photo hhhhhhhhiii_zps9dd37855.jpeg" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />
Home » » Diskusi Sosialisme di Unugaran

Diskusi Sosialisme di Unugaran

Diskusi Sosialisme di Unugaran

“Sudah cukup kita berkeluh kesah mengenai kesengsaraan yang disebabkan oleh kapitalisme. Kita sekarang harus mencari alternatif dari kapitalisme. Hari ini, saya akan berargumen bahwa sosialismelah satu-satunya alternatif dari kapitalisme,” ujar Ted Sprague, editor Militan Indonesia, ketika berbicara di depan lebih dari 50 mahasiswa teologi dari Semarang dan Ungaran. Kuliah umum yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teologi Abdiel pada tanggal 13 Februari ini dibuka dan dimoderasi oleh Pdt. Minggus, ketua STT Abdiel. Bertajuk “Keadilan Sosial dan Agama”, kuliah umum ini bertujuan mengupas apa yang bisa dilakukan oleh kaum rohaniwan, terutama kaum rohaniwan muda, untuk menjawab masalah kemiskinan dan kesengsaraan yang pelik di bumi Indonesia ini.
Kuliah umum ini diawali oleh kawan Ted, yang berbicara mengenai sosialisme sebagai sistem ekononi dan politik yang dapat menggantikan kapitalisme dan mewujudkan surga di muka bumi ini. Presentasi kawan Ted lalu disusul oleh Pendeta Rudolfus Antonius, yang mengupas sisi revolusioner dari KeKristenan.
Ted membuka presentasinya dengan mengajak kawan-kawan mahasiswa untuk membuka hatinya, karena tema yang ingin dikupasnya, yakni sosialisme, adalah sebuah tabu yang telah disebarkan oleh rejim kediktaturan Soeharto selama lebih dari 30 tahun. Untuk dapat memahami sosialisme dengan sesungguh-sungguhnya, tembok yang dibangun dengan batu-batu fitnah dan dusta oleh rejim penguasa Orba dan masih dilanjutkan oleh pemerintah kita sekarang ini, harus kita runtuhkan terlebih dahulu.
“Saya disini bukan untuk meyakinkan Anda semua di pihak mana kalian harus berdiri. Penghayatan iman yang sejati mengharuskan kalian untuk berpihak pada rakyat pekerja yang tertindas. Saya tidak perlu mengulangi apa yang harus menjadi tanggungjawab kaum rohaniwan dalam memerangi ketidakadilan. Yang ingin saya sampaikan disini adalah bagaimana memerangi ketidakadilan ini,” ujar Ted.
Agama bisa dan telah menjadi sumber kekuatan bagi banyak orang dalam kegigihan mereka untuk melawan penindasan. Banyak rohaniwan sejati yang berjuang untuk rakyat miskin, yang telah mengorbankan jiwanya. Tetapi tidak cukup hanya mempunyai keyakinan yang kuat. Kita harus tahu bagaimana cara berjuang melawan penindasan. Tidak cukup mengeluh mengenai kejamnya kapitalisme. Baruch Spinoza, filsuf materialis terkemuka, mengatakan: “I have made a ceaseless effort not to ridicule, not to bewail, not to scorn human actions, but to understand them.” (“Saya telah berusaha terus menerus untuk tidak mentertawakan, tidak meratapi, tidak mencemooh tindakan-tindakan manusia, tetapi memahami mereka.”)
Untuk mencari jawaban bagaimana mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi di dalam sistem kapitalisme, maka kita harus mengupas kapitalisme terlebih dahulu: bagaimana ia lahir dan berkembang, dan apa dasar-dasar sistem ekonomi ini. Ted menjelaskan kepada para hadirin bagaimana kapitalisme lahir dengan menumbangkan feodalisme yang sudah tidak progresif lagi dalam memajukan produksi (ekonomi). Kapitalisme memiliki sistem produksi yang jauh lebih unggul daripada feodalisme, dengan metode manufaktur yang barbasikan pabrik-pabrik ia mengalahkan metode pertanian feodal yang berbasiskan tanah. Revolusi Belanda, Inggris, dan Prancis (revolusi-revolusi borjuis) dari abad ke-16 sampai ke-18 susul menyusul menghantam sistem feodal di Eropa dan menegakkan kapitalisme. Revolusi-revolusi borjuis ini menegakkan hukum-hukum kapitalis: semangat kompetisi bebas, tenaga kerja yang mobile (lewat reforma agraria yang membebaskan kaum tani dari ikatan tanah mereka), sistem kerja-upahan, dan pembentukan negara-bangsa. Semua perubahan ini awalnya memberikan sebuah lompatan besar bagi peradaban manusia; tentunya lompatan yang juga disertai penindasan besar-besaran, namun jelas relatif lebih progresif daripada sistem feodalisme yang sudah usang.
