Perspektif Marxisme Terhadap Pilpres 2014
Pemilu legislatif dan presidensial mendatang telah menjadi lebih
menarik dengan resminya keikutsertaan Jokowi sebagai salah satu kandidat
presiden. Selama berbulan-bulan rumor dan gosip telah simpang siur
mengenai apakah Jokowi akan ikut pemilu atau tidak. Sekarang setelah
semuanya menjadi jelas bahwa Jokowi akan ikut pemilu di bawah patronase
Megawati dan partainya PDI-P, sejumput harapan pun muncul di antara
rakyat pekerja yang mendambakan jalan keluar dari kemiskinan tanpa-akhir
mereka, di antara kaum demokrat liberal yang muak dengan politik lama
yang korup tetapi mereka sendiri impoten dan tidak mampu melakukan
apapun, dan selapisan Kiri Indonesia yang telah lama frustrasi karena
kekecilan dan keterisolasian mereka.
Selama setahun terakhir, survei demi survei telah menempatkan Jokowi
sebagai calon presiden paling populer, jauh melebihi kandidat-kandidat
lain. Di satu survei, dia mendapatkan 35% dukungan sementara rival
terdekatnya, Prabowo, hanya mampu meraih 10% dukungan. Tokoh-tokoh
lainnya yang lebih dikenal, seperti Bakrie, Wiranto, Jusuf Kalla dan
Megawati, harus puas dengan dukungan yang kecil. Megawati sendiri harus
menerima fakta memalukan bahwa dia tidak lagi dilihat sebagai ratu
adilnya wong cilik. Semua kapital politik yang dia dan partainya dapati
dari periode Reformasi 1998 telah digadaikan untuk membayar setiap
kebijakan pro-kapital yang mereka telurkan dan bela, setiap rupiah dan
posisi haram yang didapati oleh para elit PDI-P dan setiap skandal
politik yang melibatkan mereka. Hari ini PDI-P menemui diri mereka harus
meminjam kapital politik dari Jokowi, dan mereka akan terkejut ketika
kapital politik pinjaman ini ternyata tidak sebesar yang mereka kira.
Jokowi telah menjadi sebuah fenomena politik selama 2 tahun terakhir
di Indonesia. Dia menangkap imajinasi publik luas pada 2012 ketika dia
dan pasangannya Ahok ikut pilgub Jakarta dan menang. Gayanya yang
sederhana dan blak-blakan, dibandingkan dengan para elit politik hari
ini yang suka berkelit-kelit, tak acuh, dan tidak jujur, mendapatkan
tempat di hati massa rakyat. Pada kenyataannya, rakyat melihat di dalam
Jokowi semua kualitas yang mereka ingin lihat dari seorang pemimpin,
terlepas dia sungguh-sungguh memilikinya atau tidak. Sebagai figur
politik yang relatif baru, dia dilihat sebagai seorang yang datang bukan
dari koridor kekuasaan dan bersih dari politik kotor yang memenuhi
setiap sudut pemerintahan ini.
Batalion aktif utama Jokowi dan Ahok selama kampanye mereka datang
terutama dari lapisan kelas menengah Jakarta – yakni 1) lapisan kelas
pekerja yang lebih mampu, yang meliputi para profesional kerah putih; 2)
para pedagang kecil – serta sebagian dari kelas kapitalis menengah dan
besar. Lapisan-lapisan yang lebih mampu ini sudah muak dan letih dengan
ketidakkompetenan dari para pejabat yang ada untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang merudung Jakarta. Mereka menginginkan Jakarta
dengan standar internasional, Jakarta Baru, yang bebas dari macet supaya
mobil mereka bisa meluncur mulus, bebas dari orang miskin, pedagang
kaki lima dan pengemis yang mengganggu pemandangan dan kenyamanan
mereka, dan bebas dari sampah yang mengotori sepatu mereka. Mereka
menginginkan Jakarta yang metropolitan yang sesuai dengan tingkat
kehidupan mereka yang tinggi. Survei demografi pemilih yang dilakukan
oleh LSI dan Tempa menunjukkan bahwa mereka yang punya ijazah
universitas, pendapatan lebih tinggi, rumah lebih besar, dan punya
kendaraan mobil cenderung memilih Jokowi-Ahok. Sementara rakyat yang
lebih miskin kurang lebih terbagi dua dalam dukungannya terhadap
Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, dan di sejumlah kasus bahkan lebih cenderung
mendukung Foke-Nara (Pilkada DKI Jakarta, Protes Kelas Menengah; Temuan
Survei 2-7 September 2012).
Walaupun ada euforia di sekitar kampanye Jokowi-Ahok, tidak ada
perubahan yang signifikan dalam tingkat golput dibandingkan dengan
pilgub sebelumnya. Angkanya masih sekitar 35%, yang menunjukkan bahwa
bahkan karisma Jokowi dan fokus media padanya masih belum bisa
menghancurkan sinisme politik rakyat pekerja.
Di belakang Jokowi juga ada dukungan rakyat miskin, bukan hanya yang
di Jakarta tetapi juga di luar Jakarta, yang melihatnya sebagai seorang
yang dapat menyembuhkan bangsa yang sakit ini. Mereka berbagi harapan
dengan lapisan kelas menengah yang disebut di atas, walaupun untuk
alasan yang berbeda. Cukup penting untuk dicatat bahwa
program-programnya bersifat reformis dan administratif, dan tidak
berbeda secara fundamental dengan kandidat-kandidat gubernur
Jakarta lainnya: membersihkan pemerintahan Jakarta dari korupsi dan
birokrasi, menyelesaikan masalah kemacetan dan banjir, membangun lebih
banyak perumahan dan transportasi publik, dan merapikan Jakarta dari
kesemrawutan PKL. Program-programnya bahkan tidak mengandung
tuntutan-tuntutan reformis yang dapat mengancam kepentingan kapitalis
secara umum, seperti peningkatan pajak terhadap orang-orang kaya dan
perusahaan-perusahaan besar. Inilah mengapa masih kita temui respon
positif secara umum dari kelas penguasa – kecenderungan lapisan-lapisan
masyarakat yang lebih kaya untuk mendukungnya dan melejitnya bursa saham
Jakarta ketika diumumkan dia akan ikut dalam pilpres mendatang.
Kebencian dari cukup banyak politisi dan pejabat Indonesia terhadap
Jokowi tidak boleh diartikan bahwa Jokowi adalah figur yang ditentang
oleh kelas penguasa. Dia memprovokasi kebencian dari banyak politisi dan
pejabat karena dia mengkonsentrasikan -- dan menjadi simbol dari --
kegeraman rakyat luas yang sudah tak terbendung lagi terhadap
ketidakkompetenan, kekerdilan, dan kesombongan mereka yang tidak ada
duanya itu.
Sekolah Jokowi
Pada pilkada Jakarta yang lalu, Militan menulis ini mengenai Jokowi:
“Di pihak lain, terjadi euforia di kalangan pendukung Jokowi-Ahok.
Kaum kelas menengah yang sudah lelah dengan korupnya partai penguasa dan
politisi-politisinya kini menaruh harapan yang begitu besar kepada
Jokowi-Ahok. Dengan sukarela mereka menjadi penyebar “Injil” atau kabar
baik tentang kedatangan Juruselamat Jokowi-Ahok ... Tidak berlebihan
kiranya bila kita jadi teringat pada harapan rakyat Amerika – dan bahkan
dunia – terhadap Obama dalam pemilu presidensial AS. Dengan ingatan ini
kita pun segera menyadari bahwa kemudian rakyat Amerika toh kecewa
ketika menyadari harapan mereka layu. Retorika perubahan Obama menemui
kontradiksinya, karena ia menjanjikan perubahan untuk rakyat pekerja
sembari menghamba kepada kepentingan modal dan kapitalisme. Segera
setelah memangku jabatan, ia mengucurkan triliunan dolar untuk
menyelamatkan kaum kapitalis dari krisis finansial dan membuat rakyat
pekerja membayar untuk krisis kapitalisme ini. Hancurnya harapan dan
ilusi terhadap Obama dan kaum Demokrat ini segera termanifestasikan di
dalam pemilu legislatif mid-term 2010 di mana kaum Republikan meraih
kemenangan cukup besar.” (Pandu Jakasurya dan Ted Sprague. Pilkada DKI
Jakarta: Sikap Apa yang Seharusnya Diambil Kaum Sosialis?)
Enam tahun setelah Obama-mania tidak ada lagi yang berbicara mengenai
“Harapan” di AS. Obama dan pesan “Hope” dan “Change”nya telah
terdiskreditkan, dan begitu juga kaum Kiri yang berkampanye mendukung
Obama. Antara pemilihan presiden 2008 dan 2012 Obama kehilangan 5 juta
suara, dan pupus sudah antusiasme akar-rumput di antara pemilihnya.
Rakyat pekerja AS terpaksa memilih Obama lagi pada 2012 karena tidak ada
pilihan yang lebih baik lagi, dan bukan karena pengharapan akan masa
depan yang lebih cerah di bawah Obama. Kaum muda dan buruh AS harus
melalui sekolah Obama yang menyakitkan itu. Dengan cara yang sama,
rakyat Indonesia juga harus melalui sekolah Jokowi. Dalam kurang dari 2
tahun saja mereka sudah mulai bisa melihat sejumlah keterbatasan dari
program-program Jokowi.
Dalam kampanyenya, Jokowi dan Ahok menjanjikan pelayanan kesehatan
gratis untuk 4,7 juta rakyat di Jakarta. Akan tetapi pertanyaan mengenai
bagaimana program ini akan dibiayai tidak pernah disinggung secara
serius. Pada akhirnya masalah penyediaan pelayanan kesehatan untuk
rakyat – dan terutama rakyat miskin yang tidak dapat membayarnya –
bukanlah masalah administrasi atau manajemen pemerintahan yang lebih
baik, atau masalah ada tidaknya “political will” atau kemauan
politik seperti yang sering diperbincangkan oleh para pakar politik dan
sosial. Ini adalah masalah kelas, seperti halnya semua program sosial
lainnya. Ini adalah masalah siapa yang harus membayarnya: rakyat pekerja
atau kapitalis.
Ketika rakyat miskin sudah tidak bisa lagi dipajak karena memang
tidak ada sesuatu pun yang bisa dipajak darinya, maka anggaran sosial
ini harus didapatkan dari pajak kelas-kelas atas (kelas menengah ke atas
dan kapitalis). Kelas menengah kita, yakni terutama lapisan kelas
pekerja yang kondisinya relatif lebih baik secara ekonomi, tidak suka
dipajak. Posisi ekonomi mereka pun sebenarnya sangat rentan, dan hanya
menunggu waktu saja sebelum mereka sadar bahwa mereka adalah bagian dari
kelas proletar. Sementara kapitalis kita, terutama pada periode krisis
ini, sangat alergi dipajak. Ketika ekonomi sudah sangat lesuh seperti
hari ini, hal terakhir yang mereka inginkan adalah pajak dan berbagai
peraturan yang akan memotong kue pendapatan mereka. Sebaliknya yang
mereka inginkan adalah stimulus dan keringanan pajak. Oleh karenanya
masalah pembiayaan program sosial menjadi lebih serius ketika
kapitalisme hari ini sedang dalam krisis di seluruh dunia. Di mana-mana
pemerintahan kapitalis menderita defisit anggaran besar yang harus
mereka seimbangkan, dan ini mereka lakukan dengan pemotongan
subsidi-subsidi sosial untuk rakyat pekerja.
