD-SMP) gratis, disini pendidikan menengah
hanya ditanggung 1/3 itupun ditanggung bersama dengan pemerintah daerah. Tidak
ada jaminan apakah 1/3 itu sudah cukup untuk menutup kebutuhan sekolah dan
studi siswa.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 41 ayat (5) berbunyi:
“Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung
seluruh biaya investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai
standar nasional pendidikan.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 41 ayat (6) berbunyi:
“Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit
½ (seperdua) biaya operasional pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional
pendidikan
Sekali lagi pasal ini merupakan ambiguitas akan peran dan
tanggung jawab pemerintah. Ya, pemerintah dengan BHPP. BHPP disini dimaksud
adalah sekolah atau perguruan tinggi. Pertanyaannya adalah darimana BHPP
mendapatkan subsidi dan dana? Tentu saja dari pemerintah. Nah, disini tidak
jelas 1/3 pembagian antara 1/3 (atau ½ dengan BHPP Perguruan Tinggi) antara
pemerintah dengan BHP seperti apa. Kalau pemerintah memutuskan hanya memberi
dana 1% saja, maka sisanya harus ditanggung sendiri oleh BHP. Entah dengan cara
meminta uang dari donatur, mencari sponsor (dengan memasukkan korporasi untuk
berbisnis di sekolah), membuat usaha bisnis, ataupun cara paling mudah yaitu
dengan kembali melakukan pungutan kepada orang tua peserta didik.
Kedua, UU BHP menodai misi sosial dan kemanusiaan pada dunia
pendidikan dengan visi kapitalis (kontradiksi antara nirlaba dan bisnis).
UU BHP Bab II Fungsi, Tujuan, dan Prinsip Pasal 4 ayat (1)
berbunyi:
“Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum
pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan
utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan
badan hukum pendidikan harus ditanamkan kembali ke badan hukum pendidikan.
Ini jelas berkontradiksi dengan pasal-pasal lain dalam UU BHP.
Di satu sisi, BHP didorong untuk bersifat nirlaba, namun di sisi lainnya BHP
didorong untuk melakukan kegiatan bisnis melalui pasal-pasal berikut.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 42 ayat (1) berbunyi:
“Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.”
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 43 ayat (1) berbunyi:
“Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha
berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
memenuhi pendanaan pendidikan
Tidak tanggung-tanggung, BHP didorong untuk berbisnis baik
melalui pembukaan badan usaha maupun investasi protofolio alias penanaman
saham. Bagaimana mungkin nirlaba yang bersifat sosial bersanding dengan badan
usaha yang berorientasi laba. Jelas dorongan berbisnis kelak akan mengalahkan
pelaksanaan pendidikan, karena tenaga akan tersedot untuk mencari tambahan uang
(karena pemerintah sudah mengurangi tanggung jawabnya).
Ketiga, UU BHP menghapus guru dan industrialisasi pendidikan
UU BHP Bab VIII Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal
55 ayat (3)
“Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) membuat perjanjian kerjasama dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD,
atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/ atau
anggaran rumah tangga.”
Dengan demikian nasib guru makin tidak jelas, baik guru
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS. Karena nasib mereka tidak
lagi mengacu pada UU No. 14 tentang Guru dan Dosen, melainkan diserahkan ke
BHPnya masing-masing. Ini akan mengubah sekolah jadi pabrik dan hubungan antara
BHP dan guru (termasuk dosen) menjadi hubungan majikan-buruh. Gaji, jaminan
kesejahteraan, kontrak, uang pensiun, dan hal lain menyangkut nasib guru yang
semula dijamin negara akan dilokalisir menjadi kontrak-kontrak antara guru
dengan BHP tempat dia dipekerjakan.
Selain itu UU BHP ini juga menghapuskan kosakata guru dan
sekolah. Menggantinya dengan BHP dan pendidik serta tenaga pendidikan saja.
Padahal kata sekolah dan guru memiliki makna filosofis yang lebih besar
daripada BHP dan tenaga pendidikan yang lebih mirip perusahaan dan buruh. Aroma
industrialisasi atau juga bisa disebut korporatisasi pendidikan ini kian jelas
karena mayoritas dari istilah-istilah yang muncul dan jadi bahasan dalam UU BHP
ini lebih mendekati istilah bisnis daripada istilah pendidikan. Lebih
lengkapnya lihat tabel berikut.