Beberapa abad kemudian, yakni sekarang, kapitalisme telah kehilangan keprogresifannya. Ia telah menjadi batu penghalang bagi kemajuan umat manusia. Kita lihat saja Indonesia, dengan 20 juta penganggur terbuka dan 60 juta orang yang “terpaksa” bekerja di sektor informal (pedangan asongan, pemungut sampah, dsbnya.)  karena tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Ini menunjukkan bagaimana kapitalisme telah menyia-nyiakan potensi rakyat Indonesia. Belum lagi pengelolaan sumber daya alam yang serampangan demi laba sesaat.
Krisis finansial dunia baru-baru ini telah menunjukkan betapa tidak mampunya kaum kapitalis dalam mengatur perekonomian dunia. Mereka telah diberi waktu beratus tahun, dan punya kuasa penuh secara ekonomi dan politik, namun tetap saja mereka tidak mampu mensejahterakan rakyat. Justru mereka menciptakan krisis ekonomi terbesar dalam sejarah manusia. Ada seorang hadirin yang berpendapat kalau bangsa Indonesia akan makmur kalau rakyatnya mendapat pendidikan mengenai ekonomi, sehingga pintar berdagang. Namun kita lihat bagaimana ahli-ahli ekonomi terkemuka dunia di negara-negara paling maju (AS dan Eropa) saja tidak mampu menjalankan ekonomi dunia, malah menjeremuskannya ke dalam krisis. Jadi permasalahan bukan karena kurangnya pendidikan ekonomi. Permasalahannya adalah sistem ekonomi kapitalis itu sendiri.
Permasalahan terbesar dari sistem kapitalis adalah over-produksi, yakni sistem ini menghasilkan banyak produk yang tidak mampu dibeli oleh rakyat pekerja. Krisis kredit perumahan di Amerika, yang merupakan percik dari krisis finansial 2008, adalah over-produksi rumah, dalam kata lain rumah-rumah terbangun tetapi tidak ada rakyat Amerika yang mampu membelinya, sehingga mereka harus mengambil kredit perumahan (mortgage) yang bunganya tinggi, dan pada akhirnya tetap tidak mampu melunasinya. Kredit berjumlah trilyunan dolar yang tak mampu dilunasi inilah (atau bad credit) yang akhirnya meledak. Begitu juga yang terjadi di industri otomobil di Amerika (dan Kanada): begitu banyak mobil terproduksi tetapi mereka duduk saja di pelataran parkir showroom karena rakyat tidak mampu membelinya. Ini benar untuk semua komoditas. Bahasa ekonomi kerennya adalah low consumer confidence, atau tingkat kepercayaan konsumen yang rendah. Kasarnya, konsumen tidak punya uang sehingga tidak percaya diri kalau mampu membeli komoditas-komoditas tersebut. Lantas kalau tidak ada yang mampu membeli, pabrik harus ditutup. Pabrik tutup, rakyat menganggur. Rakyat menganggur, semakin tidak punya uang, semakin rendah daya belinya. Semakin rendah daya belinya, semakin banyak pabrik ditutup. Begitu terus sampai ekonomi tersendat dan krisis terjadi.
Untuk mengatasi ini, negara terpaksa memompa kapital ke perekonomian, dalam bentuk bailout dan paket-paket ekonomi lainnya. Pemerintah memberikan uang kepada kaum kapitalis agar mereka membuka pabrik-pabriknya. Hasilnya, anggaran negara mengalami defisit besar dan pengeluaran untuk program-program sosial harus dipotong. Inilah yang sekarang terjadi di hampir semua negara-negara besar. Rakyat harus menanggung akibat dari krisis ekonomi kapitalis.
