photo hhhhhhhhiii_zps9dd37855.jpeg" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />
Home » » Mengungkap Invasi Kapitalisme di Pendidikan Indonesia

Mengungkap Invasi Kapitalisme di Pendidikan Indonesia

Mengungkap Invasi Kapitalisme di Pendidikan Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara dengan berbagai anugerah dari Tuhan yang sangat berlimpah. Tanah air kita ini, posisinya secara geografis sangat strategis karena terletak diantara benua Asia dan Australia serta diantara samudera Hindia dan samudera Pasifik. Wilayahnya sangat luas. Jika ditotal jumlah daratannya saja (karena negara ini negara kepulauan) bisa mencapai 1.919.317 Km2. Terluas di Asia Tenggara. Bandingkan dengan Malaysia yang ‘hanya’ seluas 329.749 Km2 dan Myanmar (negara terluas kedua setelah Indonesia di Asia Tenggara), yang seluas 678.033 Km2. Meski kalah luas dibanding Republik Rakyat Cina (RRC) dan Amerika Serikat (AS) namun Indonesia, yang tidak memiliki daerah gurun seperti gurun gobi RRC dan gurun Mojave di AS, memiliki tanah yang sangat subur, terutama tanah Jawa sebagai akibat muntahan gunung vulkanik. Akibatnya kita punya kekayaan flora yang tinggi pula, 4000 macam pohon, 1500 macam pakis-pakisan, dan 5000 macam Anggrek yang tumbuh disini. Hutannya juga bervariasi, mulai dari hutan musim, hutan hujan tropis, hutan sabana, sampai hutan bakau. Hutan bakau terluas di dunia yang luas keseluruhannya mencapai 4.250.000.000 Ha. Iklim tropisnya pun sangat bersahabat. Disini petani bisa panen lebih dari sekali dalam setahun. Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia pun melimpah-ruah, mulai dari minyak, gas, emas, perak, timah, nikel, sampai bahan-bahan yang diperlukan bagi industri dasar seperti bijih besi dan baja, bahkan uranium, ada di bumi Indonesia. Selain itu, Indonesia ditinggali oleh kira-kira 170.000.000 penduduk. Itu artinya Indonesia punya lebih dari cukup tenaga untuk mengolah kekayaan alamnya sekaligus menjadi pasar ekonomi yang potensial. Kawan-kawan sekalian, dengan itu sebenarnya kita punya cukup modal untuk menggapai kesejahteraan rakyat banyak. Tetapi, ya sayangnya selalu ada tetapi, apakah rakyat kita yang secara de jure dianggap merdeka sejak proklamasi 65 tahun lalu, merdeka pula secara de facto, secara riil, hari ini? Apakah kemerdekaan, bebas, lepas, merdeka dari belenggu kemiskinan, penghisapan, dan penjajahan itu dirasakan seluruh rakyat? Apakah Indonesia merdeka 100%? Hanya ada satu kata: Tidak!
Di negeri permai ini,
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Menyedihkan, tapi itu semua adalah kenyataan. Menurut data PBB, rakyat miskin di Indonesia jumlahnya sebesar 60 juta jiwa. Menurut UNICEF, dari 23,5 juta balita di Indonesia, 8,3% di antaranya menderita gizi buruk dan 1,67 juta anak balita terjangkit busung lapar. Sekitar 400 ribu bayi yang dilahirkan tiap tahun menderita gangguan intelektual karena Ibunya semasa hamil kekurangan yodium. Sekitar 2.300 perempuan Indonesia meninggal tiap tahun selama masa kehamilan dan melahirkan disebabkan kekurangan zat besi. Sekitar 14.000 anak per tahun rawan infeksi karena kekurangan vitamin. Kematian karena rokok telah mencapai angka 427.948 jiwa (Koran Tempo 9 April 2007). Di bidang pendidikan prestasi Indonesia juga tak kalah hancur. Menurut United Nation Educational Scientific and Cultural (UNEC), November 2007, peringkat pendidikan Indonesia di dunia merosot dari rangking 58 ke 62 diantara 130 negara. Penduduk buta huruf di Indonesia mencapai 15,4 juta orang, lebih dari separuh penduduk Malaysia. Pendidikan para pekerja di Indonesia lebih dari separuhnya hanyalah pendidikan dasar atau SD, sementara pendidikan SMP hanya 20,3%, SMA 19,1%, Diploma 2,5%, dan sarjana 3,6%. Angka pengangguran Indonesia sendiri sebesar 9,4 juta. Tak heran kalau World Economic Forum 2007-2008 menyebut daya saing Indonesia berada di tingkat 54 dari 131 negara, sementara tetangga kita Singapura berada di tingkat 7 dan Malaysia pada tingkat 21.
