Internasionalisme Yang terlupakan Di Mayday
Puluhan hingga ratusan ribu buruh
diperkirakan akan turun pada May Day hari ini. Dalam 2 minggu terakhir,
banyak persiapan yang telah dilakukan oleh serikat-serikat buruh dan
organisasi-organisasi Kiri, yang mengfokuskan begitu banyak sumberdayanya
untuk hari besar ini. Begitu besarnya antisipasi May Day hari ini yang
diperkirakan akan sama besarnya dengan tahun lalu – atau bahkan lebih besar –
sampai-sampai media pers, pemerintah, dan pengusaha pun tidak bisa lagi
tak-acuh pada Hari Buruh ini. Liputan pers di hampir semua koran, majalah dan
TV; berbagai respon dari pemerintah, sampai-sampai SBY menjanjikan May Day
sebagai Hari Libur Nasional dan bertemu dengan para pemimpin buruh sebelum
May Day; banyak pabrik meliburkan buruhnya pada May Day, bahkan Universitas
Bhayangkara meliburkan kelas-kelas non-regulernya karena mahasiswanya yang
buruh; dan sejumlah pengusahapun mengiyakan May Day dan mencoba
“menfasilitasinya” dengan panggung hiburan.
Respon
serius dari para musuh kita – dalam hal ini musuh buruh adalah pengusaha dan
pemerintah – biasanya menunjukkan bahwa kekuatan kita sudah bukan lagi sesuatu
yang bisa diremehkan. May Day sudah menjadi peristiwa politik penting, dan
buruh patut berbangga akan pencapaian ini. Peningkatan persatuan buruh dan
tingkat perjuangan buruh – yang bisa dilihat dari slogan-slogan dan
tuntutan-tuntutan yang diusung buruh luas pada May Day ini – telah membawa
gerakan buruh ke babak selanjutnya. Buruh sudah tidak lagi berkutat pada
tuntutan sempitnya saja (masalah upah, outsourcing, dan sistem kerja
kontrak), tetapi telah bergerak melewati gerbang pabriknya dengan tuntutan-tuntutan
seperti menentang RUU Kamnas, tolak kenaikan BBM, dan jaminan kesehatan untuk
rakyat. Dengan ini gerakan buruh mengikat nasib seluruh bangsa dengan
nasibnya, dan bergerak untuk menjadi pemimpin seluruh rakyat tertindas di
bumi Indonesia dan bergerak lebih mendekati slogan “Buruh Berkuasa Rakyat
Sejahtera”.
Ini adalah
kemajuan kualitatif bagi gerakan buruh. Namun di tengah hingar bingar May Day
ini ada satu aspek May Day yang luput, yakni internasionalisme. May Day
digagas pada 1889 di Kongres Internasional Kedua di Paris.
Internasional Kedua saat itu adalah sebuah organisasi internasional yang
beranggotakan partai-partai buruh massa di Eropa, yang tujuan utamanya adalah
menyatukan buruh sedunia untuk tujuan revolusi sosialis. Dengan menggagas Hari
Buruh Internasional, dimana seluruh buruh sedunia akan berdemonstrasi pada
hari yang sama, para pencetus May Day ini ingin mempersiapkan kekuatan buruh
sedunia, merapatkan barisan buruh ke dalam sebuah organisasi kelas buruh
internasional yang revolusioner, yakni Internasional Kedua. Namun dalam
perjalanannya, May Day perlahan-lahan menjadi bersifat nasional, dimana
semangat internasionalismenya semakin memudar dan solidaritas internasional
hanya menjadi ujar-ujaran tanpa arti serius. Semangat persatuan buruh
internasional tidak lagi dibangun secara sadar, serius, dan konsisten.
Mungkin
kita akan bertanya? Apa pentingnya persatuan buruh internasional ini?
Bukankah tiap-tiap bangsa cukup membangun kekuatan revolusionernya sendiri?
