Sukarno,
Marxisme dan Leninisme
SML_FIN
Peter
Kasenda
Kumpulan
tulisan dalam buku ini adalah hasil pergumulan, perdebatan dan rajutan
gagasan-gagasan sejarah gerakan kiri di Indonesia selama sembilan tahun,
dimulai sejak 1999 hingga 2008. Tulisan-tulisan dalam buku ini ditulis ketika
saya mengajar di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Universitas Bung Karno
serta Yasnaya Polyana Padepokan Filosofi dan Pondok Tani, Purwokerto.
Sebenarnya era Reformasi ini, saya menulis 50 makalah lebih makalah dan ada 10 makalah
yang berkaitan dengan sejarah gerakan kiri di Indonesia. Akan tetapi, hanya
enam makalah saja yang sesuai dengan kepentingan penerbitan buku ini.
Melalui
kumpulan tulisan ini, saya berharap dapat memberikan sumbangan pengetahuan
sejarah gerakan kiri di Indonesia. Saya beruntung memperoleh kesempatan untuk
mengarungi ranah ilmu pengetahuan yang kemudian memberikan kontribusi bagi
kemajuan intelektual saya. Ilmu pengetahuan tidak pernah netral dan pengandaian
obyektivitas dalam ilmu dapat terus dipertanyakan. Ada keberpihakan dan
perlawanan dalam sejarah setelah Orde Baru dikarenakan runtuhnya narasi-narasi
yang berkaitan dengan sejarah gerakan kiri di Indonesia dan lebih menjadi
wacana dalam ruang publik. Sejarah versi Orde Baru telah dikontruksi sesuai
dengan semangat zaman. Maka, sejarah alternatif pun ditampilkan.
Peristiwa 1965
Peristiwa 1965
Pertama
kali saya menulis sejarah gerakan kiri di Indonesia adalah ketika saya
berbicara seputar peristiwa 1965 di depan mereka yang pernah menjadi korban
Orde Baru, yang bernaung dalam Paguyuban Korban Orde Baru ( Pakorba) pada 1
Oktober 1999 di gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Lewat forum
tersebut, saya mengenal banyak orang yang menjadi tahanan politik tanpa melalui
proses pengadilan. Mereka dituduh sebagai pendukung Gerakan 30 September, yang
membunuh sejumlah jenderal TNI-AD. Pernyataan bahwa PKI mengorganisasi G30S
bagi rezim Soeharto bukan sekadar fakta biasa, tetapi menjadi sumber pokok
keabsahan rezimnnya.
Menurut
versi resmi, karena PKI dipandang sebagai satu-satunya dalang dari peristiwa
keji tersebut, maka sudah selayaknya ratusan ribu anggota PKI di mana pun
mereka berada dikejar dan dibunuh secara beramai-ramai Pantas pula peristiwa
yang terjadi pada 30 September 1965 itu disebut G30S/PKI dengan penekanan pada
“PKI”nya karena PKI merupakan pelaku utama. Juga tepat jika istilah yang
dipakai adalah Gestapu (Gerakan September 30). PKI juga layak ditumpas karena
sebelumnya telah dua kali “memberontak“ (1926/1927 dan 1948) dan ingin
menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis yang ateis.
Tak
dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk
mengarahkan atau bahkan memproduksi opini publik dan ingatan akan apa yang
terjadi pada 1965 menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula,
misalnya saja penggunaan istilah G30S/PKI. Meskipun sebenarnya dalang
sesungguhnya dari pembunuhan para jenderal itu belum jelas – atau bahkan justru
anggota militer – tetap saja istilah tersebut digunakan dengan maksud untuk
memojokan PKI. Bahkan penggunaan istilah Gestapu tampak sekali sengaja
dilakukan untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI
itu dengan polisi rahasia Jerman, Gestapo yang terkenal kejamnya
Sampai
penghujung rezim Soeharto pada 1998, pemerintah dan pejabat militer Indonesia
menggunakan ‘hantu“ PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala
pembangkangan. Kata-kaca kunci dalam wacana rezim itu adalah “bahaya laten
komunisme“. Agen-agen tersembunyi dari Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) senantiasa
mengendap, siap merongrong pembangunan ekonomi dan tertib politik. Pembasmian
PKI yang tak kunjung usai, sungguh-sungguh merupakan rasion d”etre (alasan
keberadaan) bagi rezim Soeharto. Landasan hukum asli yang dipakai rezim ini
untuk menguasai Indonesia selama lebih dari 30 tahun adalah perintah Presiden
Sukarno pada 3 Oktober 1965 yang memberi wewenang Soeharto untuk “memulihkan
ketertiban“. Perintah itu dikeluarkan dalam situasi darurat, tapi bagi Soeharto
situasi darurat ini tidak pernah berakhir, Kopkamtib yang dibentuk pada masa
itu tetap dipertahankan sampai akhir kekuasaan (dengan penggantian nama menjadi
Bakorstranas pada 1998).
