Diskusi Sosialisme di Unugaran
“Sudah
cukup kita berkeluh kesah mengenai kesengsaraan yang disebabkan oleh
kapitalisme. Kita sekarang harus mencari alternatif dari kapitalisme. Hari
ini, saya akan berargumen bahwa sosialismelah satu-satunya alternatif dari
kapitalisme,” ujar Ted Sprague, editor Militan Indonesia, ketika berbicara di
depan lebih dari 50 mahasiswa teologi dari Semarang dan Ungaran. Kuliah umum
yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teologi Abdiel pada tanggal 13
Februari ini dibuka dan dimoderasi oleh Pdt. Minggus, ketua STT Abdiel.
Bertajuk “Keadilan Sosial dan Agama”, kuliah umum ini bertujuan mengupas apa
yang bisa dilakukan oleh kaum rohaniwan, terutama kaum rohaniwan muda, untuk
menjawab masalah kemiskinan dan kesengsaraan yang pelik di bumi Indonesia
ini.
Kuliah
umum ini diawali oleh kawan Ted, yang berbicara mengenai sosialisme sebagai
sistem ekononi dan politik yang dapat menggantikan kapitalisme dan mewujudkan
surga di muka bumi ini. Presentasi kawan Ted lalu disusul oleh Pendeta
Rudolfus Antonius, yang mengupas sisi revolusioner dari KeKristenan.
Ted membuka presentasinya dengan mengajak
kawan-kawan mahasiswa untuk membuka hatinya, karena tema yang ingin
dikupasnya, yakni sosialisme, adalah sebuah tabu yang telah disebarkan oleh
rejim kediktaturan Soeharto selama lebih dari 30 tahun. Untuk dapat memahami
sosialisme dengan sesungguh-sungguhnya, tembok yang dibangun dengan batu-batu
fitnah dan dusta oleh rejim penguasa Orba dan masih dilanjutkan oleh
pemerintah kita sekarang ini, harus kita runtuhkan terlebih dahulu.
“Saya
disini bukan untuk meyakinkan Anda semua di pihak mana kalian harus berdiri.
Penghayatan iman yang sejati mengharuskan kalian untuk berpihak pada rakyat
pekerja yang tertindas. Saya tidak perlu mengulangi apa yang harus menjadi
tanggungjawab kaum rohaniwan dalam memerangi ketidakadilan. Yang ingin saya
sampaikan disini adalah bagaimana memerangi ketidakadilan ini,” ujar Ted.
Agama bisa
dan telah menjadi sumber kekuatan bagi banyak orang dalam kegigihan mereka
untuk melawan penindasan. Banyak rohaniwan sejati yang berjuang untuk rakyat
miskin, yang telah mengorbankan jiwanya. Tetapi tidak cukup hanya mempunyai
keyakinan yang kuat. Kita harus tahu bagaimana cara berjuang melawan
penindasan. Tidak cukup mengeluh mengenai kejamnya kapitalisme. Baruch
Spinoza, filsuf materialis terkemuka, mengatakan: “I have made a ceaseless
effort not to ridicule, not to bewail, not to scorn human actions, but to
understand them.” (“Saya telah berusaha terus menerus untuk tidak
mentertawakan, tidak meratapi, tidak mencemooh tindakan-tindakan manusia,
tetapi memahami mereka.”)
Untuk
mencari jawaban bagaimana mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi di dalam
sistem kapitalisme, maka kita harus mengupas kapitalisme terlebih dahulu:
bagaimana ia lahir dan berkembang, dan apa dasar-dasar sistem ekonomi ini.
Ted menjelaskan kepada para hadirin bagaimana kapitalisme lahir dengan
menumbangkan feodalisme yang sudah tidak progresif lagi dalam memajukan
produksi (ekonomi). Kapitalisme memiliki sistem produksi yang jauh lebih
unggul daripada feodalisme, dengan metode manufaktur yang barbasikan
pabrik-pabrik ia mengalahkan metode pertanian feodal yang berbasiskan tanah.
