Demokrasi Borjuis Menyengsarakan Kaum Buruh dan Rakyat
Miskin
|
|
Ditulis
oleh Jesus S. Anam
Rabu, 02
November 2011 23:05
Para ahli
politik sering mengatakan bahwa “demokrasi” yang ada sekarang ini adalah
sistem politik yang paling “demokratis”. “Anda diberi hak untuk memilih,”
katanya. “Anda diberi kebebasan untuk berbicara dan berorganisasi. Jika anda
ingin mengubah sesuatu, siapapun anda, boleh ‘duduk’ di kursi parlemen.”
Tetapi, ternyata, pada kenyataannya, tidak semudah itu. Semua yang diucapkan
itu sangat sulit ketika dipraktekkan oleh rakyat jelata. Biayanya sangat
besar. Jika ingin “duduk” di parlemen – atau untuk menjadi seorang kepala
daerah – haruslah memiliki uang yang jumlahnya milyaran.
|
Dalam demokrasi model seperti ini, kaum
berpunya, yakni kaum kapitalis, yang sebagian besar juga para pejabat negara,
dengan baju kearifan, menyimpan daya listrik yang kuat dan mematikan. Dengan
daya yang kuat dan mematikan itu mereka akan terus berusaha untuk bisa
menempati dan menguasai pos-pos penting. Dengan berbagai cara, mereka tidak
hanya ingin memegang kendali atas ekonomi, tetapi juga ideologi,
politik, hukum, budaya, dll.
Pos-pos
ekonomi adalah sumber paling penting bagi kapitalis; sebagai sumber utama
agar bisa memastikan kelanjutan kekuasaannya. Melalui kepemilikannya atas
perusahaan-perusahaan dan, atau, kontrolnya atas lembaga-lembaga keuangan,
para kapitalis akan bisa dengan mudah bertindak menurut kepentingannya.
Misalnya, membeli tenaga buruh dengan harga murah, memecat buruh, dan
mengusir ribuan manusia dari rumahnya.
Selanjutnya,
kaum kapitalis akan berusaha untuk bisa dominan secara ideologis, sebagaimana
kata Marx: “Ide-ide yang berkuasa di tiap-tiap jaman adalah ide-ide kelas
penguasa". Media-media raksasa, baik elektronik ataupun cetak, dimiliki
oleh para kapitalis. Ide-ide kapitalis juga disebarluaskan melalui
universitas-universitas dan lembaga-lembaga ilmu lainnya.
Hal
penting lainnya bagi kapitalis adalah bagaimana bisa mengontrol
lembaga-lembaga politik formal. Ini sudah jelas dan terang di Indonesia. Para
pejabat tinggi negara tak lain adalah para kapitalis. Mereka memiliki,
atau paling tidak, menguasai instrumen-instrumen penting, seperti modal
besar, media, jaringan, dll. Jika mereka tidak ingin secara langsung berada
di pos-pos politik formal tersebut, mereka akan membayar politisi-politisi
untuk mewakili mereka di pemerintahan. Bagaimana bisa mengintervensi sistem
hukum juga hal yang tak kalah penting. Hukum, yang seharusnya sebagai aturan
main milik bersama, dengan jelas sangat bias kelas. Karena negara yang berada
di bawah kekuatan kapitalisme, sistem hukumnya berpihak kepada kelas
kapitalis. Hukumnya adalah hukum kelas. Hukum tersebut jika dibunyikan akan
mengeluarkan suara sumbang seperti ini: “Jika anda buruh, jika anda orang
miskin, jika anda rakyat biasa, jika anda perempuan dari kelas pekerja, jika
anda bodoh, maka anda memiliki kesempatan lebih besar untuk dihukum –
masuk terali besi penjara!”
Praktek
politik yang kotor ini sepertinya cocok jika disamakan dengan watak cecunguk,dan
kita sebut sebagai demokrasi cecunguk.Dalam bahasa Jawa, Cecunguk adalah
nama untuk serangga berkepak yang sering dan suka sekali berada di
tempat-tempat kotor. Kata cecunguk juga digunakan oleh Tan Malaka
untuk menyebut orang-orang yang bekerja sebagai “jongos” imperialis
Belanda.
Praktek kececungukan
ini sudah menjadi watak yang terintegrasi dan sistemik di Indonesia.
Watak cecunguk dengan gamblang bisa kita lihat pada tingkah laku
politik para politisi borjuis di negeri ini: suka korupsi, serakah,
menumpuk-numpuk kekayaan untuk dirinya, suka menipu dan memanfaatkan
kaum yang lemah, dan (ini yang paling memalukan) takut sekali dengan bangsa
Barat (majikannya).
Dalam
perspektif Marxis, demokrasi borjuis bisa diartikan sebagai “sebuah sistem
politik di mana orang-orang yang duduk di pemerintahan, dan tentu di
lembaga-lembaga negara lainnya, adalah orang-orang yang berasal dari kelas
borjuis”. Mereka adalah para pemilik modal besar. Mereka itulah yang selama
ini mengendalikan keuangan, pabrik-pabrik dan mesin-mesin industri modern.
Oleh karena itu, borjuasi, yang selama ini sudah berkuasa di pos-pos ekonomi,
yang kemudian oleh sistem didorong untuk menempati pos-pos politik, akan
dapat dengan mudah mengeksploitasi buruh dan “membunuh” penghidupan jutaan
rakyat miskin. Akhirnya, negara yang seharusnya menjadi “ibu” bagi seluruh
rakyatnya, hanya akan menjadi (sebagaimana pernah dikatakan oleh Marx) “...
tempat di mana individu-individu dari kelas yang berkuasa memaksakan
kepentingannya”.
Benar,
bahwa, di atas kertas, demokrasi borjuis memberikan ruang yang sama, hak-hak
yang sama kepada semua kelas dan golongan. Tetapi pada prakteknya,
ruang-ruang ekonomi dan politik penting hanya bisa diakses oleh kelas
tertentu, yaitu kelas borjuis.
Jadi
jelas, tidak akan pernah ada demokrasi yang sesungguhnya di bawah
kapitalisme. Sebelum sistem kapitaisme ini dihancurkan oleh kaum buruh yang
terorganisir, dibantu dengan elemen-elemen progresif lainnya, maka praktek
politik yang korup dan bermental cencunguk ini akan terus berlangsung.
Sejarah kemanusiaan di bawah demokrasi borjuis akan terus menjadi sejarah
teror dan ketakutan; sejarah kemiskinan dan kematian; sejarah kekalahan dan
ketidakberdayaan!
|
0 komentar:
Posting Komentar