Rezim
Soeharto mempertahankan “bahaya laten komunisme“ dan menyandera Indonesia dalam
keadaan darurat terus-menerus. Komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya
Soeharto. Rezim Soeharto tidak dapat membiarkan komunisme mati karena ia
menetapkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme atau lebih tepat
dengan citra khayali “komunisme “.
Peristiwa
G30S telah menyebabkan Presiden Sukarno menjadi obyek tuduhan bahwa dirinya
telah mendalangi peristiwa tersebut dan muncul aksi-aksi yang menuntut agar
Sukarno ditangkap dan diadili di hadapan Mahmilub. Disamping itu, anggota
parlemen yang mengikat diri dengan Orde Baru menuntut agar Presiden Sukarno
dipecat dari jabatannya dan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi
atas pertimbangan –pertimbangan politik, penangkapan Sukarno tidak saja
menyebabkan para pendukungnya bersatu untuk membelanya tetapi tindakan itu juga
akan menimbulkan kesan – benar atau salah – bahwa Orde Baru itu tidak sah,
tidak layak, dan merupakan perbuatan sewenang-wenang dari golongan militer ;
sebuah resiko politik yang Soeharto tidak berani memikulnya.
Mengenai
Peristiwa G30S dalam keterangan tertulis (yang dikenal sebagai pelengkap Pidato
Nawaksara) pada 19 Januari 1967 merupakan jawaban atas nota pimpinan MPRS,
Sukarno menyatakan bahwa (1) G30S adalah compelete over rompelling bagi
dirinya; (2) Dalam Pidito 17 Agustus 1966, Presiden Sukarno telah mengutuk
Gestok (Gerakan 1 Oktober) ; (3) Kata Gestok digunakan oleh Sukarno karena
pembunuhan kepada jenderal-jenderal dan ajudan serta pengawal terjadi pada 1
Oktober pagi-pagi sekali dan ( 4 ) Peristiwa G30S itu ditimbulkan oleh tiga
sebab hasil temuannya, yaitu kekeliruan pimpinan PKI, kelihaian subversi
Nekolim dan adanya oknum-oknum tidak benar .
Laporan
Soeharto di hadapan MPRS mengenai keterlibatan Sukarno dalam kudeta Untung,
mencerminkan dengan jelas keinginan agar Presiden Sukarno tidak diadili.
Soeharto menyimpulkan bahwa Presiden Sukarno “ tidak tahu dengan pasti “kapan
Untung akan melancarkan aksinya dan bagaimana bentuk aksi tersebut. Oleh sebab
itu, Sukarno tidak boleh dianggap sebagai organisatoris, dalang dan partisipasi
dari Gerakan 30 September, sebagaimana diisyaratkan oleh Memorandum Parlemen 9
Februari, dan terhadapnya tidak dapat dikenakan hukuman. Pada 12 Maret 1967,
MPRS mencabut kembali mandatnya sebagai presiden dan melarangnya melakukan
kegiatan politik sampai dilansungkan Pemilu. Kemudian Sukarno menjadi tahanan
politik di negeri yang ia perjuangkan sejak muda. Ia meninggal dunia sebelum
Pemilu 1971 berlangsung.
Kendati
Sukarno telah tiada, ajaran-ajarannya tetap saja menghantui ingatan orang.
Lihat saja Megawati Sukarnoputri, memperoleh sejumlah rintangan dari formasi
tertentu dalam negara ketika ada dukungan dari arus bawah yang begitu kuat
terhadapnya untuk menjadi nomor satu partai berlambang kepala banteng. Meskipun
Megawati Sukarnoputri terpilih menahkodai kapal wong cilik yang tersingkir dari
derap pembangunan, guncangan pun tak surut sehingga kapal pun pecah dan ada dua
nahkoda. Salahsatu alasan tindakan kurang terpuji itu dilakukan karena khwatir
kebangkitan marhaenisme dianggap sebagai ideologi penantang terhadap kemampanan
pemerintah menjalankan pembangunan bernunsa kapitalisme.
Sebenarnya
kata marhaenisme sudah lama tidak terdengar dan sudah jarang pula orang
mengenal makna kata itu. Marhaenisme pernah menjadi isitilah popular ketika
Sukarno berada di puncak kekuasaannya. Begitu Sukarno surut dari panggung
politik, lambat laun kata itu jarang terdengar. Marhaenisme dan Sukarno
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan karena marhaenisme adalah
rumusan pertama yang dicetuskan oleh Sukarno. Sebagai asas partai, marhaenisme
berakhir dengan berfusinya PNI ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada
1975. Ada sejumlah organisasi masyarakat yang berazaskan marhaenisme seperti
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Gerakan Wanita Marhaenis (GWM).
Tetapi dengan berlakunya Pancasila sebagai asas tunggal, marhaenisne tidak
boleh digunakan lagi sebab asas organisasi. Hanya Gerakan Rakyat Marhaen (GRM)
yang tetap mempertahankan Marhaenisme sebagai asas organisasi masyarakat.