Istilah-Istilah yang muncul dalam UU BHP
|
|||||
1
|
BHP
|
14
|
Keuntungan
|
27
|
Organ audit bidang
akademik
|
2
|
BHPP
|
15
|
Sisa keuntungan
dibagi
|
28
|
Organ audit
|
3
|
BHPD
|
16
|
Biaya
|
29
|
Organ penentu
kebijakan umum
|
4
|
BHPM
|
17
|
Dewan Audit
|
30
|
Laporan keuangan
tahunan BHP
|
5
|
Nirlaba
|
18
|
Fungsi Audit
|
31
|
Administrasi dan
laporan keuangan tahunan BHP
|
6
|
Investasi
portofolio
|
19
|
Modal Usaha
|
32
|
Aktiva dan pasiva
|
7
|
Tata kelola
|
20
|
Biaya Investasi
|
33
|
Pembayaran hutang
|
8
|
Organ representasi
pemangku kepentingan
|
21
|
Usaha komersial
|
34
|
Pailit
|
9
|
Kekayaan
|
22
|
Transparansi
|
35
|
Harta kekayaan
|
10
|
Pemisahan kekayaan
pendiri
|
23
|
Akuntabilitas
publik
|
36
|
Pembubaran
|
11
|
Ketenagaan (bukan
guru/dosen)
|
24
|
Kepuasan publik
|
37
|
Penggabungan
|
12
|
Fungsi audit
|
25
|
Layanan prima
|
38
|
Pelunasan hutang
|
13
|
Modal usaha
|
26
|
Organ pengelola
|
39
|
Likuidasi
|
Kalau kita kaji baik-baik, ini istilah yang lebih sering
dipakai pada perusahaan, bank, lembaga keuangan, dan transaksi-transaksi
perdagangan. Ya, istilah-istilah bisnis memang. Sedangkan istilah pendidikan
tidak muncul sama sekali. Tidak ada satupun pembahasan mengenai bagaimana peran
pendidikan dalam pencerdasan bangsa, bagaimana pendidikan turun ke bawah
menyikapi dan menjawab permasalahan kerakyatan dan kemanusiaan, bagaimana
kewajiban pendidikan dalam melawan kemiskinan, bagaimana mewujudkan
pengembangan intelektual sehingga membawa masyarakat indonesia pada penggunaan
logika berpikir, mengikis takhayul, serta memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kesejahteraan rakyat banyak, dan bagaimana menyelenggarakan
pendidikan yang demokratis (merata dinikmati semua kalangan rakyat dari Sabang
sampai Merauke), logis, ilmiah dan berakar pada kehidupan serta kebutuhan riil,
dan membangun kemandirian bangsa. Hal-hal macam ini tidak muncul sama sekali
dalam regulasi-regulasi pendidikan yang dikeluarkan mulai zaman pasca-soekarno
atau era fasis orde baru sampai era reformasi, atau tepatnya kita sebut era
orde terbaru.
Padahal kalau kita mau berkaca pada sejarah, para pendahulu
bangsa Indonesia selalu memperjuangkan pendidikan bagi rakyat. Mulai dari
Kartini yang mendirikan kelas-kelas kecil dengan biaya cuma-cuma. pada tahun
1903 bagi kepentingan para gadis dengan frekuensi empat kali seminggu. Dewi
Sartika mendirikan Sekolah Istri pada tahun 1904 (kemudian berubah jadi
Keutamaan Istri). Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3
Juli 1922. Selain itu Semaoen dan Tan Malaka juga membuka Sekolah Rakjat pada
21 Juli 1921. Sekolah-sekolah diatas didirikan oleh para pendahulu bangsa ini
dengan sikap dan tujuan yang jelas, berpihak pada rakyat dan memajukan
kemanusiaan. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, pendidikan diarahkan untuk
pembentukan karakter bangsa yang merdeka. Untuk itu pendidikan juga bertujuan
menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Prinsip Indonesia saat itu adalah
Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) alias membangun kemandirian bangsa,
serta berkepribadian.