Revolusi Belanda, Inggris, dan Prancis (revolusi-revolusi borjuis) dari abad
ke-16 sampai ke-18 susul menyusul menghantam sistem feodal di Eropa dan
menegakkan kapitalisme. Revolusi-revolusi borjuis ini menegakkan hukum-hukum
kapitalis: semangat kompetisi bebas, tenaga kerja yang mobile (lewat reforma
agraria yang membebaskan kaum tani dari ikatan tanah mereka), sistem
kerja-upahan, dan pembentukan negara-bangsa. Semua perubahan ini awalnya
memberikan sebuah lompatan besar bagi peradaban manusia; tentunya lompatan
yang juga disertai penindasan besar-besaran, namun jelas relatif lebih
progresif daripada sistem feodalisme yang sudah usang.
Beberapa
abad kemudian, yakni sekarang, kapitalisme telah kehilangan keprogresifannya.
Ia telah menjadi batu penghalang bagi kemajuan umat manusia. Kita lihat saja
Indonesia, dengan 20 juta penganggur terbuka dan 60 juta orang yang
“terpaksa” bekerja di sektor informal (pedangan asongan, pemungut sampah,
dsbnya.) karena tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Ini
menunjukkan bagaimana kapitalisme telah menyia-nyiakan potensi rakyat
Indonesia. Belum lagi pengelolaan sumber daya alam yang serampangan demi laba
sesaat.
Krisis
finansial dunia baru-baru ini telah menunjukkan betapa tidak mampunya kaum
kapitalis dalam mengatur perekonomian dunia. Mereka telah diberi waktu
beratus tahun, dan punya kuasa penuh secara ekonomi dan politik, namun tetap
saja mereka tidak mampu mensejahterakan rakyat. Justru mereka menciptakan
krisis ekonomi terbesar dalam sejarah manusia. Ada seorang hadirin yang
berpendapat kalau bangsa Indonesia akan makmur kalau rakyatnya mendapat
pendidikan mengenai ekonomi, sehingga pintar berdagang. Namun kita lihat
bagaimana ahli-ahli ekonomi terkemuka dunia di negara-negara paling maju (AS
dan Eropa) saja tidak mampu menjalankan ekonomi dunia, malah menjeremuskannya
ke dalam krisis. Jadi permasalahan bukan karena kurangnya pendidikan ekonomi.
Permasalahannya adalah sistem ekonomi kapitalis itu sendiri.
Permasalahan
terbesar dari sistem kapitalis adalah over-produksi, yakni sistem ini
menghasilkan banyak produk yang tidak mampu dibeli oleh rakyat pekerja.
Krisis kredit perumahan di Amerika, yang merupakan percik dari krisis
finansial 2008, adalah over-produksi rumah, dalam kata lain rumah-rumah
terbangun tetapi tidak ada rakyat Amerika yang mampu membelinya, sehingga
mereka harus mengambil kredit perumahan (mortgage) yang bunganya tinggi, dan
pada akhirnya tetap tidak mampu melunasinya. Kredit berjumlah trilyunan dolar
yang tak mampu dilunasi inilah (atau bad credit) yang akhirnya meledak.
Begitu juga yang terjadi di industri otomobil di Amerika (dan Kanada): begitu
banyak mobil terproduksi tetapi mereka duduk saja di pelataran parkir
showroom karena rakyat tidak mampu membelinya. Ini benar untuk semua
komoditas. Bahasa ekonomi kerennya adalah low consumer confidence, atau
tingkat kepercayaan konsumen yang rendah. Kasarnya, konsumen tidak punya uang
sehingga tidak percaya diri kalau mampu membeli komoditas-komoditas tersebut.
Lantas kalau tidak ada yang mampu membeli, pabrik harus ditutup. Pabrik
tutup, rakyat menganggur. Rakyat menganggur, semakin tidak punya uang, semakin
rendah daya belinya. Semakin rendah daya belinya, semakin banyak pabrik
ditutup. Begitu terus sampai ekonomi tersendat dan krisis terjadi.
Untuk
mengatasi ini, negara terpaksa memompa kapital ke perekonomian, dalam bentuk
bailout dan paket-paket ekonomi lainnya. Pemerintah memberikan uang kepada
kaum kapitalis agar mereka membuka pabrik-pabriknya. Hasilnya, anggaran
negara mengalami defisit besar dan pengeluaran untuk program-program sosial
harus dipotong. Inilah yang sekarang terjadi di hampir semua negara-negara
besar. Rakyat harus menanggung akibat dari krisis ekonomi kapitalis.