Oleh karenanya, tidaklah mengejutkan kalau program Kartu Jakarta
Sehat menemui banyak masalah: rumah sakit yang menolak berpartisipasi
karena merugi, pasien yang ditolak, fasilitas dan staf kesehatan yang
tidak memadai, antrean yang panjang, dsb. Dalam kata lain, tidak ada
sumber daya yang cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas
untuk semua orang. Untuk mengatasi masalah kurangnya anggaran ini,
awalnya Jokowi dan Ahok mengusulkan meningkatkan premi KJS, dari Rp
23.000 menjadi Rp 50.000. Mereka segera membatalkan niat ini karena
mereka tahu betul ini akan ditentang rakyat miskin. Tahun ini, untuk
membiayai program-program ambisius mereka, pajak bumi dan bangunan
dinaikkan antara 120% hingga 240%. Kebijakan ini telah menimbulkan
keresahan di antara lapisan kelas menengah yang sebelumnya adalah
pendukung fanatik Jokowi. Ketika mereka dengan begitu kreatif menjajakan
Jokowi dan Ahok, tidak ada yang pernah memberitahu mereka kalau pajak
mereka akan dinaikkan. Tidak bisa dipungkiri kalau ini akan memberikan
efek negatif terhadap dukungan mereka untuk Jokowi dan Ahok ke depannya.
Penataan PKL juga adalah masalah mendesak yang diharapkan oleh banyak
rakyat Jakarta dapat diselesaikan oleh Jokowi. Jokowi meraih hati massa
dengan cepat ketika dia menggunakan pendekatan yang manusiawi dalam
menghadapi masalah PKL: dia melucuti tameng dan pentungan para petugas
Satpol PP yang terkenal suka main pukul ketika menertibkan para PKL.
Walhasil, usaha-usaha awalnya untuk menertibkan PKL menemui
keberhasilan. Para PKL dengan sukarela menerima ditertibkan karena
mereka mempercayai janji-janji Jokowi kalau mereka akan ditampung di
tempat baru dan mereka juga akan mendapatkan pembinaan. Akan tetapi,
tidak lama kemudian para PKL kembali menduduki trotoar dan badan jalan.
PKL adalah masalah sosial yang tidak bisa diselesaikan secara
administratif dan teknokratis. Selama masih ada kemiskinan maka di
setiap sudut Jakarta akan ada selalu pedagang kaki lima yang dengan
gerobak mereka berusaha mengais kehidupan. Belakangan ini sudah mulai
terjadi kericuhan antara petugas Satpol PP dan para PKL yang mulai
menolak dipindahkan. Jokowi dan Ahok sudah mulai resah dengan
ketidakberhasilan program penataan PKL mereka. “Tangkap, ambil
barangnya, sita!” ancam Ahok. Andai saja kata-kata ini ditujukan kepada
para koruptor dan kapitalis besar di Indonesia. Tetapi tidak, ini
ditujukan kepada para pedagang kecil di jalanan. Satpol PP yang tanpa
tameng dan pentungannya adalah seperti macan tanpa taring yang tidak
akan mampu mengimplementasikan kebijakan “tangkap dan sita” ini, dan
aparatus negara ini cepat atau lambat harus menggunakan kekerasan untuk
menghadapi para PKL yang melawan.
Lebih dari semua ini, yang cukup menentukan dalam mengekspos
keterbatasan dari Jokowi dan Ahok adalah sikap dan tindakan mereka
selama gelombang pemogokan buruh 2 tahun terakhir. Menanggapi pemogokan
nasional pada 3 Oktober 2012, Jokowi hanya mengatakan: “Semuanya yang
baik untuk masyarakat, saya setuju-setuju saja.” Tidak jelas apa yang
dikatakannya, mendukung atau tidak mendukung mogok nasional dan tiga
tuntutannya. Dia tidak memberikan penilaian apakah sistem outsourcing
itu baik atau buruk, dan apakah upah minimum hari ini layak atau tidak.
Pemimpin yang merakyat ini mencoba memposisikan dirinya “netral” ketika
ada gerakan rakyat pekerja yang luas, yang mandiri dan terorganisir.
Sementara di dalam masyarakat kelas posisi “netral” berarti berdiri
dengan yang berkuasa. Jadi, ketika masalahnya adalah masalah kelas yang
konkret, posisi Jokowi dan Ahok menjadi jelas, yakni berdiri di sisi
kekuatan modal. Dia menandatangani penangguhan upah minimum untuk
ratusan perusahaan di Jakarta, yang secara efektif membatalkan
kemenangan kaum buruh pada Getok Monas 2012. Lalu pada pemogokan
nasional jilid II pada Oktober-November 2013, dia tidak mengindahkan
tuntutan buruh dan menyetujui ketetapan upah murah di DKI. Alasannya:
tuntutan buruh untuk upah yang tinggi tidaklah rasional, yakni tidak
rasional dari kacamata kapitalis karena akan mencegah profit besar
pengusaha. Kita bisa lihat bahwa untuk hal-hal yang fundamental
keberpihakan Jokowi sangatlah jelas.
Pendeknya, Jokowi, layaknya seorang reformis borjuis, menjanjikan
segalanya kepada semua orang. Dia menjanjikan kapitalisme yang akan
berfungsi untuk semua lapisan masyarakat, yakni kapitalisme tanpa
kontradiksi. Lebih dari 150 tahun yang lalu Marx dan Engels telah
menulis mengenai populisme borjuis macam ini, yang disebutnya
“Sosialisme Borjuis atau Konservatif”:
“Sebagian dari kaum borjuasi ingin memperbaiki masalah-masalah sosial
guna menjamin keberlangsungan masyarakat borjuis ... Kaum borjuis
sosialistis ini menginginkan semua kebaikan dan manfaat dari
kondisi-kondisi sosial modern tanpa pertentangan-pertentangan dan
bahaya-bahaya yang niscaya timbul darinya. Mereka menginginkan tatanan
masyarakat yang ada hari ini, minus elemen-elemen yang revolusioner dan
yang mendatangkan kehancuran. Mereka menginginkan borjuasi tanpa
proletariat. ... Sosialisme macam ini ingin mengecilkan setiap gerakan
revolusioner di mata kelas buruh dengan menunjukkan bahwa ... [hanya]
reforma-reforma administratif, yang berdasarkan relasi-relasi [produksi]
borjuis, [yang dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi mereka].”
(Marx dan Engels, Manifesto Komunis)
Jokowi akan segera berbenturan dengan kontradiksi kapitalisme,
terlepas dari niat baiknya untuk membela rakyat miskin. Sekarang pun dia
sudah mulai berbenturan dengan kontradiksi-kontradiksi ini, terutama
ketika buruh sendiri yang mulai berorganisasi dan bergerak untuk
memperjuangkan nasib mereka sendiri tanpa menunggu seorang Satrio
Piningit. Rakyat pekerja luas akan mendapatkan pelajaran berharga namun
pahit dari Sekolah Jokowi ini, bahwa permasalahan-permasalahan yang
mereka hadapi membutuhkan solusi di luar kapitalisme dan bahwa mereka
hanya bisa mempercayai kekuatan mereka sendiri. Masih banyak
sekolah-sekolah lain yang harus dilalui oleh rakyat pekerja kita, dan
mereka akan sulit lulus ketika setiap kali ada ujian para Kiri-kiri kita
justru mengambil jalan pintas dengan langkah-langkah oportunis: entah
dengan nyaleg lewat partai-partai borjuasi atau mendukung tokoh populis
seperti Jokowi dengan berbagai dalih dan alasan (memilih yang terbaik
dari yang terburuk, memberi dukungan kritis, dsb.)
Jokowi dan Reaksi Pasar
Kaum kapitalis tidak malu-malu dalam mengekspresikan perasaan mereka
mengenai Jokowi dan keputusannya untuk ikut pemilihan presiden. Bursa
saham Jakarta melejit 3 persen setelah mendengar Megawati mengumumkan
Jokowi sebagai kandidat presiden dari PDI-P, yakni kenaikan tertinggi
selama 6 bulan terakhir. Rupiah juga menguat sebesar 1,3 persen.
Sementara Kiri-kiri kita mencoba sebisa mungkin menggambarkan kepada
rakyat luas bahwa Jokowi adalah kandidat pro-rakyat dan anti
neo-liberal, para analis borjuis yang lebih bijak melihatnya secara
berbeda. Koran Financial Times menulis bahwa “bank-bank investasi juga telah menerbitkan catatan-catatan mengapa Jokowi ... adalah seorang kandidat yang menggairahkan bagi para investor asing.” (Indonesia elections: five reasons investors like Jokowi. Financial Times,
17 Maret 2014) Salah satu alasan utama dari optimisme para investor
terhadap Jokowi adalah bahwa pemerintahan Jokowi akan menjadi sebuah
pemerintahan yang stabil. Mari kita tekankan bahwa ketika para investor
kapitalis berbicara mengenai kestabilan maka ia berbicara mengenai
kestabilan untuk meraup laba. Sejauh mana rejim Jokowi akan menjaga
kestabilan untuk para investor telah ditunjukkan oleh sikap dan
tindakannya selama gelombang pemogokan 2 tahun terakhir. Inilah mengapa
tidak ada kekhawatiran sama sekali dari para analis borjuis yang serius
bahwa Jokowi akan berubah menjadi seorang Soekarno atau Chavez.
Mengenai harapan kaum kapitalis bahwa Jokowi bisa membawa kestabilan bagi mereka, ini sudah disinggung oleh Militan sebelumnya:
“Sistem politik hari ini sudah begitu bangkrut dan legitimasinya di
mata rakyat sudah begitu tipis dan tampak bisa roboh kapan saja.
Satu-satunya hal yang mencegah sistem ini dari kerobohan adalah lemahnya
kepemimpinan revolusioner dari rakyat pekerja. Inilah mengapa banyak
partai politik borjuasi yang sedang berlomba-lomba untuk memenangkan
Jokowi ke sisinya. Selain untuk memberikan legitimasi pada partai mereka
masing-masing, mereka juga ingin memberikan legitimasi umum kepada
sistem politik bangsa ini, bahwa sistem demokrasi politik borjuasi masih
bisa menyodorkan seorang pemimpin yang kompeten dan bersih. Bayangkan
kalau rakyat luas sama sekali sudah hilang harapan pada para pemimpin
politik dan sistem yang ada, dan mulai menengok ke dirinya sendiri
sebagai alat perubahan, mulai mengambil nasib ke tangannya sendiri.
Jokowi dan Ahok, kendati tidak sedikit elit politik yang mencoba
menjatuhkan mereka, adalah angin segar bagi para pembela sistem
demokrasi borjuasi, karena mereka memberi bukti bahwa sistem demokrasi
ini masih bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin bersih. Tidak perlu aksi
massa dan tidak perlu partai kelas pekerja.”
“Dari pihak rakyat pekerja, banyak yang menginginkan Jokowi untuk
menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Dari pihak elit politik
borjuasi, mereka juga mulai melihat Jokowi sebagai figur yang dapat
menyelamatkan Indonesia. Tetapi walau di permukaan kedua harapan ini
tampak serupa, ada kepentingan kelas yang jauh berbeda. Keselamatan
bangsa yang ada di pikiran rakyat jelata adalah cukup sederhana, yakni:
pekerjaan dan upah layak, tempat tinggal yang layak, pelayanan
kesehatan, pendidikan, dll. Sementara bagi elit politik borjuasi,
keselamatan bangsa adalah keselamatan sistem eksploitasi kapitalisme,
yang sudah semakin terdiskreditkan karena ketidakmampuannya untuk
memberikan kesejahteraan pada rakyat jelata, ditambah lagi ulah-ulah
vulgar dari banyak pemimpinnya yang bermental “aji mumpung”, yang
menjarah sistem ini tanpa mempertimbangkan keselamatan kapitalisme dalam
jangka panjang. Jokowi dilihat oleh kaum borjuasi sebagai seorang yang
dapat menyatukan kedua harapan tersebut, atau lebih tepatnya memberikan
kesan atau ilusi bahwa ia sedang memenuhi harapan yang pertama,
sementara pada kenyataannya ia sedang memenuhi harapan yang belakangan.”