Ya, kawan-kawan, pendidikan kita separah itu. Sering kita heran, menggerutu, istighfar bahkan beberapa orang kehilangan kesabaran dan mengumpat, karena biaya pendidikan kian mahal dari waktu ke waktu. Seakan kita belum cukup diperas untuk membayar belanja kebutuhan pokok yang harganya kian membumbung tinggi, seakan hutang kita belum cukup banyak untuk membeli barang-barang yang kini tak lagi disubsidi, dan seakan kita kurang ditarik pajak dan pungutan ini-itu yang kita tak tahu larinya kemana. Sekarang pendidikan rupanya jadi barang dagangan. Bahkan lahan pemerasan. Banyak terjadi kasus sekolah di daerah tertinggal, termarjinalkan karena tak tersentuh dana dan fasilitas memadai. Peristiwa sekolah ambruk, sengketa kasus tanah sekolah yang berakibat penggusuran, penarikan fasilitas pendidikan seperti meja dan kursi murid, sampai sekolah yang bobroknya seperti kandang ayam masih ada banyak di Indonesia. Termasuk kasus anak sekolah mati bunuh diri karena tak mampu bayar pungutan.
Kini Pemerintah, birokrat, bahkan akademisi gadungan secara massif memaksakan ide bahwa kalau mau pendidikan bermutu memang harus mahal. Semakin mahal biaya pendidikan semakin bagus kualitasnya. Ada uang, ada barang. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bagus hanya untuk orang mampu dan kaya bukan untuk rakyat miskin. Lucunya rezim SBY dengan gencar melancarkan propaganda bohong tentang sekolah gratis sementara di sisi lain dana BOS hanya diberikan per kepala murid tanpa mempertimbangkan kebutuhan sekolah. Jangan lupakan juga sekolah-sekolah yang berobsesi mengglobal dengan mencoba menjadi sekolah bertaraf (lebih tepatnya bertarif) internasional dan juga dibukanya penerimaan mandiri (alias ujian masuk sekolah lewat jalur finansial) yang menggerus jatah murid-murid biasa.
Kita jadi tersentak sadar, slogan pemerintah adalah pelayan rakyat merupakan mimpi di siang bolong belaka. Pemerintah tak lebih dari penarik pajak. Pemerintah hanyalah tukang perintah. Bahkan lebih buruk lagi pemerintah saat ini adalah kepanjangan kapitalis asing. Ya, benar. Pemerintah adalah kepanjangan tangan imperialis, antek penjajah bagi penjajahan atas bangsanya sendiri, termasuk di bidang pendidikan. Kalau mau buktinya, mari kita telusuri regulasi hukum yang diatur demi melegalkan penjajahan di Indonesia.
SEJARAH INVASI KAPITALISME KE PENDIDIKAN INDONESIA
Kapitalisasi pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari tindak-tanduk dan tunduknya pemerintah pada WTO. Badan imperialis ini bermula dari dirumuskannya General Agreement of Tariffs and Trade (GATT), atau kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagangan. GATT ini didirikan atas dasar perjanjian di Jenewa, Swiss pasca Perang Dunia II berakhir, tepatnya pada Oktober 1947. GATT lahir untuk membobol dinding-dinding yang menghalangi perdagangan antar negara baik berupa proteksi-proteksi maupun tarif bea cukai. Ini lantas disusul dengan dirumuskannya The Washington Consensus atau Konsensus Washington (1989-1990) yang salah satu dari 10 butir rumusannya berbunyi “Mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur” (sehingga beban tanggungjawab pemerintah berkurang). Demi membentuk badan yang lebih perkasa, GATT ini lantas berevolusi menjadi WTO pada 1 Januari 1995. Sebelumnya Indonesia sudah memberikan restu melalui UU No. 7 tahun 1994. UU yang ditandatangani oleh, siapa lagi kalau bukan fasis Soeharto ini, merupakan persetujuan sekaligus pengesahan atas Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program World Bank atau Bank Dunia yang merambah dunia pendidikan.  Proyek itu bernama University Research for Graduate Education (URGE). Proyek ini diteruskan dengan proyek-proyek lain yaitu, Development of Undergraduate Education (DUE), Quality of Undergraduate Education (QUE). Proyek-proyek ini dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma sosial melainkan untuk meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi ini disusul dengan proyek yang disponsori UNESCO yaitu Higher Educations for Competitiveness Project (HECP). HECP ini dikemudian hari berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Liberasi semakin tampak terang, terbukti dari salah satu indikator kuncinya adalah pembangunan struktur hukum yang koheren pendukung efektivitas otonomi kelembagaan (baca: privatisasi). Privatisasi dalam pendidikan ini akan berbentuk BHP. Regulasi pemBHPan semua institusi pendidikan di Indonesia itu diperintahkan pada pemerintah Indonesia agar disahkan paling lambat tahun 2010. Untuk membiayai proyek liberalisasi, otonomisasi, atau lebih lugasnya privatisasi dan komodifikasi pendidikan Indonesia itu, dilancarkanlah Loan Agreement – IBRD – no. 4789-IND dan Development Credit Agreement – IDA – no. 4077-IND Schedule 4. Dua perjanjian itu tidak lain dan tidak bukan adalah perjanjian hutang untuk membiayai IMHERE dengan besaran total US$ 98.267.000,-.