Alangkah berbeda sekali kondisi tersebut dengan berpuluh-puluh
tahun kemudian di masa kini. Betapa cita-cita luhur itu dikhianati. Soeharto
naik ke tampuk kekuasaan bukan hanya dengan melawati genangan darah lebih dari
tiga juta rakyat dan lawan-lawan politiknya, melainkan dengan menggadaikan
kekayaan-SDA di Indonesia serta menjungkirbalikkan tatanan yang ada termasuk
tatanan pendidikan ke arah fasis-kapitalistik. Tambang-tambang dibagi-bagi ke
negara asing, pendidikan diarahkan ke kepentingan pasar. Bahkan itu dilakukan
oleh para penerusnya kini, termasuk rezim Megawati dan SBY. Mengapa hal itu terjadi?
Ya, sudah jelas. Karena semua elemen pemerintah yang kini berkuasa adalah
komprador, kaki tangan kapitalis global, antek imperialis yang jadi anjing
setia, patuh pada tuannya tapi selalu menggonggong bahkan menerkam rakyatnya!
…
Mereka dirampas haknya,
tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
Untuk membebaskan rakyat
Kenyataan sudah jelas pemerintah kita hari ini hanyalah
penindas, sekarang sudah terang bahwa perlawanan kita tetap harus berlanjut,
kawan-kawan. Perlawanan macam apa yang akan kita usung. Jelas karena ranah kita
persma, maka kita harus melakukan perang wacana, melancarkan kontra-propaganda,
menggencarkan pembangunan kesadaran ke masyarakat luas, khususnya mahasiswa dan
umumnya rakyat menengah ke bawah terutama rakyat miskin. Perjuangan kita adalah
perjuangan membangkitkan dan membangun kesadaran. Mari kita tanyakan ke diri
kita sendiri. Seberapa sering dalam sebulan kita mengadakan diskusi membedah
kondisi masyarakat Indonesia secara umum dan pendidikan Indonesia secara khusus?
Berapa kali kita melakukan pembacaan dan pencermatan UU BHP secara bersama-sama
dalam suatu forum, baik di tingkat jurusan, fakultas, universitas, maupun di
kalangan umum? Sudahkah media kita mengulas pendidikan Indonesia dan penindasan
sistematis di dalamnya secara historis dan terperinci? Sudahkah wacana dalam
media kita disebarkan ke mahasiswa dan masyarakat secara luas? Sudahkah
wacana-wacana kita dipahami? Bagaimanakah masyarakat meresponnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk kita jawab dan sikapi. Dalam suatu
perjuangan, perjuangan literasi atau perjuangan wacana harus berakar di
kalangan rakyat. Kita tidak bisa berhenti di belakang meja atau di depan
monitor komputer saja. Kita tidak bisa bersikap elitis dan tidak mau berbaur
dengan rakyat. Perjuangan tidak mungkin diwujudkan hanya oleh segelintir
golongan, termasuk oleh Pers Mahasiswa. Sejarah mencatat bagaimana perubahan
yang diperjuangkan mahasiswa selalu jatuh ke tangan yang salah. Tahun 1966
melempar kekuasaan ke rezim fasis Soeharto, tahun 1971 terjebak pertikaian
antara dua jenderal, dan tahun 1998 gagal membersihkan orde baru. Kita harus
belajar dari sejarah. Kita harus mengambil pelajaran dari pengalaman. Mahasiswa
tidak bisa berjuang sendiri, termasuk Pers Mahasiswa sebagai bagian dari elemen
perjuangan mahasiswa. Pers Mahasiswa harus bersatu dengan semua elemen rakyat,
bersama dengan buruh, tani, guru, wartawan, dan kaum miskin lainnya. Bersama,
bergerak berjuang menentang komersialisasi pendidikan pada khususnya dan
penindasan rezim pada umumnya.
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar,
Bunda relakan darah juang kami,
Padamu kami berbakti, padamu kami mengabdi
(Darah Juang)
0 komentar:
Posting Komentar