(Berlomba-lomba memenangkan Jokowi ke Pemilu 2014)
Kiri Kita: Pemilu Borjuasi dan Pemilu Rakyat
Lagi dan lagi pemilu menebarkan kebingungan di antara Kiri-kiri kita:
ada yang mendukung keterlibatan di dalamnya dengan membonceng
partai-partai yang ada dengan berbagai alasan, ada yang mendukung Jokowi
dengan berbagai kualifikasi dan kondisi, juga ada yang mendukung
Prabowo sebagai sosok anti-imperialis, dan ada yang menolak partisipasi
di dalam pemilu secara prinsipil. Kita akan coba telaah satu per satu
posisi-posisi ini,
Pertama, kaum Marxis tidak menolak partisipasi di dalam pemilu borjuasi. Oleh karenanya penolakan secara prinsipil
untuk turut serta dalam parlemen borjuasi adalah sikap kekanak-kanakan.
Seruan dari elemen-elemen Anarkis atau ultra-kiri lainnya untuk
memboikot pemilu dengan alasan kalau pemilu ini adalah pemilu borjuasi,
dan menuntut diselenggarakannya apa yang mereka sebut “pemilu rakyat”,
adalah kenaifan kalau bukan kebodohan. Di bawah sistem dengan
relasi-relasi produksi kapitalis, setiap pemilu oleh karenanya adalah
pemilu borjuasi. Parlemen borjuis dibentuk dan dirancang sedemikian rupa
untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis, dan tidak bisa untuk
keperluan lain. Ini adalah ABC Marxisme dalam permasalahan teori Negara
borjuis, tetapi setelah ABC ada lagi huruf-huruf lain, ada lagi berbagai
kombinasi huruf yang membentuk kata-kata, dan kombinasi kata-kata yang
membentuk kalimat, dan seterusnya. Hanya mampu mengulang-ulang ABC
tidaklah terdengar terlalu pintar.
Sejak kemerdekaan Indonesia, tidak pernah ada pemilu rakyat. Semua
pemilu sejak 1955 adalah pemilu borjuasi. Namun tidak semuanya sama,
karena ada tingkat kebebasan demokrasi yang berbeda di dalam
pemilu-pemilu tersebut yang ditentukan oleh perimbangan kekuatan-kekuatan kelas yang ada.
Pemilu 1955 dan pemilu 1999, yakni pemilu yang relatif paling bebas dan
“merakyat” dalam sejarah Indonesia, dalam takaran apapun bukanlah
pemilu rakyat dan tetap adalah pemilu borjuasi. Namun akan menjadi
kebodohan yang tertinggi kalau kita memboikotnya secara prinsipil. Lenin
telah menjelaskan ini dengan sangat baik ketika dia mencoba meyakinkan
kaum Komunis Jerman untuk tidak menyangkal parlemen borjuasi:
“Parlementerisme sudah tentu, telah ‘usang secara politik’ bagi kaum
Komunis di Jerman; tetapi – dan inilah persoalan yang sesungguhnya –
kita tidak boleh menganggap apa yang sudah usang bagi kita sebagai sudah
usang bagi kelas, sudah usang bagi massa … Kita tidak boleh merosot ke
tingkat massa, ke tingkat lapisan-lapisan kelas yang masih terbelakang.
Ini tidak dapat disangkal. Kita wajib mengatakan kepada mereka kebenaran
yang pahit. Kita wajib menamakan prasangka-prasangka borjuis-demokratis
dan parlementer mereka sebagai prasangka-prasangka. Tetapi bersamaan
dengan itu kita harus mengikuti dengan realistis keadaan yang
sesungguhnya dari kesadaran kelas dan kesiapan seluruh kelas (dan bukan
hanya pelopor Komunis saja), dan terutama seluruh rakyat pekerja (dan
bukan hanya elemen-elemen kelas pekerja yang maju).” (Komunisme Sayap
Kiri: Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan)
Bahkan dalam pemilu yang paling “merakyat” sekalipun, dengan
kondisi-kondisi yang paling ideal sekalipun – misalnya dengan UU Pemilu
yang amat bebas, dengan adanya sebuah partai massa buruh yang dapat ikut
pemilu sebagai oposisi yang riil, dsb. – pemilu tersebut akan tetap
menjadi pemilu borjuasi, dan kita tetap punya tanggung jawab untuk
menjelaskan dengan sabar prasangka-prasangka borjuis-demokratis
tersebut kepada rakyat. Jadi, sembari menggunakan taktik-taktik
parlementer – ketika memungkinkan; kapan dan bagaimana ini memungkinkan
adalah diskusi yang lain lagi yang akan kita coba kupas di bawah nanti –
kaum Marxis tidak boleh menyembunyikan kebenaran dari massa bahwa
parlemen borjuasi adalah alat untuk mempertahankan kapitalisme, dan
bahwa tujuan akhir dari proletar adalah penaklukan kekuasaan secara
revolusioner dengan menghancurkan parlemen borjuasi yang kita gunakan sekarang. Kaum Marxis menggunakan parlemen tidak hanya
untuk membawa perubahan-perubahan yang dapat meringankan penderitaan
rakyat. Kalau hanya untuk tujuan ini saja maka kita tidak bedanya dengan
kaum liberal dan kaum reformis sosial-demokrat. Kita menggunakan
parlemen juga sebagai platform untuk mengedepankan ide-ide sosialis dan terutama untuk menunjukkan kepada rakyat keterbatasan dan kebusukan parlemen borjuasi, dan dari sini menyiapkan kelas buruh untuk menumbangkan parlemen borjuasi ini.
Jadi jelas kalau kaum Marxis tidak menolak secara prinsipil untuk terlibat di dalam pemilu borjuasi. Kaum Marxis dibedakan dengan Kiri lainnya oleh fleksibilitasnya dalam taktik dan keteguhannya dalam ideologi.
Kiri-kiri kita sangatlah fleksibel dalam taktik mereka, yakni
melompat-lompat dari satu taktik ke taktik lain, dari satu kampanye ke
kampanye lain. Tetapi dalam hal keteguhan dalam ideologi mereka
kebanyakan sangatlah malas. Usaha belajar dan mendalami teori sering
dicemooh sebagai aktivitas intelektual, dan para Kiri kita lebih suka
beraktivitas-ria, turun ke jalan, berorasi, mengorganisir massa, untuk
“merakyat” katanya. Alhasil teori Marxis di Indonesia bukannya
dikembangkan oleh para pejuang revolusioner itu sendiri, tetapi justru
dikembangkan oleh kaum intelektual akademis di universitas-universitas.
Cemoohan mereka akhirnya menjadi kenyataan, teori Marxis menjadi
dominasi kaum akademis intelektual. Ketika para aktivis ini membutuhkan
teori untuk membenarkan kebijakan mereka, mereka lantas mencari
teori-teori instan lewat para akademis Marxian, entah yang dari
luar seperti Zizek atau lewat para Marxian muda kita yang berkumpul di
sekitar Indoprogress dan STF Driyarkara.
Kalau kita tidak menolak secara prinsipil partisipasi dalam parlemen
borjuis, lantas pertanyaan selanjutnya adalah: kapan kita menggunakan
taktik parlementer dan kapan kita memboikotnya? Bagaimana dan dalam
proporsi apa kita mengkombinasikan taktik ini dengan taktik-taktik lain?
Tidak ada rumus ajaib yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Tidak ada semacam angket dengan sederet pertanyaan
ya-atau-tidak, yang setelah dijawab semuanya akan memberikan skor akhir
yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Apa yang kita miliki
adalah pengalaman sejarah dan kondisi-kondisi objektif serta subjektif
hari ini yang dapat kita kaji dengan pisau Marxisme.
Kiri Kita: “Membonceng” Partai-partai Borjuasi
PRD adalah salah satu dari sejumlah organisasi pergerakan yang
memutuskan untuk ikut pemilu borjuasi dengan membonceng – atau dibonceng
lebih tepatnya – oleh partai-partai borjuasi. Pembenaran langkah ini
datang dari kekeliruan PRD dalam mengkaji kapitalisme dan imperialisme
di Indonesia.
Manifesto PRD, setelah dibersihkan dari segala retorikanya mengenai
rakyat yang tertindas, tidak lain adalah ajakan untuk melakukan
kolaborasi kelas, yakni kolaborasi antara buruh, tani, dan kapitalis
nasional. Semua lapisan ini, menurut PRD, adalah korban dari modal asing
dan imperialisme dan oleh karenanya dibutuhkan “persatuan nasional”
dari semua orang Indonesia, terlepas basis kelasnya dan
kepentingan-kepentingan yang menyertainya, untuk menghentikan
imperialisme. Begini tulis PRD:
“Untuk melawan imperialisme ini, kita butuh sebuah alat politik,
yaitu persatuan nasional. Dampak neoliberalisme yang mengorbankan hampir
semua lapisan dan sektor sosial rakyat Indonesia (pekerja, petani, kaum
miskin kota, perempuan, pemuda, masyarakat adat, pengusaha
kecil/menengah, pengusaha nasional, dll) adalah kondisi yang kondusif
untuk menjalin persatuan.” (Manifesto Pemilu PRD)
Logikanya tampak sederhana. Ada sekelompok orang dengan status sosial
dan ekonomi yang berbeda-beda yang menjadi korban dari kebijakan
neo-liberalisme dan imperialisme. Oleh karenanya mereka harus bersatu,
yang miskin bersatu dengan yang kaya, yang tertindas bersatu dengan yang
menindas, pemulung bersatu dengan pengusaha, di atas “prinsip bangsa
kita: Bhineka Tunggal Ika”. Logikanya sederhana, yakni logika formalis,
dimana 1+1 = 2. Tetapi di dalam politik, logika formalis yang sederhana
tidak pernah memadai dan justru membawa kekeliruan. 1+1 tidak selalu
menghasilkan 2, karena di dalam politik tiap-tiap kelas menduduki posisi
yang berbeda dalam relasi produksi masyarakat kita, dan tiap-tiap kelas
saling merasuki satu sama lain, saling bertentangan, saling
bersinggungan, dan dalam interaksi yang terus menerus itu mereka terus berubah.
Di sini kita berbicara terutama mengenai dua kelas, yakni kelas buruh
dan kelas kapitalis, yang karakternya terus berubah sejak kelahirannya:
yang pertama semakin menunjukkan kekuatan dan keprogresifannya sebagai
kelas masa depan, yang belakangan semakin menunjukkan kebangkrutan,
kepengecutannya, dan keimpotenannya dalam memajukan bangsa.