Sementara itu di Indonesia pasca reformasi, tepatnya pada tahun 2003, rezim Megawati (yang mengaku reformis juga) melahirkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) no. 20 tahun 2003. Beberapa hal kontroversial di dalamnya termasuk kewajiban rakyat untuk mengongkosi biaya pendidikan (Pasal 9), “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Pasal ini membingungkan karena membuat rancu mengenai ada di tangan siapa tanggungjawab penyediaan sumber daya pendidikan? Apakah bukan lagi tanggungjawab pemerintah, sehingga dilempar ke rakyat? Mengapa kini jadi rakyat yang wajib mengongkosi pendidikan mereka sendiri? Dukungan sumber daya ini juga bisa ditafsirkan sangat luas, mulai dari pendanaan, penyediaan fasilitas, sampai guru yang harus digaji. Sedangkan pada pasal 53 ayat (1) UU yang sama menyebutkan, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan (BHP).
Kembali ke WTO, badan yang bermarkas di AS ini di tahun 2005 menelurkan General Agreement of Trade and Services (GATS) alias kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan. Disana secara lebih eksplisit, pendidikan dimasukkan sebagai salah satu lingkup usaha atau industri. Sehingga pendidikan bukan lagi bidang sosial kemanusiaan tanggungjawab pemerintah melainkan ajang jual beli di pasar. GATS ini langsung ditandatangani Indonesia pada tahun yang sama, 2005. Ya, pemerintah Indonesia yang katanya telah melalui reformasi ternyata sebenarnya tak ada bedanya dengan rezim fasis orde baru. Rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meneruskan rezim Soeharto itu, melahirkan regulasi pengaman bagi invasi kapitalisme ke pendidikan di Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) no. 76 dan no. 77 tahun 2007. Kedua Perpres yang dikeluarkan mantan ajudan Soeharto itu menyatakan bahwa pendidikan (di Indonesia) termasuk sektor terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal 49%. Tiga tahun kemudian, dikeluarkanlah pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. PP ini mengesahkan keterlibatan pihak asing dan juga membolehkan penarikan pungutan ke orang tua peserta didik. Regulasi-regulasi ini kemudian diperkuat dengan regulasi lain yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan (RPP PPP). RPP PPP yang harusnya mengacu pada UU BHP ini malah dikeluarkan lebih dahulu daripada UU BHP. Tampaknya RPP PPP ini dirancang pemuka liberalisasi pendidikan dan penyokong UU BHP sebagai pengecoh publik (yang saat itu ramai menentang RUU BHP). Terbukti hal menyangkut penanaman modal asing di RUU BHP dihapus tapi ternyata kehadiran lembaga pendidikan asing diakomodasi RPP PPP ini.