Kemudian eksistensi GRM tidak diakui.
Di
era Reformasi, terdapat sejumlah partai politik dan organiasi masyarakat
berlambang kepala banteng yang mempunyai hubungan ideologis dengan Sukarno.
Adanya yang secara langsung menyebut dirinya sebagai marhaenis, di antaranya
PNI Front Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh
Marhaenis, dan Keluarga Besar Marhaenis. Kendati mereka diperbolehkan berdiri,
pemerintahan BJ Habibie memaparkan kata marhaenisme dengan nada yang perlu
diwaspadai sehingga menimbulkan sanggahan dari orang yang menyatakan dirinya
marhaenis.
Istilah
marhaenisme dan marhaen disebut-sebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI
yang didirikan pada Juli 1927. Namun, secara resmi istilah marhaen memperoleh
definisi dalam pidato pembelaan Sukarno, Indonesia Menggugat, dihadapan
Pengadilan Kolonial Belanda di Bandung pada 1930. Sukarno menyatakan pergaulan
hidup marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum
petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum marhaen adalah
yang semuanya kaum kecil. Di sini Sukarno mencoba membedakan secara tajam
antara konsep marhaennya dengan konsep proletarian dari kaum sosialis Barat,
terutama komunis. Jika struktur masyarakat Eropa telah melahirkan kaum buruh
sebagai golongan tertindas atau proletar, sebaliknya masyarakat Indonesoia yang
belum industrialis mempunyai kaum marhaen yang juga sengsara dan melarat.
Disebut juga, dalam tulisan Sukarno, Marhaen dan Proletar, yang dimuat dalam
Fikiran Rakyat pada 1933, marhaen tidak hanya mengacu pada kaum petani miskin,
tetapi mencakup kaum proletar dan kaum melarat lainnya. Oleh karena itu,
marhaen lebih luas dari proletar karena ia mencakup segala macam kaum melarat
lainnya. Kendati demikian, di dalam perjuangan, kaum proletar memainkan peranan
penting karena kaum proletar telah mengenal cara produksi kapitalisme – di alam
perjuangan antikapitalisme dan imperialisme itu berjalan sebagai pelopor.
Bagi
Sukarno, rakyat miskin merupakan padanan mesianik dari proletariat dalam
pemikiran Karl Marx. Artinya, mereka ini merupakan kelompok yang sekarang lemah
dan terampas hak-haknya, tetapi nantinya ketika digerakan dalam gelora revolusi
akan mampu mengubah dunia. Meskipun demikian, konsep marhaen sebagaimana yang
dipahami oleh Sukarno, mirip sekaligus berbeda dengan konsep proletariat milik
Marx. Sebagaimana kaum proletariat, kaum marhaen itu miskin, berada di lapisan
bawa masyarakat dan jumlahnya jutaan. Berbeda dengan kaum proletar Marx, kaum
marhaen itu tidak bekerja untuk orang lain dan mereka memiliki “alat produksi
“nya sendiri, seperti misalnya cangkul dan tanah garapan.
Marxisme,
Leninisme dan Marxisme-Leninisme
Sebenarnya
Marxisme diperkenalkan secara resmi ke Hindia Belanda pada 1914, bersamaan
dengan berdirinya Indische Sociaal Democratosche Vereeninging (ISDV), yang
menancapkan akar pertamanya kuat-kuat di tanah Hindia Belanda Serikat ini
merupakan organisasi sosialis pertama yang berdiri di Asia Tenggara. Para
pendirinya adalah sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh Hendricus
Josephus Francscus Marie Sneevliet yang datang ke Jawa pada 1913 dan bekerja
sebagai pemimpin redaksi harian Soerabajasch Handelsblad. Melalui majalah Het
Vrije Word, paham sosialisme mulai disebarkan. Tetapi ternyata orang-orang
Indonesia menganggap itu sebagai organisasi bangsa asing.
Untuk
mendapatkan pengikut di kalangan bumiputera, Sneevliet mengembangkan suatu
metode inflitrasi baru, yaitu teknik bloc within – dengan keanggotaan dua
partai. Banyak anggota ISDV menyelundup ke dalam tubuh SI. Sebaliknya,
aktivis-aktuivis SI juga menjadi anggota ISDV. Bahkan orang-orang seperti
Semaoen, Dharsono, Alimin Prawirodirdjo, dan Tan Malaka menjadi tokoh sekaligus
pimpinan kedua organisasi yang berlainan paham itu.
ISDV
menjadi lebih radikal setelah berdirinya Soviet Rusia pada 1917. Pada waktu
yang bersamaan, anggota-anggota pengurus dari Belanda berangsur-angsur
meninggalkan organisasi ini karena dibuang oleh Pemerintah Belanda. Karena itu,
pada 1919, Semaoen dan Dharsono diangkat menjadi pimpinan ISDV menggantikan
Sneevliet (yang berdiam di Kanton sebagai Commintern dan berhubungan dengan
Commintern Sun Yat Sen). Sebelumnya, sebagai anggota SI Semarang pada 1918,
keduanya telah diangkat pula menjadi anggota pengurus pusat SI di Surabaya.