Di awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dimulai pada tahun
1910an, kita melihat adanya persatuan antara kelas buruh dan kelas
kapitalis yang kedua-duanya masih-lah sangat muda. Imperialisme, yang
merupakan tahapan terakhir dan tertinggi dari kapitalisme, juga baru
muncul pada awal abad ke-20. Ia segera menampakkan
kontradiksi-kontradiksinya, yang memuncak pada Perang Dunia I. Perang
ini tidak lain adalah perang antara kekuatan-kekuatan imperialis utama
untuk membagi-bagi dunia. Secara paradoks, justru kontradiksi
imperialisme ini, yakni kontradiksi negara-bangsa (nation-state),
yang lalu memunculkan kesadaran negara-bangsa di antara rakyat yang
terjajah, dimulai dari lapisan intelektualnya. Ini memercikkan
perjuangan pembebasan nasional di Indonesia dan juga koloni-koloni
lainnya. Beserta rakyat luas kaum kapitalis Indonesia menuntut
kemerdekaan nasional mereka dan terlibat dalam perjuangan melawan
Belanda dan imperialisme secara umum. Namun sejak awal mereka telah
menunjukkan keragu-raguan, kepengecutan, dan kebimbangan mereka. Ini
karena mereka lahir di era imperialisme, sehingga mereka punya dua
karakter: 1) ketergantungan pada modal asing; 2) ketakutan pada rakyat
pekerja. Faktanya mereka lebih takut pada rakyat pekerja daripada tuan
imperialis mereka, dan ketakutan ini semakin menjadi-jadi seiring dengan
semakin besarnya kelas proletar di Indonesia dan semakin kuatnya mereka
sebagai kelas untuk dirinya sendiri.
Pukulan serius pertama terhadap imperialisme Belanda dihantarkan
bukan oleh borjuasi nasionalis kita tetapi oleh kelas buruh lewat
partainya, Partai Komunis Indonesia. Di antara kelompok-kelompok politik
lainnya di Indonesia pada periode awal perjuangan kemerdekaan PKI
adalah organisasi politik dengan jumlah anggota, simpatisan, basis
massa, dan pengaruh terbesar. Tan Malaka, dalam karyanya “Aksi Massa”,
mengkritik dengan keras partai-partai borjuis di Indonesia. Budi Utomo
digambarkannya sebagai “partai yang semalas-malasnya di antara segenap
partai-partai borjuis di Indonesia ... ia tidak mendapat cara-cara aksi
borjuis radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat
dari dulu sampai sekarang.” Sementara kepada National Indische Party
(NIP), yang nantinya jadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI),
Tan Malaka menulis ini: “Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga NIP ... “mencium” kebangsaan Indonesia. ... [ia] berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. ... Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota NIP.”
Mengapa borjuasi Indonesia begitu “malas”, “tidak berani”, “pincang”,
dan “ragu-ragu” dalam menjalankan tugas-tugas nasional demokratik
mereka? Tan Malaka menjelaskan: “Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan
itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuasi Indonesia
‘beriring-iring patah di tengah’. ... Karena kapital besar bumiputra
tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis
tak tahan hidup.” Yah, benar. Karena borjuasi Indonesia ada di bawah
jempol kapital asing yang lebih besar dan tergantung padanya, maka dari
itu mereka lemah dan beriring-iring patah di tengah dalam usaha mereka
untuk memenuhi tugas-tugas nasional dan demokratis.
Bagaimana kelas borjuasi kita hari ini dibandingkan dengan jaman Tan
Malaka? Apakah dalam 100 tahun terakhir ini mereka telah menjadi
“berani” dan “tegas”? Sebaliknya. Mereka justru menjadi semakin penakut,
dan dengan kepengecutan mereka datang juga karakter pengkhianatan
mereka. Pada 1945, pemimpin mereka, Soekarno dan Hatta, harus dipaksa
oleh kaum muda revolusioner untuk memproklamirkan kemerdekaan. Lalu pada
1945-49, para pemimpin borjuis mengkhianati perjuangan kemerdekaan 100%
karena takut pada imperialisme. Mereka persembahkan kepala dari ribuan
kader komunis dan para pemimpin mereka kepada Belanda dan imperialisme.
Mengenai ini, Soekarno membela tindakannya yang meremukkan elemen-elemen
revolusioner pada masa 1945-1949 dengan mengatakan bahwa “revolusi
nasional tidak boleh dibikin lemah dengan perjuangan kelas” dan inilah
garis politik yang diusung oleh PRD hari ini: dahulukan persatuan
nasional, tanggalkan perjuangan kelas. Lalu pada 1965, borjuasi kita
berbaris rapi di belakang militer dalam menenggelamkan gerakan buruh ke
dalam kubangan darah. PKI pada saat itu membuat kesalahan yang sama
dengan PRD hari ini, yakni percaya kepada borjuasi nasional yang menurut
mereka progresif. Tidak peduli pada mimpi para pemimpin PKI 50 tahun
yang lalu dan para pemimpin PRD hari ini, kaum borjuasi kita telah
mengambil pilihan mereka: lebih baik hidup sebagai kacung imperialis
daripada hidup bersama dengan kaum buruh dan tani yang mandiri,
terorganisir, dan kuat.
Inilah mengapa mereka puas saja hidup di bawah Soeharto, dan tidak
pernah sekalipun menggedor – apalagi mendobrak – pintu kediktatoran
Soeharto. Pada 1998, setelah pintu tersebut didobrak oleh kaum muda dan
rakyat tertindas luas, kaum borjuasi oposisi kita – Gus Dur, Mega, Amen
– justru memainkan peran untuk meredam semangat revolusioner rakyat.
Para pahlawan reformasi inilah, yakni perwakilan dari borjuasi kita yang
paling progresif, membawa Indonesia semakin di bawah jempol modal
asing. Manifesto PRD mengandung informasi yang cukup lengkap mengenai
peran pemerintahan Gus Dur dan Mega dalam mencanangkan program-program
liberalisasi dan privatisasi, tetapi PRD tetap menolak untuk memahami
kemustahilan melakukan persatuan nasional dengan para kapitalis dan
perwakilan politik mereka.
PRD terus mencari kelas borjuasi yang progresif, dan berkali-kali
mereka hanya menemui bayang-bayangnya. Mereka terus memanggil-manggil
arwah yang telah lama meninggal dunia. Mereka ingin kembali ke masa
keemasan borjuasi nasional, yakni ketika borjuasi kita menerima dipaksa
untuk membacakan secarik kertas yang memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Mereka terus menatap ke masa lalu, sementara masa depan
sosialisme ditunda sampai Indonesia bisa menjadi negara kapitalis yang
berdikari. Persatuan nasional di atas persatuan kelas! Inilah slogan
PRD. Pada kenyataannya sejarah perjuangan kita telah menunjukkan lagi
dan lagi bahwa imperialisme hanya bisa dipatahkan dengan persatuan
kelas, bahwa pada akhirnya slogan persatuan nasional adalah slogan untuk
menundukkan kelas buruh dan tani di bawah borjuasi.
Buruh Go Politik
Selain PRD, kita juga saksikan sejumlah serikat buruh yang membonceng
partai-partai politik borjuasi. Mereka mengirim para pemimpin buruh
untuk menjadi caleg di bawah bendera sejumlah partai politik seperti
PKS, PAN, PPP, PDI-P, Gerindra, dsbnya. Kita harus melihat ini dalam
konteks gerakan buruh hari ini di Indonesia.
Gelombang aksi buruh pada 2012-2013 yang melibatkan jutaan buruh
telah membuka lembaran baru bagi perjuangan kelas buruh di Indonesia.
Buruh mulai menjadi kekuatan politik riil yang tidak hanya diakui dan
disegani oleh massa rakyat luas, tetapi juga ditakuti oleh kelas
penguasa. Mereka untuk pertama kalinya, sejak diremukkan pada 1965,
masuk ke panggung politik nasional sebagai sebuah kelas dengan kepercayaan diri yang meluap-luap.
Pengalaman perjuangan selama 2 tahun terakhir juga mengajarkan kepada
buruh bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan metode-metode
perjuangan ekonomis. Berbenturan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah,
mereka sadar bahwa mereka juga harus melakukan perjuangan politik. Tidak
cukup di pabrik saja, buruh mulai merasa bahwa mereka harus keluar dari
gerbang pabrik dan masuk ke gerbang parlemen. Ini merupakan bagian dari
proses perkembangan kesadaran kelas buruh.
Akan tetapi, hari ini buruh Indonesia belum memiliki partai massa
mereka sendiri, seperti Partai Buruh di Brazil, Partai Buruh di Inggris,
New Democratic Party di Kanada, dll. Inilah kontradiksi yang ada,
antara harapan buruh yang mulai tumbuh untuk berpolitik dan kenyataan
tidak adanya kendaraan politik buruh. Tidak dapat menunggu terbentuknya
partai massa buruh, buruh lantas mengirim sejumlah rekan mereka untuk
menjadi caleg buruh lewat sejumlah partai borjuasi, dan langkah ini
mendapatkan dukungan dari selapisan buruh. Ada sedikit kenaifan dari
para buruh ini, yang juga lahir karena kemenangan-kemenangan yang mereka
cicipi 2 tahun terakhir. Buruh sungguh-sungguh percaya kalau mereka
akan bisa mempertahankan kemandirian kelas para caleg buruh mereka.
Kita harus menjelaskan dengan sabar, tetapi juga dengan
tegas, bahwa kemandirian kelas dari para perwakilan buruh akan dapat
tercapai bila buruh punya kendaraan politik mereka sendiri. Sama halnya
ketika buruh hanya bisa meraih kemandirian dalam perjuangan ekonomis
lewat organisasi serikat buruh mereka sendiri, maka buruh hanya bisa
meraih kemandirian dalam berpolitik lewat organisasi politik mereka
sendiri.
Kehendak buruh untuk “go politik” harus kita salurkan pada slogan
“Bentuk Partai Buruh dari buruh, oleh buruh, dan untuk buruh”. Buruh
harus bergerak “dari pabrik menuju publik”, dan menjadi pemimpin dari
seluruh kelas tertindas di Indonesia. Ini hanya bisa dilakukan dengan
membangun partai buruh yang bertumpukan pada serikat-serikat buruh massa
dan program-program sosialis: nasionalisasi tuas-tuas ekonomi yang
terutama dan bangun sistem ekonomi yang terencana secara demokratis oleh
rakyat pekerja.
Kiri Kita: Memilih Terbaik dari yang Terburuk
Dengan masuknya Jokowi ke dalam kompetisi pilpres, sejumlah Kiri kita
segera tergopoh-gopoh berbaris di belakangnya dengan berbagai alasan.
Alasan yang paling populer digunakan adalah bahwa menolak Jokowi berarti
membuka jalan bagi Prabowo untuk menjadi Presiden, dan oleh karenanya
Jokowi adalah pilihan yang terbaik dari yang terburuk.
Karena trauma kediktatoran militer, ada ketakutan yang menjadi-jadi
di antara Kiri kita terhadap tokoh militer. Momok fasisme pun
ditebarkan, dengan seruan lantang dari mahasiswa doktoral ilmu politik
kita, Iqra Nugraha, untuk “menendang fasisme keluar dari kotak suara di
bumi Indonesia” (Iqra Nugraha. Menghadang Fasisme, 7 April 2014).
Ketakutan emosional ini lantas mendikte posisi politik mereka: apapun
yang bukan militer adalah lebih baik daripada militer. Tidak ada
sejumput pun analisa kelas di dalamnya.
Pertama mengenai fasisme. Fasisme adalah gerakan massa borjuis kecil,
yang lahir ketika masyarakat menemui jalan buntu yang teramat akut:
kelas borjuasi terlalu lemah untuk mengalahkan kelas buruh yang sedang
bergejolak, sedangkan kelas buruh sendiri juga tidak mampu membawa
periode revolusioner ini ke kesimpulannya. Masyarakat tidak bisa terus
menerus berada dalam situasi menggantung atau revolusioner. Harus ada
penyelesaiannya. Di sinilah peran kaum fasis dengan batalion massa
borjuis kecilnya, yang dilepaskan seperti anjing liar oleh kelas
borjuasi untuk mematahkan gerakan revolusioner yang bergejolak. Inilah
yang terjadi di Italia (Mussolini) dan Jerman (Hitler), dan pada
tingkatan tertentu juga di Spanyol (Franco). Hanya pada periode
revolusioner kita biasanya melihat kelas penguasa mulai melepaskan
anjing liar fasismenya. Sebelum fasisme bisa menang, kelas buruh akan
punya 1001 kesempatan untuk menang, dan hanya setelah ketidakmampuannya
untuk merebut kekuasaan maka gelombang pasang reaksi fasisme akan
menyapunya.