Puncak liberalisasi pendidikan ini terjadi pada 17 Desember 2009 lalu, dimana RUU BHP disahkan. Meski rakyat dari berbagai elemen termasuk buruh, tani, mahasiswa, akademisi, wartawan, menentang UU BHP, pemerintah tetap melenggang saja dengan menutup mata dan telinga dari teriakan rakyat. Rakyat yang telah memilih mereka. Rakyat yang telah memberikan kepercayaannya pada mereka sehingga pemerintah bisa duduk di kursi kekuasaan. Rakyat yang ditipu kampanye manipulatif dan janji-janji kosong. Rakyat yang katanya berdaulat untuk menentukan pemimpinnya. Kedaulatan rakyat ternyata tak lebih dari omong kosong karena kedaulatan hanya ada di bilik-bilik pemilihan umum (pemilu). Selebihnya dipegang penguasa. Rakyat bahkan tak punya daya upaya terhadap wakil dan pemerintah yang dipilihnya, meski pemerintah itu pun telah berkhianat.
BAHAYA KOMERSIALISASI PENDIDIKAN KHUSUSNYA UU BHP PADA RAKYAT
            UU BHP yang menjadi pamungkas liberalisasi dan komodifikasi pendidikan Indonesia menyimpan beberapa bahaya yang mengancam rakyat Indonesia. Bahaya-bahaya itu tersebar berupa pasal-pasal komersil dan ayat-ayat kapitalis dalam UU BHP. Pertama, UU BHP negara melepas tanggung jawab untuk mendanai pendidikan rakyat.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 40 ayat (1) berbunyi:
Pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kalimat yang dicetak tebal diatas sekali lagi menimbulkan keambiguan antara tanggung jawab pemerintah dan tanggung jawab rakyat. Pemerintah bisa saja lepas tangan ketika diprotes rakyat dan menuntut tanggung jawabnya dalam pendanaan pendidikan. Rakyat yang merasa dirugikan karena dari hari kehari pendidikan kian mahal tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pemerintah bisa saja berkelit atau berdalih, “Bukankah pendidikan tanggung jawab bersama?” Kalau sudah begitu buat apa rakyat membayar pajak kalau semua hal, termasuk pendidikan harus rakyat sendiri yang bayar?
Padahal itu berkontradiksi dengan pasal lanjutannya atau UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 40 ayat (4) yang berbunyi:
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggungjawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Nah, sekarang mari kita lihat ke UUD 1945 kita.
UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (1) berbunyi:
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”
UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (2) berbunyi:
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
Ini berarti semua lapisan rakyat harus harus dibiayai penuh untuk mengakses pendidikan dasar. Dengan begitu, melalui pendidikan dasar ini, pemberantasan buta huruf seharusnya dilakukan secara massif dan menyeluruh baik di Indonesia Barat, Tengah, maupun di Timur sampai belahan bumi Papua. Tapi nyata-nyatanya pembangunan sekolah di banyak daerah, terutama desa dan wilayah terpencil, termasuk Indonesia Tengah dan Timur masih minim. Banyak kisah siswa SD harus menyeberangi sungai, mendaki bukit, menuruni lembah, menembus hutan, untuk sampai di sekolah. Sementara di sisi lain pemerintah malah menggencarkan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang biaya pendirian dan penyelenggaraannya sebenarnya bisa untuk mendirikan dan membiayai 10 sekolah biasa. Harusnya pemerintah memprioritaskan pembangunan sekolah secara menyeluruh, bukan membangun sekolah-sekolah yang kualitas dan tarifnya membumbung tinggi sehingga mendiskriminasikan rakyat. Tapi mari itu kita kesampingkan dulu. Sekarang mari kita cermati, sudahkan pemerintah berkomitmen menyediakan pendanaan bagi pendidikan?
UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (4) berbunyi:
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Rezim SBY rupanya mencoba melakukan propaganda tipu-tipu pada rakyat. Pada pidato kenegaraan SBY tentang APBN 2009, presiden yang pemerintahannya kini digoyang skandal bank century ini menyatakan bahwa anggaran pendidikan telah naik. “Anggaran pendidikan telah meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 78,5 trilyun pada tahun 2005, menjadi Rp 154,2 trilliun pada tahun 2008. Bahkan, alhamdullilah, untuk tahun anggaran 2009, di tengah krisis harga minyak dan pangan dunia yang berdampak pada perekonomian kita, kita telah bisa memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.” Katanya, sebagai itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan membantu pengadaan gedung, beasiswa, kompetensi, dan kesejahteraan guru, dan sebagainya. Dana itu akan dialokasikan APBN yang jumlah total besar APBNnya adalah Rp 1.122,2 trilliun. Namun seharusnya 20% anggaran itu berjumlah Rp 224,4 trilliun. Kalau kita cermati anggaran untuk Depdiknas sebesar Rp 52 trilliun ditambah Rp 46,1 trilliun untuk meningkatkan penghasilan guru dan peneliti. Jika ditambahkan dengan anggaran Departemen Agama (Depag) sebesar Rp 20,7 trilliun maka didapatkan angka Rp 118,8 trilliun (10,58%). Jika anggaran Depdiknas yang dijadikan parameter besarnya anggaran sektor pendidikan, ini masih berkisar di anggaran tahun 2008 yaitu Rp 48,4 trilliun (9,8%). Kesimpulannya, anggaran pendidikan tahun 2009 bukan 20% melainkan hanya 4,63% dari APBN.