Semoen
dan Dharsono berhasil mempengaruhi SI untuk bergeser ke arah kiri. Kongres SI
Ketiga pada 29 Oktober 1918 di Surabaya memutuskan menentang pemerintah selama
tindakannya melindungi kapitalisme; pegawai pemerintah dianggap sebagai alat
penyokong kepentingan kapitalis. Dalam kongres itu ditetapkan tuntutan
peraturan sosial buruh seperti upah minimum, maksimal jam kerja, dan lain-lain
untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang .
Pada
1918, Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di negeri Belanda berubah
menjadi Partai Komunis Belanda dan menimbulkan niat yang sama di kalangan ISDV.
Jadi, dalam kongres ketujuh Mei 1920, terbentuklah Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda (PKH) dengan Semaoen sebagai ketuanya. Dengan dengan, organisasi
ini melibatkan diri pada Commintern yang berpusat di Moskow. Kebijakan yang
ditetapkan Commintern bagi anggota-anggotanya (partai-partai komunis) adalah
boleh bekerja sama dengan kaum borjuis nasional dalam usaha menumbangkan
kekuasaan imperialis. Itulah sebabnya di Hindia Belanda dibentuk Persatuan
Pergerakan Kemerdekaan Rakyat, yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan SI.
Akan
tetapi, segera terlihat bahwa persatuan itu tidak dapat bertahan karena
masing-masing organisasi memegang teguh ideologinya sendiri. Pemimpin PKI
dituduh mendahulukan kepentingan revolusi dunia ketimbang kepentingan Indonesia
oleh para pemimpin SI yang antikomunis, sedangkan PKI menuduh SI mengabdikan
diri pada Pan-Islamisme dan bukan pada penderitaan yang dihadapi rakyat
Indonesia. Tetapi sebenarnya yang menjadi permasalahan dalam perdebatan ini
ialah perjuangan kekuasaan dalam gerakan itu
Pertumbuhan
golongan kiri dalam lingkungan SI waktu itu semakin berbahaya sebab walaupun
banyak orang meninggalkan SI karena putus asa, mereka yang masih di dalam
organinisasi menjadi radikal. Depresi ekonomi menambah kemelaratan rakyatserta
keresahan di kalangan kaum buruh dan tampaknya kaum komunis, apabila dibiarkan
saja, mungkin akhirnya akan menguasai gerakan itu.
Ada
keinginan dari rekan-rekan Tjokroaminoto agar SI melaksanakan disiplin partai,
yaitu agar jangan membolehkan anggota partai lain ikut dalam perkumpulan
mereka. Barulah ketika Tjokroaminoto berada dalam penjara karena Peristiwa
Garut, duet Agus Salim – Abdul Moeis menguasai persidangan Kongres Nasional SI
keenam di Surabaya dan berhasil melaksanakan disiplin partai kepada golongan
komunis. Dengan demikian, anggota-anggota komunis dikeluarkan dan untuk pertama
kalinya mereka mulai berkembang sendiri sebagai sebuah gerakan massa.
Perpecahan
antara PKI dan SI sangat memperlemah perjuangan kemerdekaan. Yang tertinggal di
SI terbagi dalam cabang “putih” dan “ merah “ , dengan kelompok SI “merah”
patuh pada PKI dan mengubah nama menjadi Sarekat Rakyat (SR) serta menjadikan
organisasi massa yang utama Penjelasan sebagian besar pengikut SI yang tertarik
pada PKI adalah karena PKI merupakan suatu tantangan yang bersifat militan
terhadap Belanda dan rakyat tidak akan lagi tertarik apabila tidak ada aksi. SI
lebih banyak “asap daripada api“ karena perkumpulan ini lebih banyak bersifat
pawai ketimbang gerakan revolusioner dan memang akan lenyap seperti gerakan
ratu adil di masa-masa lampau.
Setahun
kemudian, Tjokroaminoto menulis buku Islam dan Sosialisme ( 1924). Tulisan
Tjokroaminoto bertujuan untuk “ membuat perhitungan ” dengan ideologi
sosialisme. Ia menyatakan dengan bahwa seorang Islam dengan sendirinya adalah
sosialis. Maksudnya, jika kita kaum muslim, kita sudah pasti kaum sosialis.
Baginya, sosialisme sebagai cita-cita kemasyarakatan sejalan dengan Islam
sepanjang bertujuan untuk memperbaiki nasib golongan manusia miskin yang
terhitung banyak, yakni agar mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan
derajat manusia. Namun ia menyadari bahwa sosialisme bukan hanya sel-sel
ekonomi, tetapi juga mengandung ajaran filsafat tertentu.