Secara vulgar, tanpa analisa kelas dan situasi politik yang serius,
Iqra Nugraha menarik sejumlah “kemiripan” antara Prabowo dan Mussolini
dan mencapai kesimpulan: Prabowo mewakili fasisme, dan oleh karenanya
harus dihadang dengan cara apapun. Dalam hal ini, walau dia malu-malu
mengungkapkannya, maksudnya adalah cobloslah Jokowi – atau politisi
manapun selain Prabowo. Tetapi hari ini di Indonesia tidak ada situasi
yang kondusif untuk lahirnya fasisme. Kelas kapitalis Indonesia tidak
memerlukan reaksi fasisme sekarang. Mereka cukup puas berkuasa dengan
sistem demokrasi. Fasisme tidak lahir hanya karena ada seorang bernama
Prabowo yang mungkin punya mimpi untuk menjadi seorang fasis ala
Mussolini. Harus ada perimbangan kelas tertentu, seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Penyebar momok fasisme seperti Iqra berpikir bahwa mendukung politisi
borjuis seperti Jokowi akan menghadang fasisme, tetapi justru mereka
sedang mempersiapkan datangnya fasisme yang sesungguhnya di masa depan.
Politik kolaborasi kelas yang diusung oleh mereka justru membuat lemah
gerakan buruh untuk menumbangkan kapitalisme. Ketika kelas buruh tidak
mampu menumbangkan kapitalisme yang memasuki krisis, dikarenakan
kebijakan kolaborasi kelas yang disebarkan oleh para intelektual dan
pemimpin reformis, di situasi seperti inilah reaksi fasisme hadir.
Selain itu, kita tidak menghadang kaum fasis dengan jalan parlementer,
seakan-akan kaum fasis yang sesungguhnya akan menghormati jalan
parlementer. Seperti yang Trotsky katakan, kita kalahkan kaum fasis
dengan “memperkenalkan kepalanya pada aspal jalanan”. Hanya kekuatan
buruh yang terorganisir dengan milisi pertahanannya yang dapat
menghadang fasisme. Pengalaman buruh dalam menghadang preman-preman
kapitalis pada gelombang pemogokan tahun lalu adalah pelajaran yang
konkret dan berharga bagaimana melawan elemen-elemen fasis: yakni aksi
massa.
Kedua, mengenai negara dan militer. Kekerasan yang dilakukan oleh
tentara (dan aparatus pemaksa lainnya) tidaklah ditentukan oleh latar
belakang militer sang presiden atau kepala negara. Negara akan tetap
menggunakan – dan telah menggunakan – aparatus-aparatus pemaksanya
(tentara dan polisi) untuk melindungi kepentingan kelas penguasa, dan
ini tidak ditentukan oleh karakter sipil atau militer dari para pemangku
jabatan negara. Ini karena negara, pada analisa terakhir, adalah organ
penindas oleh satu kelas terhadap kelas yang lain, dan dalam hal negara
borjuasi organ penindas kaum borjuasi terhadap kelas buruh.
Kaum liberal demokrat dan borjuis kecil di Indonesia memimpikan
sebuah negara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh politik sipil, dengan
harapan bahwa negara sipil seperti ini maka akan menjadi demokrasi
modern yang menghormati keabsahan hukum dan HAM. Demokrasi paling modern
di muka bumi ini seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman,
di mana pemerintahannya adalah pemerintahan sipil justru, justru adalah
pelanggar HAM terbesar. Pejabat-pejabat sipil inilah yang mengirim
tentara ke Irak, Afghanistan, Mali, Libia, dan berbagai daerah konflik
lainnya. Para politisi sipil inilah yang mengesahkan dan mendukung
secara aktif kudeta-kudeta militer terhadap pemerintahan-pemerintahan
terpilih di Amerika Latin, Afrika, Asia, dll. yang tidak sesuai dengan
kepentingan mereka.
Dengan argumen liberalistis borjuis-kecil yang serupa, PRP juga
mencoba membenarkan posisi mereka dalam mendukung Jokowi. Cakupan mereka
lebih luas, bukan hanya militer, tetapi tokoh-tokoh yang memiliki
kaitan langsung dengan rezim Orde Baru:
“Perlawanan terbuka terhadap tokoh-tokoh yang memiliki kaitan
langsung dengan rejim Orde Baru tentunya menjadi penting untuk diusung
kembali oleh seluruh rakyat Indonesia ... maka dari itu, kami dari
Partai Rakyat Pekerja (PRP), menyatakan sikap mendukung calon presiden
yang populis dan tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim Orde Baru
[baca Jokowi].” (Munculnya Kepemimpinan Populis, Apa Artinya Bagi Rakyat
Pekerja? -- 21 Maret 2014)
Mungkin kawan-kawan PRP akan menyatakan keberatan mereka kalau kita
hanya mengungkit poin pertama dalam program mereka, karena selain
mendukung Jokowi masih ada 4 poin lainnya. Namun akan lebih baik
sebenarnya kalau mereka tidak mencantumkan 4 poin lainnya di dalam
program mereka, karena poin-poin ini hanya menunjukkan lebih lanjut
kebingungan mereka, ketidakkonsistenan mereka dan tendensi-tendensi
borjuis kecil di dalam program mereka.
Mengenai nasionalisasi yang disebut di poin ke-3, mengapa hanya “aset
negara yang telah diprivatisasi”? Program sosialis yang konsisten akan
mengusung nasionalisasi seluruh tuas-tuas ekonomi yang penting, tidak
hanya yang telah diprivatisasi. Terlebih lagi, nasionalisasi tidaklah
lengkap kalau tidak disertai dengan sistem ekonomi terencana di bawah
kontrol demokratis rakyat pekerja. Ini karena kapitalis pun telah dalam
sejarahnya mendukung nasionalisasi untuk kepentingan mereka, selama
nasionalisasi ini dilakukan dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis.
Kembali lagi ke poin ke-3, PRP juga mengusung pajak transaksi
keuangan. Namun pajak transaksi keuangan adalah program borjuis kecil.
Pajak transaksi keuangan ini dikenal sebagai “Tobin Tax” atau “Robin
Hood Tax”, dan pada awal krisis finansial 2008 diajukan oleh sejumlah
Kiri borjuis-kecil sebagai solusi. Pajak Tobin ini secara esensi adalah
usaha untuk meregulasi kapitalisme, untuk mengurangi spekulasi
jangka-pendek yang dilakukan oleh para pemain saham. Tidak heran kalau
pajak Tobin juga didukung oleh sejumlah ekonom borjuis – termasuk Bill
Gates, George Soros, Joseph Stiglitz, Paul Krugman – yang khawatir akan
kerusakan yang disebabkan oleh spekulasi jangka-pendek terhadap
keselamatan kapitalisme secara keseluruhan. Gagasannya adalah bahwa
pajak Tobin akan mendorong spekulasi kapitalis yang lebih bersifat
jangka panjang. Para ideolog PRP akan membantah, mungkin dengan argumen
demikian: dengan pemerintahan yang pro-rakyat, dana yang dikumpulkan
dari pajak Tobin dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat, untuk
“mewujudkan perlindungan sosial transformatif”. Terlepas dari mimpi
kawan-kawan kita di PRP dan para pendukung Pajak Tobin lainnya bahwa
pajak Tobin bisa “menghasilkan miliaran dolar untuk pelayanan-pelayanan
pulik dan mengatasi kemiskinan dan perubahan iklim”
(www.robinhoodtax.org.uk), pajak Tobin adalah kampanye borjuis kecil
yang tujuan utamanya adalah meyakinkan kelas pekerja kalau kapitalisme
bisa berfungsi untuk kesejahteraan mereka kalau saja ia diregulasi dan
diatur sedemikian rupa.
Tidak ada satu pun hal yang progresif – apalagi revolusioner – dalam
program pajak Tobin yang dapat membangun kesadaran kelas buruh.
Sebaliknya, ia justru menebar ilusi bahwa kapitalisme dapat berfungsi
kalau saja diregulasi dengan baik. Mungkin kawan-kawan PRP tidak
bermaksud demikian karena pada poin ke-5 mereka menyatakan dengan
lantang bahwa “kapitalisme-neoliberalisme terbukti telah gagal ... dan
hanya dengan Sosialisme lah maka rakyat akan sejahtera” dan setiap
pernyataan mereka diakhiri dengan seruan sosialisme sebagai satu-satunya
jalan keluar. Namun tidak sedikit kaum sosialis yang berslogan ria
mengenai sosialisme tetapi melakukan kebijakan-kebijakan borjuis kecil
yang justru berseberangan dengan cita-cita sosialisme yang sesungguhnya.
Kita sebut orang-orang semacam ini dengan nama mereka yang
sesungguhnya, yakni kaum sosialis sosial-demokrat atau kaum sosialis
borjuis kecil.
Pada poin ke-4, PRP agak benar kalau kita harus “[membangun] kekuatan
politik alternatif”, walaupun sebenarnya kita harus lebih jelas dengan
apa yang dimaksud kekuatan politik alternatif ini, yakni partai buruh
massa. Akan tetapi, bagaimana kita bisa menyerukan kepada buruh untuk
membangun kekuatan politik mereka sendiri ketika pada saat yang sama
kita serukan kepada mereka untuk menggantungkan harapan pada tokoh
populis borjuis? Mungkin kawan-kawan PRP berpendapat bahwa mendukung
Jokowi dan membangun kekuatan politik alternatif dapat dilakukan
bersandingan tanpa efek negatif pada tujuan yang belakangan ini. Namun
ketika salah satu tugas utama hari ini adalah membangun kesadaran
kemandirian kelas di antara kelas buruh – terutama hari ini ketika mereka baru saja mulai bangkit dan menemui kepercayaan diri kelas mereka – maka mendukung Jokowi tidak membawa kita semakin dekat tugas ini.
Prasangka borjuis kecil yang melanda PRP dapat kita lihat lebih lanjut dari paparannya bahwa “sistem pemilu di Indonesia malah membuat kepentingan rakyat pekerja semakin jauh, karena tidak ada yang mewakili kepentingan rakyat pekerja di dalam negara”
dan “sikap untuk tidak menggunakan hak pilih .... menyebabkan rakyat
pekerja di seluruh Indonesia semakin jauh dari dasar perjuangannya
selama ini, yakni merebut kekuasaan politik dari rejim neoliberalisme.”
Adalah prasangka borjuis kecil kalau rakyat pekerja dapat terwakili
kepentingannya di dalam negara, seakan-akan ada negara “murni” non-kelas
yang bisa mewakili kepentingan berbagai kelas. Negara yang ada hari ini
adalah negara kelas borjuasi, yakni organ penindas kelas borjuasi
terhadap kelas proletar. Bahkan bila ada 100 perwakilan buruh di
dalamnya, ini tidak mengubah karakter fundamental negara borjuasi
tersebut. Perjuangan parlementer kita bukanlah untuk memperjuangkan
perwakilan di dalam pemerintah borjuasi, tetapi untuk meraih telinga
massa luas dengan tujuan mengekspos kebangkrutannya, menumbangkannya dan
membangun negara yang baru di atas puing-puingnya.