Gaji guru jelas tidak bisa dimasukkan alokasinya dari anggaran pendidikan, karena U Sisdiknas sendiri sudah mengatur dengan jelas. Mari kita cermati.
UU Sisdiknas Bagian Keempat, Pengalokasian Dana Pendidikan, Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
“Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”
Ini lebih detil lagi pada ayat lanjutannya,
UU Sisdiknas Bagian Keempat, Pengalokasian Dana Pendidikan, Pasal 49 ayat (2) berbunyi:
“Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Jadi harusnya Gaji guru dan dosen diatur terpisah dengan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD. Dengan demikian rezim SBY telah melakukan kebohongan besar.

UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 41 ayat (4) berbunyi:
“Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
Kuota 1/3 tangungan biaya pendidikan ini tidak jelas. Karena berlawanan dengan propaganda sekolah gratis (SD-SMP) gratis, disini pendidikan menengah hanya ditanggung 1/3 itupun ditanggung bersama dengan pemerintah daerah. Tidak ada jaminan apakah 1/3 itu sudah cukup untuk menutup kebutuhan sekolah dan studi siswa.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 41 ayat (5) berbunyi:
Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 41 ayat (6) berbunyi:
“Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit ½ (seperdua) biaya operasional pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan
Sekali lagi pasal ini merupakan ambiguitas akan peran dan tanggung jawab pemerintah. Ya, pemerintah dengan BHPP. BHPP disini dimaksud adalah sekolah atau perguruan tinggi. Pertanyaannya adalah darimana BHPP mendapatkan subsidi dan dana? Tentu saja dari pemerintah. Nah, disini tidak jelas 1/3 pembagian antara 1/3 (atau ½ dengan BHPP Perguruan Tinggi) antara pemerintah dengan BHP seperti apa. Kalau pemerintah memutuskan hanya memberi dana 1% saja, maka sisanya harus ditanggung sendiri oleh BHP. Entah dengan cara meminta uang dari donatur, mencari sponsor (dengan memasukkan korporasi untuk berbisnis di sekolah), membuat usaha bisnis, ataupun cara paling mudah yaitu dengan kembali melakukan pungutan kepada orang tua peserta didik.
Kedua, UU BHP menodai misi sosial dan kemanusiaan pada dunia pendidikan  dengan visi kapitalis (kontradiksi antara nirlaba dan bisnis).
UU BHP Bab II Fungsi, Tujuan, dan Prinsip Pasal 4 ayat (1) berbunyi:
Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan harus ditanamkan kembali ke badan hukum pendidikan.

Ini jelas berkontradiksi dengan pasal-pasal lain dalam UU BHP. Di satu sisi, BHP didorong untuk bersifat nirlaba, namun di sisi lainnya BHP didorong untuk melakukan kegiatan bisnis melalui pasal-pasal berikut.
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 42 ayat (1) berbunyi:
“Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.”
UU BHP Bab VI Pendanaan Pasal 43 ayat (1) berbunyi:
“Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan
Tidak tanggung-tanggung, BHP didorong untuk berbisnis baik melalui pembukaan badan usaha maupun investasi protofolio alias penanaman saham. Bagaimana mungkin nirlaba yang bersifat sosial bersanding dengan badan usaha yang berorientasi laba. Jelas dorongan berbisnis kelak akan mengalahkan pelaksanaan pendidikan, karena tenaga akan tersedot untuk mencari tambahan uang (karena pemerintah sudah mengurangi tanggung jawabnya).
Ketiga, UU BHP menghapus guru dan industrialisasi pendidikan
UU BHP  Bab VIII Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 55 ayat (3)
“Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat perjanjian kerjasama dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/ atau anggaran rumah tangga.”