Pemerintah
mencabut hak mengadakan pertemuan hampir di seluruh Indonesia untuk PKI, SR dan
kebanyakan organisasi buruh yang berada di bawah pengawasan komunisme. Tidak
diragukan lagi bahwa tindakan ini telah menyebabkan gagal membangun kontak yang
efektif antarkaum komunis dengan persatuan-persatuan buruh. Akibatnya, urutan
strategis pemogokan tidak berjalan sesuai dengan yang sudah dijawalkan.
Ditahannya hampir semua pemimpin buruh yang terlibat dalam pemogokan
besar-besaran di Surabaya pada tahun 1925, telah memaksa Partai Komunis bekerja
di bawah tanah dan kehilangan pemimpin-pemimpin yang paling hebat .
Komunisme
menunda revolusi sehingga baru pecah pada malam 12 November 1926. Menurut
rencana, revolusi akan dicetuskan pertama kali di Padang, tapi ternyata pecah
di Batavia, pemberontakan di daerah Padang baru muncul dua bulan kemudian dan
setelah huru-hara di Jawa benar-benar dipadamkan.
Pemberontakan
1926/1927 sebenarnya lebih merupakan suatu tindakan putus asa daripada suatu
percobaan yang dianggap merebut kekuasaan /” Kami menanggap adalah lebih baik
berjuang daripada mati tanpa berjuang ,” demikian yang dikatakan oleh salah
seorang pemimpin PKI kepada Komunis Internasional. Pemberontakan itu dengan
mudah ditumpas oleh pemerintah karena organisasi komunis pada waktu itu sudah
begitu dilemahkan oleh tindakan polisi dan tekanan-tekanan anarkis sehingga
pemberontakan itu tak terkoordinasi dan lokal sifatnya, namun demikian, ini
merupakan bukti betapa meluas dan mendalamnya rasa tidak puas orang Indonesia.
Akan tetapi, pemerintah tidak menanggapi peringatan itu dengan perubahan.
Malahan, sebagai cerminan dari suasana revolusioner waktu itu, pemerintah
melakukan penindasan secara besar-besaran. PKI hancur dalam proses tersebut,
sebuah kamp konsentrasi diadakan di sebuah daerah terpencil di Boven Digoel,
dan banyak kaum pemberontak, kader-kader komunis pemberontak serta kader-kader
komunis mengakhiri hidup mereka di sana. Pemerintah jajahan memilih untuk tidak
melarang PKI sebagai organisasi yang mengancam keamanan dan ketertiban. Hukuman
yang dianggap lebih sesuai adalah menangkap para pemimpinnya dan membuang
mereka tanpa proses pengadilan.
Dengan
ditumpasnya usaha pemberontakan pada 1926/1927, PKI terpaksa bergerak dibawah
tanah. Banyak pemimpinnya lari keluar negeri seperti Musso, Alimin, dan Semaoen
yang pergi ke Rusia, berusaha mengorganisasi partai dari seberang laut,
sementara yang ditangkap adalah yang mengorganisasi gerakan bawah tanah atau
bergerak aktif dengan anggota partai atau organisasi massa.
Dari
luar negeri, usaha mengorganisasi kembali PKI berjalan terus. Pada April 1935,
Musso kembali dan di Surabaya ia membentuk PKI bawah tanah (PKI illegal). Di
samping itu, Tan Malaka juga mengorganisasi gerakan bawah tanah. Akan tetapi,
karena gerakannya sangat terbatas akibat dari kewaspadaan Politiek Inlichingen
Dienst (PID) dari Pemerintah Kolonial Belanda maka pengaruhnya sangat terbatas
dalam masyarakat. Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang PKI Ilegal
melibatkan diri dalam gerakan bawah tanah. Walaupun dalam pengorganisasian
cukup baik, Jepang mengetahui gerakan mereka sehingga Amir Sjarifuddin serta
para pemimpin lainnya ditangkap pada 1943 dan akibatnya menyingkir kembali ke
luar negeri.
Pada
22 Oktober 1945, PKI muncul kembali di bawah pimpinan Muhammad Jusuf. Jusuf
tidak memiliki hubungan dengan PKI bawah tanah juga tidak dengan PKI yang
sebelumnya mencetuskan pemberontakan pada 1926-1927
Sebelum
Mei 1946, kelanjutan dan wibawa partai itu sangat kecil perkembangannya dan
keadaan ini baru berubah setelah pemimpin komunis zaman dahulu, Sardjono,
kembali dari Australia menggantikan Jusuf sebagai ketua. Sardjono memimpin
dengan baik dan dapat meningkatkan partai itu, baru pada 1948 PKI dapat
mengejar yang sudah dicapai oleh PNI, Masyumi atau Partai Sosialis Indonesia.