Tendensi borjuis kecil di dalam PRP bahkan sudah mulai terlihat dalam
metode organisasinya. Pada pidato politik KP PRP (Pusatkan Pandang
untuk Mematangkan Kontradiksi dalam Borjuasi Kapitalis, 13 Mei 2013),
PRP menyatakan bahwa partai tidak akan mendukung pemenangan salah satu
partai ataupun kandidat caleg. Namun, “anggota PRP yang mendapat kartu
untuk mencoblos pada saat pemilu yang ditetapkan nanti, diwajibkan pergi ke bilik suara untuk mencoblos kandidat yang disukainya sebagai pilihan pribadi.”
Ini adalah metode Menshevik, metode borjuis kecil, dimana “pilihan
pribadi” anggota atau kader diletakkan di atas kedisplinan ideologi
partai. PRP bahkan mengharuskan anggotanya untuk memilih salah
satu partai borjuasi di pemilu nanti, sesuai dengan selera pribadi
masing-masing. Dokumen politik yang menyerukan agar kita “jangan bingung
dengan hajat pemilu” justru membuat yang membacanya menggaruk-garuk
kepala.
Kebingungan pun berlanjut.
Pidato politik tersebut lalu berbicara berputar-putar mengenai
“gerakan kontrol untuk melembagakan kekuasaan rakyat pekerja”. Mungkin
PRP berbicara mengenai rakyat pekerja yang merebut kekuasaan. Tetapi
mengapa tidak mengatakan itu saja: bahwa kelas proletar harus melakukan
perebutan kekuasaan politik dan ekonomi secara revolusioner, bahwa
negara yang ada adalah negara borjuasi yang harus dirobohkan dan negara
yang baru, yakni negara buruh, harus dibangun. Kebingungan ini ditambahi
lagi dengan seruan “meminimalisir kepemilikan pribadi,
sehingga pemerataan dan keadilan dalam tata kepemilikan menjadi niscaya
bagi rakyat pekerja.” Apa yang dimaksud dengan “meminimalisir
kepemilikan pribadi”? Mengapa menggunakan frase-frase yang abstrak, yang
tampaknya bisa diisi dengan konten apapun tergantung dari “pilihan
pribadi” pembaca? Tugas kaum proletar adalah merebut kepemilikan pribadi kaum kapitalis,
pabrik-pabrik mereka, bank-bank mereka, institusi-institusi finansial
mereka, tambang-tambang mereka, tanah-tanah pertanian mereka mereka,
dengan metode revolusioner, dan meletakkan semua alat produksi ini dalam
sistem ekonomi terencana yang demokratis.
Kami harus meminta maaf kepada para pembaca karena telah lari sedikit
ke luar dari topik pembicaraan, yakni masalah pemilu dan tantangannya
bagi kaum revolusioner. Tetapi kami tidak puas dengan analisa dan kritik
dangkal yang hanya dipenuhi slogan-slogan “tolak pemilu borjuasi” atau
kutukan emosional terhadap Kiri-kiri yang mendukung parpol borjuasi dan
tokoh populis borjuis seperti Jokowi. Sesungguhnya, masalah pemilu ini
terkait erat dengan pemahaman revolusioner mengenai watak fundamental
negara borjuasi, tugas-tugas historis kaum proletar berkaitan dengan
negara borjuasi tersebut, serta program ekonomi sosialis yang menjadi
tugas historisnya pula. Semua ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang
lainnya.
Kiri Kita Mengawal Jokowi
Tokoh populis seperti Jokowi lahir karena kebuntuan politik yang
dirasakan oleh rakyat pekerja. Krisis kapitalisme yang tak
tertanggungkan tidak bisa menunggu terbentuknya kepemimpinan
revolusioner yang dapat memimpin rakyat pekerja. Rakyat tidak dapat
menunggu hadirnya Partai Bolsheviknya Lenin. Ketika serikat-serikat
buruh tidak bisa menjadi organisasi perjuangan rakyat luas, ketika
partai-partai buruh massa dengan pemimpin reformis mereka lantas menjadi
halangan terbesar bagi perjuangan rakyat pekerja, rakyat akan
menggunakan saluran-saluran apa pun untuk mengekspresikan kehendak
mereka. Inilah mengapa di tengah keabsenan kepemimpinan revolusioner,
kita temui beragam formasi politik – dari yang kiri sampai yang kanan –
yang mencuat begitu cepat dan sering kali pupus juga dengan kecepatan
yang sama.
Sebut saja gerakan Occupy yang mendunia, gerakan Indignados di
Spanyol, gerakan Idle No More di Kanada, dan gerakan-gerakan spontan
lainnya di berbagai negeri. Sebut saja Obama di AS, lalu Beppe Grillo di
Italia, Marine Le Pen di Prancis dari sisi kanan, dan bahkan munculnya
Chavez adalah ekspresi dari keabsenan kepemimpinan revolusioner di
Venezuela, akibat kegagalan Partai Komunis Venezuela, para pemimpin
serikat buruh, dan kebangkrutan dari taktik “gerilya-isme” yang
mendominasi perpolitikan revolusioner dari 1960an hingga 1980an tidak
hanya di Venezuela tetapi seluruh Amerika Latin. Faktor-faktor historis
inilah yang membuka jalan untuk lahirnya berbagai formasi politik.
“Sejarah mengenal berbagai macam metamorfosa,” ujar Lenin. Di periode
inilah kaum Marxis harus melipatgandakan usaha mereka untuk menanamkan
gagasan Marxis di antara kadernya, agar mereka tidak terseret ke dalam
pusaran badai politik yang akan semakin besar dengan semakin dalamnya
krisis kapitalisme.
Sejumlah pendukung Jokowi menerima bahwa Jokowi mungkin saja akan
mengecewakan harapan rakyat seperti Obama atau banyak tokoh populis
lainnya. Coen Husain Pontoh, salah satu akademisi Marxian kita dalam
tulisannya terakhir (Dukungan Kritis, 31 Maret 2014), lalu menawarkan
konsep “dukungan kritis”, dimana kaum Kiri bisa memberikan dukungan
kritis kepada Jokowi dengan membangun semacam “lingkaran-lingkaran
pendukung Jokowi” untuk “mengalang dukungan elektoral”, sebagai “wadah
pengorganisiran politik” dan “menyebarkan gagasan dan program Jokowi”.
Intinya, kaum Kiri harus memobilisasi rakyat untuk mendukung Jokowi dan
terus memberi tekanan kepada Jokowi agar bergerak ke kiri dan tidak
mengecewakan rakyat. Kalau ini dilakukan, maka Jokowi akan bisa menjadi
Hugo Chavez dan tidak menjadi Obama.
Ini adalah proposisi yang sangat menarik, dengan model siap-jadi yang
sudah terbukti berhasil: Chavez sang populis dikawal oleh
lingkaran-lingkaran Bolivarian, dan lalu menjadi Chavez seperti yang
kita kenal hari ini. Dalam model ini, maka kekeliruan kaum Kiri di AS
adalah mereka tidak cukup giat dalam mendukung Obama. Seandainya mereka
membentuk “lingkaran-lingkaran Obama” dari “struktur pusat hingga
struktur terendah, dari pusat kota hingga ujung desa, dari tingkat
pabrik hingga bantaran sungai”, maka Obama akan menjadi lebih berani dan
tidak bertekuk lutut pada tekanan borjuasi. Kita dihadapkan pada
persimpangan Chavez-Jokowi-Obama, di mana semuanya tergantung pada tekad
Kiri kita untuk memobilisasi rakyat dalam mendukung dan mengawal
seorang populis. Berhasil maka kita akan dapatkan sosok Chavez, gagal
maka Obama. Hanya sampai di sinilah analisa teoretikus Marxis kita, yang
ahistoris dan idealistis. Skemanya sangat sederhana, dan oleh karenanya
hanya cocok untuk anak kecil. Setiap kali ada seorang tokoh populis --
dalam takaran apapun dan dalam konteks historis apapun -- para Marxian
borjuis kecil kita tergopoh-gopoh melemparkan dukungannya.
Perkembangan Chavez dari seorang perwira militer yang tak dikenal
sampai ke sosoknya yang dikenal hari ini jauh lebih panjang dan dalam
daripada perkembangan politik Jokowi. Tidak ada perbandingan sama
sekali. Dari 1982 dia telah terlibat dalam lingkaran perwira progresif
MBR 200. Peristiwa Caracazo 1989 – dimana rakyat yang bangkit melawan
kebijakan pemotongan subsidi Carlos Andrez Perez diremukkan oleh tentara
– adalah satu peristiwa politik yang menentukan. Ini mendorong Chavez
dan para perwira progresif lainnya untuk memimpin pemberontakan
bersenjata pada 1992. Dari sini dia sudah mulai menarik garis yang tegas
yang memisahkannya dari kelas penguasa yang ada. The rest is history.
Hubungan antara Chavez dan gerakan massa terus berkembang secara
dialektis, saling menarik dan mendorong satu sama lain, di mana Chavez
merespon secara positif gerakan massa yang terus terbangun. Di sini kata
kuncinya adalah keterlibatan massa dalam politik, yang menemukan
pengejawantahannya di dalam sosok Chavez.
Tentu Jokowi tidak ada dalam posisi untuk melakukan pemberontakan
bersenjata. Namun pada Getok Monas 2012 dan lagi pada Mogok Nasional
2013, dan serangkaian aksi massa buruh militan yang terjadi dari 2012
hingga 2013, dia punya kesempatan untuk menarik garis kelas yang lebih
jelas, untuk berpihak pada buruh pada momen-momen historis di mana kelas
buruh Indonesia mulai menunjukkan taringnya. Ada gerakan buruh yang
historis, dengan pemogokan nasional yang melibatkan jutaan buruh, yang
terorganisir luas, demokratis dan berakar-rumput. Kita sudah tahu apa
yang dilakukan oleh Jokowi.
Mengenai Obama, dia jelas adalah perwakilan borjuis dari sayap
Demokrat. Coen mengeluh tidak ada usaha lebih lanjut dari rakyat pekerja
Amerika untuk terus mengawal Obama, dan inilah mengapa Obama lalu
berkhianat. Begini tulis Coen:
“Ini juga yang terjadi pada Obama, di mana dukungan rakyat yang masif
berhenti persis ketika ia diumumkan sebagai pemenang pemilu. Setelah
itu politik Washington kembali kepada rutinitasnya.”
Tidak ada yang bisa lebih keliru daripada ini. Secara historis,
serikat-serikat buruh AS dan berbagai organisasi kiri lainnya adalah
“relawan pengawal Partai Demokrat”, yang terus melakukan lobi politik,
pendekatan politik, mobilisasi massa pada para politisi Demokrat dengan
harapan bahwa para politisi ini bisa mewakili kepentingan rakyat
pekerja. Tetapi setiap kali mereka dikecewakan. Harapan dan dukungan
rakyat pekerja AS terhadap Obama terus berlanjut setelah Obama terpilih,
tetapi harapan ini terus dikhianati dalam setiap langkahnya. Coen
mencoba menyalahkan rakyat AS, tetapi dukungan rakyat pekerja AS
terhadap Obama pupus justru karena pengkhianatan Obama, dan bukan
sebaliknya. Dan ini bukan masalah kepribadian Obama, tetapi masalah
basis kelas Obama dan dari mana dia datang. Kita harus memahami sistem
politik borjuasi di AS, yang berakar pada sistem dua-partai: Republiken
dan Demokrat, yang terus berganti tempat sebagai penguasa. Mereka adalah
dua sayap kelas borjuasi: Republiken secara umum mewakili kapitalisme laissez-faire
(kapitalisme dengan pasar bebas yang sebebas-bebasnya, privatisasi,
dll.), dan Demokrat secara umum mewakili kapitalisme berwajah humanis.