Sejarah berkata lain. Internasional Kedua, yang mencetuskan Hari Buruh
Internasional, karena melalaikan tugas membangun semangat internasionalisme
buruh, akhirnya jatuh pada sosial-patriotisme. Ketika para kapitalis
memutuskan untuk melakukan perang (Perang Dunia I pada 1914), partai-partai
buruh jatuh ke dalam sentimen nasionalisme sempit dan mendukung negaranya
masing-masing untuk berperang. Hasilnya: 16 juta nyawa rakyat pekerja pupus,
dan ratusan juta lainnya kehidupannya hancur karena perang. Bila saja
semangat internasionalisme buruh tinggi dan kokoh, gerakan buruh bisa melawan
sentimen nasionalisme sempit dan menghentikan Perang Dunia I dengan melakukan
pemogokan umum. Kalau buruh sedunia bersatu mogok menolak perang,
pemerintahan kapitalis dan pemilik modal tidak akan punya satupun serdadu
yang bisa mereka kirim ke garis depan; tidak akan ada senjata yang bisa
terproduksi kalau buruh mogok; minyak yang dibutuhkan untuk kapal perang dan
tank akan mengering karena buruh migas mogok. Perang Dunia II pun terjadi
karena tidak adanya internasionalisme buruh yang kokoh, yang bisa mengatakan
kepada buruh bahwa musuh mereka bukanlah buruh lain dari negeri lain, tetapi
kapitalis seluruh dunia. Bukan sembarangan Karl Marx mengatakan “Buruh
Sedunia Bersatulah”, yang sayangnya telah menjadi ujaran kosong bagi banyak
pemimpin buruh.
Selain
perang – sebagai contoh ekstrim, internasionalisme buruh yang lemah juga
dapat membawa konsekuensi-konsekuensi lainnya yang dapat merugikan perjuangan
buruh. Saat krisis finansial memukul sejumlah negeri di Uni Eropa, respon
yang dengan mudah terbangun di kalangan massa buruh luas adalah “Ini karena
pekerja Yunani (atau Spanyol, atau Italia) malas, tidak produktif, hidup
foya-foya, dan makan gaji buta.” Buruh dari berbagai negeri jadi saling
menyalahkan dalam krisis kapitalisme global ini, dan ini tidak memajukan
perjuangan buruh sama sekali dalam melawan krisis ini. Inilah yang justru
diinginkan oleh kelas penguasa. Nasionalisme sempit adalah alat yang paling
ampuh untuk menelikung kesadaran kelas buruh, dan secara efektif adalah musuh
paling besar bagi buruh.
Hari ini,
dengan tidak adanya lagi sebuah organisasi massa buruh internasional
sekaliber Internasional Kedua dan Ketiga, gerakan buruh seluruh dunia
mengalami kesulitan besar untuk menyatukan buruh dalam semangat
internasionalisme. Sungguh ironis justru ketika pada masa sekarang dimana
kapitalisme semakin mengglobal, dimana sekarang mayoritas negeri – tidak
hanya Eropa saja – punya batalion buruh yang besar, semangat
internasionalisme buruh ada pada titik terendahnya. Satu-satunya
internasionalisme yang tersisa pada Hari Buruh Internasional adalah kenyataan
bahwa demo-demo buruh “kebetulan” terjadi pada saat yang sama di seluruh
permukaan bumi. Tidak ada usaha serius dan konkrit dari para pemimpin buruh –
serikat maupun partai – untuk menyatukan kekuatan buruh sedunia, bahkan untuk
melawan krisis kapitalisme global yang begitu nyata, apalagi untuk revolusi
sosialis. Usaha terakhir untuk melakukan ini lahir dari ajakan almarhumah
Hugo Chavez untuk membentuk Internasional Kelima pada 2010. Tetapi ajakannya
tidak mendapat sambutan apapun dari para pemimpin serikat dan partai buruh.
Mengeluh
saja tidak menyelesaikan masalah. Kita harus mulai membangun semangat
internasionalisme ini setahap demi setahap. Tidak perlu kita muluk-muluk
dengan segera mencoba membentuk sebuah organisasi massa buruh internasional,
atau lebih konyol lagi mencetak lebih banyak spanduk yang berkata-kata
“internasional” untuk May Day ke depan. Langkah pertama harus diambil oleh
lapisan buruh yang paling sadar dan maju, yakni dengan memahami pentingnya
internasionalisme dalam gerakan buruh. Ini bukan dengan usaha-usaha dangkal
melakukan relasi dengan serikat-serikat buruh luar negeri. Ini dimulai dengan
pemahaman perspektif politik internasional, dengan memahami bahwa perspektif
revolusi Indonesia tidak akan lengkap tanpa pemahaman perspektif revolusi
dunia. Seorang revolusioner yang serius mendefinisikan tugasnya dari sudut
pandang internasional, bukan karena nilai internasionalisme yang sentimental
tetapi karena kenyataan bahwa kapitalisme adalah internasional. Walaupun
untuk alasan-alasan praktikal kaum buruh harus mengorganisir diri mereka
sebagai sebuah kelas dengan negerinya sendiri sebagai panggung perjuangan
yang segera, isi sesungguhnya dari perjuangan kelas adalah internasional.