Pada
tahun yang sama, terjadi Peristiwa Madiun. Pada 18 September 1948 pagi hari,
Pesindo mengambilalih instalasi-instalasi vital di Madiun atas instruksi
pemimpin nasionalnya, Sumarsono. Bersama dengan Briagde 29 TNI (sebelumnya Biro
Perjuangan pro FDR), mereka menangkap dan membunuh perwira-perwira terkemuka
yang pro-pemerintah di Madiun; termasuk hampir seluruh staf yang direncnakan
menjadi Dvisi Jawa Timur dalam TNI hasil rasionalisasi. Pada jam 10 pagi, Radio
Madiun mengumumkan dibentiknya suatu pemerintahan Front Nasional bagi
Kresidenan Madiun, dikepalai oleh Sumarsono sebagai gubernur militer. “
Pemberontakan “ masih pada tingkat kudeta daerah walaupun Sumarsono rupanya
telah memberikannya dampak secara nasional – melalui radio – dengan mendesak
agar contoh revolusioner diikuti seluruh Indonesia. Tidak dapat disangsikan
bahwa semuanya terkejut dan khawatir, kecuali Musso, saat mendengar aksi
Sumarsono.
Pagi
hari pada 19 September, pemimpin-pemimpin PKI di Yogyakarta ditangkap.
Kebanyakan dari mereka termasuk anggota Sarekat Umum, seperti Tan Liang Djie,
yang tidak tahu menahu tentang kejadian di Madiun. Malam di hari yang sama,
Sukarno menyatakan perang kepada PKI dalam salahsatu pidatonya yang paling
pedas. Seraya mengutip dari apa yang dikatakan merupakan petunjuk FDR dari apa
yang dikatakan merupakan petunjuk FDR dari Februari 1948, ia menyatakan bahwa
kekacauan di Solo dan kudeta di Madiun merupakan bagian suatu rencana jahat
untuk mengganti republik dengan suatu pemerintah Soviet dibawah Musso.
Setelah
Pemerintah RI mengakui kembali eksitensi PKI, partai tersebut mempunyai
kesempatan untuk beraktivitas secara legal. Sikap pemerintah itu memberikan
dampak yang liuas terhadap tokoh-tokoh PKI. Mereka yang menghilang sejak Peristiwa
Madiun 1948, mulai keluar dari persembunyiannya. Pada September 1949, Alimini
Prawirodirdjo yang dihormati sebagai “ the great old man gerakan komunis di
Indonesia “ muncul di Yogyakarta. Kemunculan aktivis 1920-an itu sungguh di
luar dugaan dan menjadi berita mengejutkan. Hal ini disebabkan di masa itu
kabar yang tersiar menyebutkan Alimin tewas selama aksi di Madiun. Dengan
kemunculan Alimin, menunjukkan bahwa sikap pemerintah untuk tidak melarang PKI
mendapat respon positif dari mereka.
Persoalan
pertama yang dihadapi PKI adalah hancurnya struktur partai akibat Peristiwa
Madiun, aktivis banyak yang terbunuh serta tidak sedikit yang masih mendekam di
penjara; konsekuensi lainnya yakni citra buruk partai. Itulah kenyataan
obyektif yang ditemui Alimin. Begitu partai berada di bawah kendalinya, sebagai
langkah awal ia menghimpun kembali kekuatan komunis yang tercerai-berai.
Alimin
mulai melakukan upaya-upaya konkret guna menghapuskan citra buruk partai. Ia
cenderung membangun kembali partai sebagai partai kecil, tetapi sangat selektif
dan mempunyai posisi yang kuat dengan dukungan kader yang cakap. Alimin juga
menghendaki sebagai partai kader, dengan menerapkan taktik inflitrasi yang
cukup jitu ; ia memerintahkan kepada para kader untuk memasuki organisasi
kepemudaan, buruh, petani, dan lain-lain.
Pada
7 Januari 1952, terjadi suksesi kepemimpinan dalam partai. Aidit mengambilalih
posisi Alimin, guru politiknya sendiri. Dalam susunan politbiro tampak dominasi
golongan muda seperti Aidit, Lukman, Sudisman, sedangkan golongan tua diwakili
Alimin. Tampilnya kepemimpinan golongan muda, terutama sosok Aidit, telah
memberikan catatan-catatan tersendiri. Mereka mengembangkan corak yang khas
bagi partai. Hasil-hasil yang dicapai PKI dalam Pemilu 1955 maupun Pemilu daerah
1957 adalah bukti bahwa garis politiknya tepat dan diterima.
Presidenlah
yang dengan gigih berkampanye untuk memasukan PKI ke dalam kabinet pascapemilu
dan selalu menegaskan bahwa ia tidak akan menunggangi “kuda berkaki tiga”,
yaitu sebuah pemerintahan yang hanya mewakili tiga dari empat pemenang utama
Pemilu, yaitu PNI, Masyumi dan NU. Presiden selalu saja membela PKI setiap kali
partai itu mendapat serangan. Oleh karena itu, larangan-larangan Angkatan
Bersenjata terhadap aktvis-aktivis PKI atau kelompok-kelompok front mereka
selalu diimbangi dengan tuduhan komunis-phobia dari presiden.