Setiap kali rakyat pekerja AS hanya diberi dua pilihan, dan dipaksa
memilih terbaik dari yang terburuk. Tugas utama kaum revolusioner di AS
bukanlah terus memupuk ilusi terhadap Partai Demokrat, tetapi
membebaskan gerakan buruh dari rantai yang mengikat mereka pada Partai
Demokrat.
Selalu ada kemungkinan teoretis kalau Jokowi mungkin akan bergerak
lebih jauh ke kiri daripada yang pernah dimimpikannya sendiri. Sebagai
kaum Marxis kita tidak menampik kemungkinan teoretis tersebut, namun
kita tidak mendasarkan posisi politik dan tugas kita hari ini pada
peruntungan atau perjudian akan kemungkinan teoretis tersebut. Kita akan
mengubah posisi dan taktik politik kita sejalan dengan
perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di hari depan. Kalau Jokowi
bisa pecah dari kelas kapitalis, tentu saja kaum Marxis juga bisa
mengubah posisi dan taktiknya. Seorang revolusioner harus memiliki
pemahaman metode dialektis yang mengambil titik awalnya bukan dari
definisi-definisi, aksioma aksioma atau model-model abstrak yang sudah
jadi dan siap pakai, tetapi dari kenyataan yang hidup dan bergerak,
dalam semua kekonkretannya, dengan semua keberagaman dan
kontradiksi-kontradiksinya.
Sebaliknya, Coen menyajikan kepada kita sebuah model siap-pakai: ada
tokoh populis (yakni disukai oleh rakyat miskin), berikan dan galang
dukungan sebesar-besarnya. Kalau sang tokoh populis berkhianat, ini
karena dukungan rakyat kurang besar. Ulangi lagi di hari depan dengan
tokoh populis lainnya hingga berhasil! Tidak ada analisa kelas yang
dialektis sama sekali.
Mengenai varian-varian politik yang lahir akibat kebuntuan
kapitalisme dan absennya kepemimpinan revolusioner, cukup instruktif
untuk mengutip apa yang ditulis Alan Woods dalam artikelnya “Kaum Marxis
dan Revolusi Venezuela”:
“Faktor yang terpenting dari situasi hari ini adalah absennya sebuah
kepemimpinan Marxis yang kuat dan memiliki otoritas dalam skala dunia.
Tendensi Marxisme sejati telah terlempar ke belakang selama puluhan
tahun dan saat ini hanyalah mewakili minoritas. Tendensi Marxis belumlah
dapat memimpin massa ke kemenangan. Tetapi masalah-masalah yang
dihadapi oleh massa sangatlah akut. Mereka tidak akan menunggu sampai
kita siap memimpin mereka. Mereka akan mencoba dengan berbagai cara
untuk mengubah masyarakat, untuk mencoba mencari jalan keluar dari
kebuntuan ini. Ini terutama benar untuk negara-negara eks-koloni di
Afrika, Asia dan Amerika Latin, dimana tidak mungkin sama sekali untuk
membawa maju masyarakat di atas basis kapitalis.”
“Dengan absennya tendensi Marxis massa, segala macam varian yang unik
dapat terbentuk – dan pada kenyataannya mereka niscaya terbentuk. Kita
harus memiliki pendekatan yang kreatif untuk memahami watak dari
perkembangan semacam ini, dan membedakan di setiap tahapan apa yang
progresif dan apa yang reaksioner.” (Alan Woods, Marxists and the Venezuelan Revolution, 4 Mei 2004)
Yah, sekali lagi, kemampuan membedakan di setiap tahapan apa yang progresif dan apa yang reaksioner, inilah yang dibutuhkan.
Tugas Kita
Cukup menarik untuk membaca karya Martin Suryajaya “Marxisme dan
Percakapan di Tengah Hutan”, yang dengan begitu gamblang menunjukkan
situasi psikologis dari para Marxian kita dan sejumlah Kiri kita hari
ini: yakni frustrasi akan kekecilan mereka, tanpa kepercayaan pada
dirinya sendiri dan gagasannya sendiri, dan mencari-cari jalan pintas.
Baik sekali kalau Martin belakangan ini mencoba turun dari menara gading
intelektualnya dan mulai mengambil posisi politik yang tendensius.
Belum lama yang lalu -- dalam acara bedah buku di kantor PPR sekitar 2
tahun yang lalu -- kawan Martin menolak untuk mengambil posisi politik
dan stratak yang partisan dengan alasan bahwa dia ingin menjadi nara
sumber Marxisme yang objektif dan mampu memberikan masukan intelektual
yang tak bertendensius. Mimpi kekanak-kanakannya mengenai objektivisme
seorang akademis tampaknya sudah buyar, dan kita bisa melihat dengan
jelas keterbatasan dari Marxisme Akademis ketika dihadapkan dengan
kenyataan realitas yang hidup.
Tulisan Martin bisa menjadi pedoman “What is not to be done” (apa
yang tidak seharusnya dilakukan) bagi kaum Marxis revolusioner di
Indonesia. Mari pertama-tama kita periksa situasi Kiri kita secara umum,
dan situasi Marxisme Indonesia khususnya. Kiri kita tidak pernah
kekurangan aktivis yang gemar “keluar dari hutan” untuk turba
mengorganisir massa. Justru kecenderungan utama dari gerakan Kiri kita
adalah super-aktivisme. Bahkan di antara mereka yang memiliki
organisasi kader, kita harus akui – dan mereka akan akui sendiri – bahwa
tugas membangun organisasi kader tersebut sering kali terbengkalai.
Kita berangkat dari preposisi yang sudah terbukti di dalam sejarah –
secara positif oleh kemenangan Bolshevik Rusia dan secara negatif oleh
kegagalan atau deformasi dari banyak revolusi lainnya – bahwa krisis
kemanusiaan hari ini disebabkan oleh krisis kepemimpinan proletar.
Rakyat pekerja telah lagi dan lagi bergerak dengan berani, tetapi
kepemimpinan mereka – kaum reformis dan Stalinis terutama, dan
mereka-mereka yang menyebut diri mereka sosialis atau Marxis tapi
sesungguhnya dipenuhi prasangka-prasangka borjuis kecil – tidak mampu
memberikan jalan keluar revolusioner dan justru menjadi batu penghalang
terbesar bagi runtuhnya kapitalisme.
Keruntuhan Uni Soviet pada 1989-1991 membuka pintu dam bagi ofensif
ideologis borjuis. Gagasan Marxisme revolusioner, yakni Bolshevisme,
diserang dari berbagai arah: dari kanan maupun dari kiri. Yang dari Kiri
ini yang paling berbahaya, karena mereka menawarkan alternatif
“revolusioner” terhadap apa yang mereka sebut kegagalan Bolshevisme.
Mereka tawarkan: “Marxisme Baru” dengan berbagai varian; “sosialisme
abad ke-21” yang bisa diisi apapun sesuai dengan prasangka yang
termuktahir hari ini; dan tren-tren terbaru. Kekalahan-kekalahan politik
yang besar – dan periode 1980an hingga 90an merupakan satu periode
tersebut – selalu melahirkan kekacauan politik dan ideologi di dalam
barisan kaum revolusioner. Trotsky menulis:
“Kekalahan-kekalahan politik yang besar mendorong pertimbangan ulang
kembali nilai-nilai yang ada, dan biasanya ini terjadi dalam dua arah.
Di satu pihak, kaum pelopor sejati, yang diperkaya oleh pengalaman
kekalahan, dengan gigih mempertahankan warisan pemikiran revolusioner.
Berdasarkan itu kaum pelopor berupaya mendidik kader-kader baru demi
perjuangan massa yang akan datang. Di lain pihak, para rutinis,
sentris, dan orang-orang yang tidak memiliki komitmen, yang tercekam
oleh kekalahan, berusaha sehebat-hebatnya untuk menghancurkan otoritas
tradisi revolusioner dan bergerak mundur untuk mencari sebuah “Dunia
Baru.” (Leon Trotsky. “Stalinisme dan Bolshevisme”, 1937)
Tugas kita saat itu dan masih pada hari ini adalah “mempertahankan
warisan pemikiran revolusioner”. Kita kadang-kadang menggunakan kata
Bolshevisme untuk membedakan diri kita dari ujaran “Marxisme” yang suka
dipelintir oleh berbagai pihak dan diisi dengan berbagai prasangka. Kita
tidak malu untuk mengatakan bahwa kita mendasarkan diri kita pada
Bolshevisme, yakni Marxisme “Lama” yang berdasarkan gagasan Marx,
Engels, Lenin dan Trotsky, yang menemukan ekspresi tertingginya pada
kemenangan Revolusi Oktober 1917. Beberapa tahun yang lalu, Martin
mencemooh Militan yang katanya berkutat “tak lebih dari Rusia dan Rusia,
seabad yang lalu” dan menjunjung tinggi Ragil (sang Tikus Merah hari
ini) yang katanya berpijak pada “kenyataan” dan pada “realisme
materialis”. Hari ini Martin dan Ragil sudah berpisah jalan, dimana yang
belakangan mengutuk para pendukung Jokowi sebagai tak ubahnya
“pelacur”. Entah siapa sekarang yang berpijak pada “realisme
materialis”, Martin atau Ragil.
Pendek kata, tugas kaum Marxis revolusioner hari ini – di Indonesia
dan juga seluruh dunia – masihlah dalam tahap pembangunan organisasi
kader Marxis, menggali kembali gagasan Marxisme dan tradisi Bolshevisme
yang sudah hilang. Ini adalah tugas yang selalu terbengkalai karena para
aktivis kita sibuk beraktivis ria, melompat dari satu kampanye ke
kampanye yang lain, atau keluar dari kapal yang kecil dan melompat ke
kapal yang lebih besar seperti Budiman dan Dita (keluar dari hutan dalam
kosakata Martin). Pembangunan ideologi dan pemikiran Marxis dilakukan
ala kadarnya. Indikatornya jelas: berapa jumlah terbitan koran dari
organisasi-organisasi kiri yang reguler? Berapa jumlah terbitan teoritik
yang reguler? Seberapa besar jumlah penerbitan buku-buku teori Marxis
oleh kiri? Tugas-tugas teoritik ini malah sering jatuh ke tangan kaum
akademisi dan bukannya datang dari dalam gerakan itu sendiri.
Jadi masalahnya bukan agar Kiri-kiri kita keluar dari hutan, tetapi apa yang dilakukan di hutan sana selama ini?
Kaum Marxis memang harus keluar dan bersentuhan dengan massa, tetapi
untuk tujuan apa? Kalau hanya karena “rindu hingar bingar politik”
seperti yang diutarakan oleh Martin lewat alter-egonya Joko,
ini namanya oportunisme – atau lebih buruk lagi, kecentilan kaum
intelektual untuk turba. Adalah ABC Marxisme kalau kaum Marxis harus
berorientasi ke massa buruh. Tetapi masalah terutama adalah bahwa
gerakan membutuhkan sebuah kepemimpinan Marxis, dan maka dari itu tujuan
utama kita hari ini ketika bersentuhan dengan massa buruh adalah untuk
membangun organisasi kader Marxis dengan merekrut elemen-elemen terbaik
darinya. Ini adalah perjuangan yang dimulai dengan memenangkan satu dua
kader. Satu-satunya cara untuk membangun gerakan adalah dengan membangun
partai Marxis, dan setiap Marxis yang serius tidak perlu malu-malu dan
menutup-nutupi tujuannya ini.
Martin terburu-buru ingin keluar dari hutan, untuk melemparkan
dirinya ke hingar-bingar politik, ke samudra biru yang lebih luas.