Ketika kapitalis sudah tidak mampu lagi menjalankan perekonomian, maka hak sakral mereka atas kepemilikan alat-alat produksi harus direbut. Satu-satunya kelas yang bisa melakukan ini adalah kelas yang berseberangan dengan mereka, kelas yang dipekerjakan oleh kaum kapitalis untuk menghasilkan laba, kelas buruh. Inilah esensi dari sosialisme, penyitaan hak milik alat produksi oleh kaum buruh, untuk dijalankan oleh buruh secara demokratis demi kepentingan rakyat pekerja secara luas.
Ted menutup ceramahnya dengan merujuk pada sebuah kisah mukjizat Yesus Kristus: “Dua ribu tahun yang lalu, Yesus melakukan mukjizat memberi makan 5 ribu umatnya yang miskin dan lapar dengan 5 roti dan 2 ikan. Setelah mereka kenyang. masih tersisa berlimpah roti dan ikan: 12 keranjang roti dan ikan. Hari ini mukjizat tersebut masih kita perlukan karena jutaan rakyat Indonesia miskin dan lapar. Tetapi hari ini Yesus tidak ada di antara kita. Kitalah yang harus membuat mukjizat ini dengan tangan kita sendiri. Kekayaan yang berlimpah harus kita rebut dari segelintir kaum kapitalis yang kaya. Kali ini kita tidak hanya ingin roti dan ikan saja. Kita ingin pabrik roti, kita ingin ladang gandum, kita ingin perusahaan pelayaran, kita ingin seluruh laut Indonesia, kita ingin semuanya. Dengan nasionalisasi industri-industri yang mengatur hajat hidup orang banyak, maka kita akan dapat mengulangi mukjizat Yesus Kristus: memberi makan kenyang semua orang dan masih tersisa berlimpah makanan.”
Setelah ceramah dari Ted, Pdt. Rudolfus melanjutkan dengan mengupas dua sisi yang dimiliki oleh agama: sisi konservatif dan sisi revolusioner. Agama memilik karakter yang ambigu. Di satu pihak, ia telah digunakan oleh pihak penguasa dan para rohaniwan yang korup untuk mempertahankan rejim penguasa demi kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang. Di lain pihak, agama juga telah menjadi sumber perlawanan rakyat tertindas terhadap ketidakadilan. Banyak sekali kaum rohaniwan revolusioner yang memerangi ketidakadilan dan berpihak pada rakyat miskin. Jadi agama bukan sesuatu yang homogen. Ada agamanya kaum penindas, dan ada agamanya kaum tertindas. Pdt. Rudolfus mengajak kawan-kawan mahasiswa muda untuk memeluk agamanya kaum tertindas, yakni agama yang bersifat merakyat dan revolusioner, agama yang melayani kaum buruh dan tani.
Acara ini lalu ditutup dengan sesi diskusi dan tanya-jawab. Kawan-kawan mahasiswa antusias menanyakan apa yang perlu dilakukan oleh calon pendeta untuk bisa menjadi berani, apa gerakan mahasiswa bisa menjadi motor penggerak, kapan waktu yang tepat untuk revolusi, bagaimana menjangkau massa yang luas dengan gagasan revolusioner, dan lain sebagainya. Seorang hadirin menanyakan apakah hibah dari gereja dalam bentuk kredit mikro dapat menyelesaikan kemelaratan rakyat Indonesia. Ini dijawab tidak oleh Ted. Selama perekonomian masih bersifat kapitalisme, maka kredit mikro tidak akan menyelesaikan permasalahan ekonomi dasar rakyat. Justru kredit mikro ini menciptakan micro sweat-shops. Ted berpendapat lebih baik gereja menyumbangkan uangnya kepada gerakan, kepada serikat-serikat buruh guna membela hak-hak buruh dan mengorganisasi buruh-buruh yang belum berserikat. Setelah acara selesai, kawan-kawan mahasiswa yang antusias lalu membeli koran Militan Indonesia untuk bisa membaca lebih lanjut analisa-analisa dan gagasan-gagasan Militan.

0 komentar:

Posting Komentar

Download Buletin

Populer Post

 
Hak Cipta : Komite Pusat - Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik SGMK Kota Parepare | ' | AR. Ame' FB
Copyright © 2013. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik Parepare - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by RED LEFT