Hubungan
presiden dengan PKI adalah salahsatu yang paling rumit dan ruwet dari segala
macam manuver politik. Dari kutipan tulisan Sukarno dan pidato-pidatonya
terbukti bahwa kekuatan dan latarbelakang intelektual Sukarno lebih banyak
dibentuk oleh berbagai sumber sosialis dan menunjukkan minat yang besar
terhadap pemikiran-pemikiran yang berbau marxisme-leninisme. Akan tetapi, juga
ada bukti dari perilaku politiknya selama beberapa tahun bahwa komitmen
terbesar presiden adalah pandangan –pandangan nasionalisnya.
Ini
barangkali bisa menjelaskan mengapa meskipun terjadi Peristiwa Madiun, presiden
tampaknya menganggap bahwa bersama dengan orang-orang komunis dan orang Indonesia
lainnya, nasionalisme harus didahulukan ; dan bahwa ideologi apapun yang
mengganti cita-cita nasionalis harus diabaikan. Atau mungkin juga, Sukarno
tidak pernah menganggap PKI memiliki peluang yang lebih besar daripada
kelompok-kelompok politik lainnya untuk mendapatkan kedudukan yang bisa
menentang wibawa presiden. Apapun alasannya, ketika PKI mulai menabuh genderang
perang untuk merebut kekuasaan, Sukarno memilih untuk tidak melawan kekuasaan
komunis tersebut.
Dengan
memberikan dukungan kepada ideologi dan struktur politik Sukarno, meanggungkan
pernan nasionalnya dan setuju untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan
nasionalnya, serta menarik golongan komunis ke arah akomodasi yang leboih jelas
terhadap tradisi, Sukarno dan PKI memperoleh dukungan yang kuat dari lapisan
masyarakat yang sama kelas bawah di daerah perkotaan yang terperangkap di
antara pengaruh tradisi dan pengaruh modern; secara lebih mendalam, dari
kalangan golongan abangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merindukan
kesamaan dan janji-janji tentang kehidupan yang lebih baik. Tidak terlalu
berlebihan untuk mengatakan baik Sukarno maupun PKI menyuarakan kebutuhan dan
kepentingan lapisan masyarakat tersebut.
Walaupun
terdapat persamaan antara kedua ideologi atau kepentingan milik Sukarno dan
PKI, ada konflik yang terselubung di antara keduanya dalam hal tujuan yang
ingin dicapai. Jika Sukarno berusaha untuk menggabungkan massa orang-orang Jawa
dengan massa suku lainnya menjadi satu kesatuan yang secara sosial bersifat
konservatif dan dipimpin oleh para pemimpin mereka maka golongan komunis ingin
memobilisasi massa untuk menumbangkan kesatuan sosial yang diinginkan oleh
Sukarno. Jelas bahwa dukungan PKI bagi Sukarno ditujukan untuk memperoleh ruang
gerak dan berguna sebagai penyeimbang terhadap kekuatan Angkatan Darat.
Akhirnya,
PKI merasa lebih baik untuk memisahkan diri dari konsensus dan pola
neotradisional untuk mencegah tertutupnya kemungkinan memperoleh kekuasaan jika
Sukarno meninggal dunia atau mengundurkan diri. Suatu keuntungan bagi golongan
komunis bahwa pada September1963 perjuangan anti-imperialisme yang dilancarkan
Sukarno mempercepat terjadinya konflik langsung dengan Federasi Malaysia yang
didukung oleh angkatan bersenjata Inggris. Indonesia dikuasai oleh radikalisme
yang menyala-nyala, yang ditujukan oleh Sukarno yang hebat dibandingkan dengan
orang lain. PKI merumuskan suatu strategi “offensif revolusioner “ untuk
memojokan dan menghancurkan kekuatan anti-komunis serta membuang rantai yang
menghambat mereka untuk ikut serta dalam pemerintahan.
Sebenarnya
keseimbangan antara Sukarno, tentara, dan PKI sebagai segitiga kekuatan terus
bergeser dan berubah bentuk dari semula. Soekarno dan tentara menjadi unsur
pokok dan kekuatannya agak seimbang. Dengan sejumlah kelihaian, satu tangan
Sukarno memegang PKI yang memerlukan perlindungannnya dan tangan lainnya
memegang tentara yang ragu dan tidak mempunyai kepastian tujuan. Ia berhasilkan
menempatkan diri pada posisi sentral yang unggul dan memainkan dua kekuasaan
lain dalam suatu keseimbangan. Hingga kemudian segitiga ini berubah lagi
bentuknya, dimana posisi tentara agak merosot dan PKI naik hampir mendekati
tingkat puncak Sukarno. Ada yang mengatakan bahwa apabila Sukarno meninggalkan
panggung politik, tidak menolak kemungkinan bahwa PKI akan berkuasa dan tentara
akan memberlakukan PKI sebagai musuh. Ini menjadi pertanyaan apakah hal
tersebut menjadi awal mulanya peristiwa G30S.