Ketika
kapitalis sudah tidak mampu lagi menjalankan perekonomian, maka hak sakral
mereka atas kepemilikan alat-alat produksi harus direbut. Satu-satunya kelas
yang bisa melakukan ini adalah kelas yang berseberangan dengan mereka, kelas
yang dipekerjakan oleh kaum kapitalis untuk menghasilkan laba, kelas buruh.
Inilah esensi dari sosialisme, penyitaan hak milik alat produksi oleh kaum
buruh, untuk dijalankan oleh buruh secara demokratis demi kepentingan rakyat
pekerja secara luas.
Ted
menutup ceramahnya dengan merujuk pada sebuah kisah mukjizat Yesus Kristus:
“Dua ribu tahun yang lalu, Yesus melakukan mukjizat memberi makan 5 ribu
umatnya yang miskin dan lapar dengan 5 roti dan 2 ikan. Setelah mereka
kenyang. masih tersisa berlimpah roti dan ikan: 12 keranjang roti dan ikan.
Hari ini mukjizat tersebut masih kita perlukan karena jutaan rakyat Indonesia
miskin dan lapar. Tetapi hari ini Yesus tidak ada di antara kita. Kitalah
yang harus membuat mukjizat ini dengan tangan kita sendiri. Kekayaan yang
berlimpah harus kita rebut dari segelintir kaum kapitalis yang kaya. Kali ini
kita tidak hanya ingin roti dan ikan saja. Kita ingin pabrik roti, kita ingin
ladang gandum, kita ingin perusahaan pelayaran, kita ingin seluruh laut
Indonesia, kita ingin semuanya. Dengan nasionalisasi industri-industri yang
mengatur hajat hidup orang banyak, maka kita akan dapat mengulangi mukjizat
Yesus Kristus: memberi makan kenyang semua orang dan masih tersisa berlimpah
makanan.”
Setelah
ceramah dari Ted, Pdt. Rudolfus melanjutkan dengan mengupas dua sisi yang
dimiliki oleh agama: sisi konservatif dan sisi revolusioner. Agama memilik
karakter yang ambigu. Di satu pihak, ia telah digunakan oleh pihak penguasa
dan para rohaniwan yang korup untuk mempertahankan rejim penguasa demi
kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang. Di lain pihak, agama juga
telah menjadi sumber perlawanan rakyat tertindas terhadap ketidakadilan.
Banyak sekali kaum rohaniwan revolusioner yang memerangi ketidakadilan dan
berpihak pada rakyat miskin. Jadi agama bukan sesuatu yang homogen. Ada
agamanya kaum penindas, dan ada agamanya kaum tertindas. Pdt. Rudolfus
mengajak kawan-kawan mahasiswa muda untuk memeluk agamanya kaum tertindas, yakni
agama yang bersifat merakyat dan revolusioner, agama yang melayani kaum buruh
dan tani.
Acara ini
lalu ditutup dengan sesi diskusi dan tanya-jawab. Kawan-kawan mahasiswa
antusias menanyakan apa yang perlu dilakukan oleh calon pendeta untuk bisa
menjadi berani, apa gerakan mahasiswa bisa menjadi motor penggerak, kapan
waktu yang tepat untuk revolusi, bagaimana menjangkau massa yang luas dengan
gagasan revolusioner, dan lain sebagainya. Seorang hadirin menanyakan apakah
hibah dari gereja dalam bentuk kredit mikro dapat menyelesaikan kemelaratan
rakyat Indonesia. Ini dijawab tidak oleh Ted. Selama perekonomian masih
bersifat kapitalisme, maka kredit mikro tidak akan menyelesaikan permasalahan
ekonomi dasar rakyat. Justru kredit mikro ini menciptakan micro sweat-shops.
Ted berpendapat lebih baik gereja menyumbangkan uangnya kepada gerakan,
kepada serikat-serikat buruh guna membela hak-hak buruh dan mengorganisasi
buruh-buruh yang belum berserikat. Setelah acara selesai, kawan-kawan
mahasiswa yang antusias lalu membeli koran Militan Indonesia untuk bisa
membaca lebih lanjut analisa-analisa dan gagasan-gagasan Militan.
0 komentar:
Posting Komentar