Dengan demikian nasib guru makin tidak jelas, baik guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS. Karena nasib mereka tidak lagi mengacu pada UU No. 14 tentang Guru dan Dosen, melainkan diserahkan ke BHPnya masing-masing. Ini akan mengubah sekolah jadi pabrik dan hubungan antara BHP dan guru (termasuk dosen) menjadi hubungan majikan-buruh. Gaji, jaminan kesejahteraan, kontrak, uang pensiun, dan hal lain menyangkut nasib guru yang semula dijamin negara akan dilokalisir menjadi kontrak-kontrak antara guru dengan BHP tempat dia dipekerjakan.
Selain itu UU BHP ini juga menghapuskan kosakata guru dan sekolah. Menggantinya dengan BHP dan pendidik serta tenaga pendidikan saja. Padahal kata sekolah dan guru memiliki makna filosofis yang lebih besar daripada BHP dan tenaga pendidikan yang lebih mirip perusahaan dan buruh. Aroma industrialisasi atau juga bisa disebut korporatisasi pendidikan ini kian jelas karena mayoritas dari istilah-istilah yang muncul dan jadi bahasan dalam UU BHP ini lebih mendekati istilah bisnis daripada istilah pendidikan. Lebih lengkapnya lihat tabel berikut.

Istilah-Istilah yang muncul dalam UU BHP
1
BHP
14
Keuntungan
27
Organ audit bidang akademik
2
BHPP
15
Sisa keuntungan dibagi
28
Organ audit
3
BHPD
16
Biaya
29
Organ penentu kebijakan umum
4
BHPM
17
Dewan Audit
30
Laporan keuangan tahunan BHP
5
Nirlaba
18
Fungsi Audit
31
Administrasi dan laporan keuangan tahunan BHP
6
Investasi portofolio
19
Modal Usaha
32
Aktiva dan pasiva
7
Tata kelola
20
Biaya Investasi
33
Pembayaran hutang
8
Organ representasi pemangku kepentingan
21
Usaha komersial
34
Pailit
9
Kekayaan
22
Transparansi
35
Harta kekayaan
10
Pemisahan kekayaan pendiri
23
Akuntabilitas publik
36
Pembubaran
11
Ketenagaan (bukan guru/dosen)
24
Kepuasan publik
37
Penggabungan
12
Fungsi audit
25
Layanan prima
38
Pelunasan hutang
13
Modal usaha
26
Organ pengelola
39
Likuidasi

Kalau kita kaji baik-baik, ini istilah yang lebih sering dipakai pada perusahaan, bank, lembaga keuangan, dan transaksi-transaksi perdagangan. Ya, istilah-istilah bisnis memang. Sedangkan istilah pendidikan tidak muncul sama sekali. Tidak ada satupun pembahasan mengenai bagaimana peran pendidikan dalam pencerdasan bangsa, bagaimana pendidikan turun ke bawah menyikapi dan menjawab permasalahan kerakyatan dan kemanusiaan, bagaimana kewajiban pendidikan dalam melawan kemiskinan, bagaimana mewujudkan pengembangan intelektual sehingga membawa masyarakat indonesia pada penggunaan logika berpikir, mengikis takhayul, serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan rakyat banyak, dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang demokratis (merata dinikmati semua kalangan rakyat dari Sabang sampai Merauke), logis, ilmiah dan berakar pada kehidupan serta kebutuhan riil, dan membangun kemandirian bangsa. Hal-hal macam ini tidak muncul sama sekali dalam regulasi-regulasi pendidikan yang dikeluarkan mulai zaman pasca-soekarno atau era fasis orde baru sampai era reformasi, atau tepatnya kita sebut era orde terbaru.
Padahal kalau kita mau berkaca pada sejarah, para pendahulu bangsa Indonesia selalu memperjuangkan pendidikan bagi rakyat. Mulai dari Kartini yang mendirikan kelas-kelas kecil dengan biaya cuma-cuma. pada tahun 1903 bagi kepentingan para gadis dengan frekuensi empat kali seminggu. Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri pada tahun 1904 (kemudian berubah jadi Keutamaan Istri). Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Selain itu Semaoen dan Tan Malaka juga membuka Sekolah Rakjat pada 21 Juli 1921. Sekolah-sekolah diatas didirikan oleh para pendahulu bangsa ini dengan sikap dan tujuan yang jelas, berpihak pada rakyat dan memajukan kemanusiaan. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, pendidikan diarahkan untuk pembentukan karakter bangsa yang merdeka. Untuk itu pendidikan juga bertujuan menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Prinsip Indonesia saat itu adalah Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) alias membangun kemandirian bangsa, serta berkepribadian.