Tetapi di dalam hutan ini – yakni hutan gerakan Kiri – Marxisme masihlah
pemikiran minoritas. Di dalam Kiri yang kecil ini Marxisme masihlah
minoritas kecil dan belum menemukan pijakannya yang kuat.
Martin merasa frustrasi kenapa Marxisme Indonesia masih kecil-kecil
saja. Dia mencari-cari apa yang salah dengannya, ketika sebenarnya ia
cukup bercermin saja. Apakah dia sudah memulai tugas membangun partai
kader Marxis? Apakah kaum Marxis Indonesia – atau yang mengaku Marxis
dalam berbagai takaran – sudah memahami metode Bolshevisme dalam
membangun Partai Marxis? Tidak memahami sebab musabab yang sebenarnya
mengapa Marxisme Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan, Martin
dan Kiri-kiri sepertinya lantas mencoba mencari jalan pintas: mungkin
kalau kita menceburkan diri ke “hingar bingar politik” yang terbaru kita
akan bisa “memperbesar gerakan”?
Kita harus punya sense of proportion, yakni paham akan kekuatan diri sendiri dan situasi di sekitar kita, dan apa saja yang bisa dicapai.
Kaum Marxis Indonesia masihlah minoritas kecil dan belum punya kekuatan
untuk memenangkan massa luas. Mimpi utopis untuk “mendesakkan
agenda-agenda Kiri” ke massa hanya akan berujung pada oportunisme.
Tetapi di dalam gerakan kiri yang lebih luas – dimana kaum Marxis adalah
minoritas di dalamnya – kaum Marxis bisa memenangkan elemen-elemen yang
lebih maju ke dalam program dan organisasinya. Luasnya gerakan kiri
tidak bisa diremehkan; mungkin ada sepuluh ribu aktivis dari berbagai
spektrum politik kiri; dan lalu lewat serikat-serikat buruh, tani,
organ-organ massa lainnya, mungkin ada seratus ribu massa buruh, tani,
dan kaum muda yang terorganisir. Ini masihlah kecil untuk bisa
memenangkan revolusi di negeri yang berpenduduk 250 juta jiwa, tetapi
adalah medan yang luas bagi kaum Marxis yang masih minoritas, yang
jumlahnya paling-paling 100an.
Pada akhirnya, jalan menuju massa niscaya harus melewati pembentukan
dan konsolidasi sebuah organisasi kader yang solid. Dengan merekrut satu
dua ke barisan Marxisme, kita sedang mempersiapkan jalan untuk
memenangkan ratusan dan ribuan di hari depannya.
Bagaimana bekerja di tengah “populisme”
Akan menjadi kesalahan yang sama buruknya juga kalau atas nama
membangun Partai Marxis yang independen kita lantas menolak secara
prinsipil semua bentuk pendukungan kepada tokoh-tokoh populis, kalau
kita lantas mengutuk semua varian politik yang berkembang tidak sesuai
dengan skema kita yang kaku. Misalkan figur seperti Hugo Chavez, atau
Evo Morales. Militan dan IMT (International Marxist Tendency) memberikan
dukungannya kepada Hugo Chavez, tetapi bukan dengan mimpi utopis untuk
“mendesakkan agenda-agenda Kiri” kepada rakyat Venezuela dan “memberikan
dukungan kritis pada sosok populis [Chavez] untuk melaksanakan agenda tersebut.” Kita mendukung Chavez untuk bisa meraih telinga lapisan rakyat yang termaju dan memenangkan mereka ke gagasan dan barisan Marxis.
Proses revolusi Venezuela telah menarik jutaan massa ke dalam arena
politik untuk pertama kalinya. Banyak kaum buruh dan kaum muda yang
terradikalisasi dan terdorong ke jalan revolusi, dan tidak hanya di
Venezuela tetapi bahkan di seluruh dunia. Mereka tertarik pada proses
revolusi yang terjadi di Venezuela dan sosok yang mengejawantahkan
proses revolusi tersebut, Hugo Chavez. Mengutuk Chavez sebagai populis
borjuis, seperti yang dilakukan banyak sekte kiri, berarti memotong
akses kita ke kaum muda yang terradikalisasi ini dan membiarkan mereka
jadi bulan-bulanan berbagai gagasan sosialisme setengah-matang dan
bahkan terombang-ambing oleh kebingungan Chavez sendiri.
Kita bela Revolusi Venezuela sambil terus propagandakan
langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukannya untuk bisa menang,
bukan untuk meyakinkan Chavez atau massa luas yang mana kita masih
terlalu kecil untuk melakukannya, tetapi untuk memenangkan satu dua –
yah, satu dua – lapisan termaju ke gagasan dan barisan Marxisme.
Mengapa? Karena kemenangan revolusi Venezuela yang sesungguhnya hanya
bisa tercapai kalau ada Partai Bolshevik di Venezuela, dan pelajaran
dari revolusi Venezuela telah mengkonfirmasikan ini. Kendati heroisme
Chavez dan rakyat pekerja Venezuela selama 15 tahun terakhir, revolusi
Venezuela terbentur tembok dan mengalami kebuntuan. Maka dari itu kita
harus gunakan cara apapun untuk membangun Partai Bolshevik ini, dengan
fleksibilitas dalam taktik dan keteguhan dalam prinsip karena sejarah
tidak selalu bermurah hati dan memberikan jalan yang mudah dan
sederhana.
Penutup
Pada masa pemilu seperti sekarang ini, ada kelatahan di antara Kiri
kita untuk melakukan sesuatu. “Kita harus melakukan sesuatu sekarang
juga!” ujar para aktivis kita. Tekanan untuk melakukan sesuatu yang
konkret dan praktis sekarang juga adalah tekanan yang biasanya mendorong
para aktivis kita untuk menjadi pragmatis. Mari kita berhenti sejenak
dari melakukan sesuatu, dan berpikir dalam mengenai apa yang telah kita
lakukan di masa lalu, apa yang sedang kita lakukan, dan apa yang perlu
kita lakukan.
Pemilu ini justru harus dijadikan momentum untuk mengkonsolidasikan
gagasan revolusioner, karena pemilu kali ini menyodorkan berbagai
masalah yang masih perlu kita jawab: masalah Negara, masalah fasisme,
masalah populisme, masalah pembangunan Partai Marxis, masalah penyeruan
Partai Buruh, dsbnya. Kita tidak boleh puas hanya dengan posisi menolak
pemilu, dengan alasan-alasan dangkal dan slogan-slogan pendek emosional.
Kita harus bisa menjawab semua masalah yang disodorkan oleh pemilu ini,
merespon secara kritis berbagai posisi menolak dan mendukung pemilu
yang ada di antara Kiri, dan menganalisa peristiwa-peristiwa politik
sebagai proses yang hidup.
Kebangkitan gerakan buruh dalam 2 tahun terakhir ini adalah faktor
penting yang harus diikutsertakan dalam analisa kita mengenai pemilu
ini. Gelombang aksi buruh yang melibatkan jutaan buruh dalam berbagai
aksi massa – mogok nasional, mogok daerah, mogok lokal, sweeping dan
grebek pabrik, aksi May Day, melawan preman, aksi menentang kenaikan
BBM, vergadering raksasa – merupakan peristiwa yang lebih
penting daripada euforia Jokowi dan pemilu kali ini. Di sini kita
saksikan massa buruh yang terorganisir, yang aktif dan sadar kelas.
Mereka bukan massa yang cair seperti massa pendukung Jokowi atau massa
pendukung parpol. Di antara massa buruh inilah terletak masa depan
bangsa Indonesia.
Lewat pengalaman perjuangan mereka, buruh mulai beranjak ke kesadaran
bahwa mereka harus keluar dari gerbang pabrik dan berangkat ke gerbang
parlemen. Namun karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner di dalam
gerakan buruh ini, semangat berpolitik ini malah disalurkan lewat
parpol-parpol borjuasi yang ada dan bukannya seruan dan langkah menuju
pembentukan partai massa buruh. Berangkat dari situasi objektif ini,
maka tugas propaganda utama dari kaum Kiri Revolusioner adalah
mempropagandakan secara sabar kepada massa buruh yang mulai
terbangunkan ini mengenai perlunya pembentukan partai buruh massa. Lewat
pengalaman pemilu ini, buruh akan belajar bagaimana mereka tidak akan
bisa meraih kemandirian kelas mereka selama mereka terus membonceng
parpol borjuasi. Kita harus dengan sabar menjelaskannya, dengan metode mild in manner, bold in content (santun dalam penyampaian, tegas dalam isi).
Kawan-kawan yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif telah
berjalan ke arah yang tepat dengan menyerukan perlunya kehadiran partai
alternatif, namun kita harus lebih konkret. Partai alternatif ini adalah
partai massa buruh, yang berbasiskan terutama pada serikat-serikat
massa buruh dari berbagai warna dan merangkul seluruh lapisan rakyat
pekerja.
Terlebih lagi, partai buruh massa hanya akan terbentuk lewat
peristiwa-peristiwa politik besar. Sejarah telah membuktikan ini. Partai
buruh massa tidak akan terbentuk serta-merta lewat seruan sejumlah
organisasi Kiri kecil, atau bahkan lewat merger dari sejumlah organisasi
Kiri yang kecil. Partai massa dengan akar yang dalam hanya bisa
terbentuk ketika ada mayoritas massa yang mulai beranjak ke panggung
politik, yakni periode di mana rakyat pekerja bergejolak. Partai Buruh
Brazil misalnya terbentuk pada tahun 1980an, dimana pada masa itu ada
gelombang pemogokan buruh dan kebangkitan massa luas dalam melawan rejim
militer.
Yang dapat dan perlu dilakukan oleh organisasi-organisasi Marxis
adalah menyiapkan simpul-simpul revolusioner di antara kaum proletar,
yang merupakan pelopor dari seluruh lapisan rakyat tertindas. Kalau akan
ada partai massa yang terbentuk, ini akan lewat kepemimpinan kaum
proletar, yang lebih terorganisir dan sadar kelas. Dengan cara
demikianlah kaum Marxis akan mulai membangun akar yang dalam di antara
kaum pelopor proletar. Tugas kaum Marxis revolusioner selalu adalah
tugas persiapan untuk menghadapi momen-momen politik yang tiba. Kita
tidak bisa menciptakan revolusi atau mendorongnya secara artifisial.
Revolusi akan datang, dengan atau tanpa intervensi kita, karena ia
diciptakan oleh kontradiksi kapitalisme itu sendiri.
Akan tetapi kita juga harus mengingatkan diri kita bahwa partai buruh
massa sendiri bukanlah obat ajaib yang akan menyelesaikan segala
masalah. Karena karakter massanya, maka partai buruh juga akan mencakup
elemen-elemen reformis, konservatif dan birokratis yang ada di dalam
gerakan buruh, dan juga prasangka-prasangka dari rakyat pekerja luas. Di
dalam partai buruh akan ada pertarungan antar berbagai sayap, dimana di
dalamnya kaum Marxis revolusioner dengan partainya (atau tendensinya)
akan bertarung untuk memenangkan pengaruh dan kepemimpinan buruh. Di
sinilah menjadi teramat penting untuk menyiapkan partai atau tendensi
Marxis yang kuat yang akan bertarung di dalam organisasi-organisasi
massa buruh, dari serikat buruh hingga partai buruh.
7 April 2014
" />
" />
" />
" />
" />
" />
" />
" />
" />
" />
" />
" />
Home »
Perspektif
» Perspektif Marxisme Terhadap Pilpres 2014
Perspektif Marxisme Terhadap Pilpres 2014
Posted by Redaksi
Posted on 13.25
with No comments
0 komentar:
Posting Komentar