Luka-Luka
Sejarah
Pengunduran
diri Soeharto pada 1998 berpengaruh dalam upaya menelaah kembali kontruksi sejarah
resmi peristiwa 1965. Narasi peristiwa 1965 menjadi lebih bervariasi ; bila
dulu peristiwa ini hanya dikontruksi dari sudut pandang rezim Orde Baru maka
kini sebaliknya, kontruksi sejarah peristiuwa 1965 dari perspektif Orde Lama
mulai mengemuka. Perubahan itu antara lain ditandai dengan beredarnya buku-buku
terkait peristiwa 1965 yang di masa kekuasaan rezim Soeharto dilarang, ditambah
memoar, otobiografi, dan biografi baik yang ditulis oleh eks-eks tapol 1965
maupun pihak lain. Selain buku-buku, terdapat juga bentuk lain seperti laporan
jurnalistik, diskusi dan seminar publik, pementasan teater serta pameran seni
rupa.
Perubahan
lain juga tampak dalam kebijakan politik pemerintah. Semasa dua presiden
setelah Soeharto, yakni BJ Habibie dan Abdurrachman Wahid, wacana resmi tentang
komunisme telah berubah. Di masa Habibie, meski setengah hati, terjadi empat
poin berkaitan dengan sikap pemerintah terhadap wacana komunisme. Pertama,
pemerintah menghentikan penayangan film “ Pengkhianatan G30S/PKI “ yang rutin
ditayangkan Televisi Repubik Indonesia (TVRI) setiap 30 September. Kedua,
pemerintah membebaskan 10 tapol 1965 yang masih tersisa. Ketiga, pemerintah
tidak menolak pembentukan YPKP 65 ( Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 –
1966 ). Keempat, para aparat pemerintah menghentikan penggunaan retorika “
waspada terhadap ancaman / bahaya laten komunisme. “
Setelah
terpilih sebagai presiden, Abdurrachman Wahid mengajukan rekonsiliasi nasional.
Alasan di balik inisiatifnya berkenan dengan eks tapol dan keluarganya. (1)
Mengenai keputusannya memberi izin kepada para pengasingan politik Indonesia
untuk pulang kembali dan mendapatkan kembali kewargaan negara apabila mereka
sendiri menghendaki; (2) Mengenai keputusannya untuk membubarkan Badan
Koordinasi Pemulihan Stabilitas Nasional (Bakorstranas) dan menghentikan
praktik-praktik penelitian khusus (litsus); (3) Abdurrachman Wahid secara
pribadi menawarkan pernyataan permintaan maaf kepada para keluarga korban
pembantaian massal 1965 – 1966dan kepada mereka yang telah dipenjara tanpa
melalui proses peradilan ; dan (4) Abdurrachman Wahid mempunyai beberapa alasan
atas usulannya mencabut TAP MPRS No 25/1966 tentang pelarangan PKI dan ajaran
komunisme/marxisme/leninisme.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa masa lalu Indonesia, yaitu selama 32 tahun
pemerintahan Soeharto (1966 – 1998) merupakan rezim otoriter. Rezim itu sendiri
dibangun di atas pembasmian PKI dan pembunuhan-pembunuhan serta pemenjaraan
tanpa proses pengadilan terlebih dari satu juta kaum komunis atau yang dibunuh
sebagai komunis. Narasi masa lalu komunis bersifat berat sebelah. Nasari hanya
berisi tentang apa yang kaum komunis lakukan dan derita sebelum pecahnya
peristiwa 1965, tetapi narasi itu bungkam tentang apa yang kaum komunis derita
dan lakukan sesudah persitiwa tersebut terjadi.
Pembantaian
massal 1965 – 1966 menunjukkan resmi Orde Baru telah berlumuran darah dan
menoreh luka yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia. Pertanyaan adalah haruslah
sejarah buram itu kita lupakan dengan menyobeknnya begitu saja dari lembar buku
sejarah bangsa kita? Lalu. Bagaimana cara kita menyembuhkan luka itu sehingga
tumbuh sikap saling memaafkan dan melegakan semua pihak ?
Tanpa
beban masa lalu, seluruh bangsa kita membangun atau membangun kembali hubungan
yang tidak dibayangi oleh konflik-konflik dan kebencian hari kemarin. Ini suatu
kondisi dimana terjadi rasa saling percaya, baik secara horizontal maupun
vertikal, suatu kondisi semua pihak percaya bahwa tak seorang pun akan mengusik
koeksistensi damai yang dicapai. Ini juga suatu kondisi dimana semua pihak
sepakat untuk menutup “ buku masa lalu”. Di atas bukumasa lalu yang tertutup
inilah masa kini dibingkai kembali dan masa depan direncanakan bersama.
(Makalah ini dipresentasikan dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Sukarno,
Marxisme & Leninisme (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), yang diselenggarakan
di Freedom Institute pada tanggal 23 April 2014.)
0 komentar:
Posting Komentar