Alangkah berbeda sekali kondisi tersebut dengan berpuluh-puluh tahun kemudian di masa kini. Betapa cita-cita luhur itu dikhianati. Soeharto naik ke tampuk kekuasaan bukan hanya dengan melawati genangan darah lebih dari tiga juta rakyat dan lawan-lawan politiknya, melainkan dengan menggadaikan kekayaan-SDA di Indonesia serta menjungkirbalikkan tatanan yang ada termasuk tatanan pendidikan ke arah fasis-kapitalistik. Tambang-tambang dibagi-bagi ke negara asing, pendidikan diarahkan ke kepentingan pasar. Bahkan itu dilakukan oleh para penerusnya kini, termasuk rezim Megawati dan SBY. Mengapa hal itu terjadi? Ya, sudah jelas. Karena semua elemen pemerintah yang kini berkuasa adalah komprador, kaki tangan kapitalis global, antek imperialis yang jadi anjing setia, patuh pada tuannya tapi selalu menggonggong bahkan menerkam rakyatnya!
Mereka dirampas haknya,
tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
Untuk membebaskan rakyat
Kenyataan sudah jelas pemerintah kita hari ini hanyalah penindas, sekarang sudah terang bahwa perlawanan kita tetap harus berlanjut, kawan-kawan. Perlawanan macam apa yang akan kita usung. Jelas karena ranah kita persma, maka kita harus melakukan perang wacana, melancarkan kontra-propaganda, menggencarkan pembangunan kesadaran ke masyarakat luas, khususnya mahasiswa dan umumnya rakyat menengah ke bawah terutama rakyat miskin. Perjuangan kita adalah perjuangan membangkitkan dan membangun kesadaran. Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri. Seberapa sering dalam sebulan kita mengadakan diskusi membedah kondisi masyarakat Indonesia secara umum dan pendidikan Indonesia secara khusus? Berapa kali kita melakukan pembacaan dan pencermatan UU BHP secara bersama-sama dalam suatu forum, baik di tingkat jurusan, fakultas, universitas, maupun di kalangan umum? Sudahkah media kita mengulas pendidikan Indonesia dan penindasan sistematis di dalamnya secara historis dan terperinci? Sudahkah wacana dalam media kita disebarkan ke mahasiswa dan masyarakat secara luas? Sudahkah wacana-wacana kita dipahami? Bagaimanakah masyarakat meresponnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk kita jawab dan sikapi. Dalam suatu perjuangan, perjuangan literasi atau perjuangan wacana harus berakar di kalangan rakyat. Kita tidak bisa berhenti di belakang meja atau di depan monitor komputer saja. Kita tidak bisa bersikap elitis dan tidak mau berbaur dengan rakyat. Perjuangan tidak mungkin diwujudkan hanya oleh segelintir golongan, termasuk oleh Pers Mahasiswa. Sejarah mencatat bagaimana perubahan yang diperjuangkan mahasiswa selalu jatuh ke tangan yang salah. Tahun 1966 melempar kekuasaan ke rezim fasis Soeharto, tahun 1971 terjebak pertikaian antara dua jenderal, dan tahun 1998 gagal membersihkan orde baru. Kita harus belajar dari sejarah. Kita harus mengambil pelajaran dari pengalaman. Mahasiswa tidak bisa berjuang sendiri, termasuk Pers Mahasiswa sebagai bagian dari elemen perjuangan mahasiswa. Pers Mahasiswa harus bersatu dengan semua elemen rakyat, bersama dengan buruh, tani, guru, wartawan, dan kaum miskin lainnya. Bersama, bergerak berjuang menentang komersialisasi pendidikan pada khususnya dan penindasan rezim pada umumnya.
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar,
Bunda relakan darah juang kami,
Padamu kami berbakti, padamu kami mengabdi
(Darah Juang)

0 komentar:

Posting Komentar

Download Buletin

Populer Post

 
Hak Cipta : Komite Pusat - Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik SGMK Kota Parepare | ' | AR. Ame' FB
Copyright © 2013. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik Parepare - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by RED LEFT