Cara berpikir seperti ini yang harus ditanamkan di antara bunga-bunga
terbaik proletar.
Setiap
usaha harus dilakukan untuk mengkaitkan isu-isu perjuangan lokal dengan
perspektif internasional, dan memberikan penjelasan politik dan ekonomi
mengenai peristiwa-peristiwa internasional. Setiap hari koran dan TV
menayangkan berita mengenai krisis ekonomi global, mengenai perang di
berbagai tempat, mengenai kejadian politik di negara-negara lain; buruh juga
banyak yang bekerja di pabrik-pabrik asing; jadi bukannya buruh sama sekali
tidak tahu mengenai isu internasional, tetapi banyak dari mereka yang belum
menemukan benang merah dari semua ini sehingga peristiwa-peristiwa ini lewat
begitu saja tanpa arti bagi kehidupan mereka.
Mungkin
akan ada ketakutan kalau buruh tidak bisa paham. Isu lokal dan nasional saja
banyak yang tidak paham, apalagi isu internasional. Tetapi yang awalnya tidak
paham akan menjadi paham kalau kita bekerja giat menjelaskan dengan sabar.
Kalau buruh tidak paham ketika kita menjelaskan konsep-konsep politik yang
tinggi, ini biasanya berarti kita sendiri belum paham, karena hanya orang
yang benar-benar paham yang dapat menjelaskan konsep rumit dengan bahasa yang
mudah. Seorang guru hanya bisa mengajar murid-muridnya kalau ia sendiri sudah
menjadi ahli dalam mata pelajaran tersebut, dan keahlian ini ia peroleh
dengan bertahun-tahun belajar di sekolah guru dengan sabar dan telaten.
Keahlian saja tidak cukup, dia juga harus punya kemampuan mengajar yang hanya
bisa didapat dengan praktek. Mungkin pada tahun pertama sang guru muda ini
kelimpungan dalam mengajar. Banyak muridnya yang sulit paham. Tetapi ini
bukan berarti sang guru lalu mengganti kurikulumnya, atau mencapai kesimpulan
bahwa sang murid terlalu bodoh. Tidak ada guru yang baik yang mengatakan
muridnya bodoh. Ia akan memperbaiki cara mengajarnya dan membaca ulang mata
pelajaran tersebut supaya ia benar-benar paham. Tahun berikutnya ia akan
menjadi guru yang lebih baik. Inilah sikap yang harus kita ambil.
Untuk
membentuk “guru-guru” internasional ini, yakni kader-kader buruh yang
berwawasan internasional, dibutuhkan sebuah organisasi yang juga berwawasan -
dan juga bercakupan - internasional. Organisasi ini adalah partai kader,
karena serikat buruh secara historis dan organisasional terbatas dalam
fungsinya. Serikat buruh biasanya bukan tempat yang memadai dan efektif untuk
mencetak kader-kader buruh yang berideologi revolusioner dan internasionalis,
dan lebih spesifiknya berideologi Marxisme. Serikat buruh bisa mengenalkan
buruh pada ideologi perjuangan kelas dasar, tetapi untuk tingkatan lebih
lanjut dibutuhkan organ partai, seperti halnya seorang guru biasanya harus ke
sekolah guru terlebih dahulu.
Partai
revolusioner ini harus membangun pondasi politiknya dari perspektif
internasional, tidak semata perspektif nasional saja. Ini tidak cukup dengan
hanya berhubungan dengan organisasi-organisasi Kiri di negeri lain, atau
menulis berita-berita mengenai pemogokan atau aksi massa di negeri A atau B.
Perspektif internasional harus menyatukan semua peristiwa dunia – termasuk
bangsa kita sendiri – dalam satu kerangka pemikiran dan analisa yang koheren,
yang lalu menjadi panduan revolusioner bagi kita untuk bergerak. Usaha ini
harus mulai dilakukan oleh Kiri di Indonesia secara serius, kalau tidak kita
akan mengulang lagi kekeliruan yang sama, yakni terjebak dalam perspektif
nasional yang sempit.
Mari kita
jadikan Hari Buruh Internasional ini sebagai pengingat akan pentingnya
semangat dan ideologi internasionalisme dalam perjuangan buruh, dan hidupkan
slogan “Buruh Sedunia Bersatulah” sebagai slogan yang riil dan nyata dalam
perjuangan buruh.
0 komentar:
Posting Komentar