Sumber : Google Image |
Media massa semakin mengobarkan akhir dari feminisme sebagai upaya untuk memukul
mundur hak perempuan yang telah dicapai dalam 25 tahun terakhir. Serangan terhadap hak
perempuan untuk mengontrol fertilitas dan tubuhnya, upah yang tidak setara, kekerasan
dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, kurangnya akses terhadap pekerjaan layak dan
praktek diskriminasi yang terus-menerus, semuanya ini merupakan bagian dari serangan
balasan terhadap gerakan perempuan.
Feminisme sendiri juga terfragmentasi tentang bagaimana bergerak maju – apakah melawan
dan membela diri dari serangan ini atau, yang paling buruk, membiarkan capaian minoritas
perempuan yang memiliki hak istimewa tetap dipertahankan dengan mengorbankan massa
besar perempuan lainnya.
Sebagian feminis berjalan bersama dengan kaum sayap-kanan moralis yang mengadvokasi
peranan perempuan tradisional sebagai istri dan ibu rumah tangga dengan menuntut lebih
banyak sensor terhadap pornografi dan penindasan terhadap teknologi reproduktif “yang
dikontrol laki-laki.”
Yang lain memilih, bukan untuk gerakan perempuan demokratik yang bertujuan untuk
merubah masyarakat secara kolektif, namun memilih feminisme yang berdasarkan hak
individual, pencapaian individual dan solusi individual. Membuat lebih banyak perempuan
masuk kedalam posisi “pembuat keputusan” di pemerintahan dan jajaran birokrasi, menurut
mereka adalah cara satu-satunya untuk mencapai kesetaraan gender.
Penolakan terhadap perjuangan kolektif, organisasi dan berkampanye ini dibawa satu langkah
lebih jauh lagi oleh apa yang disebut sebagai feminisme “gelombang ketiga”, feminisme “do-
it yourself-lakukan sendiri”, yang sangat dipengaruhi oleh postmodernisme dan
menggantikan semua pengalaman umum, perasaan solidaritas dan aksi bersama di antara
perempuan dengan relativisme dan individualisme absolut.
Buku ini menyuarakan strategi yang sangat berbeda. Buku ini menilai keadaan hak
perempuan dan feminisme di seluruh dunia hari ini – di negeri-negeri Barat yang
terindustrialisasi, Dunia Ketiga dan bekas blok Uni Soviet, serta Kuba dan Amerika Latin –
dengan menjelaskan penindasan perempuan dari perspektif Marxisme.
Sebagai sebuah resolusi Democratic Socialist Party-Partai Sosialis Demokratik (DSP), buku
ini mengambil pengalaman kaya aktivisme DSP di dalam gerakan perempuan sejak
pendiriannya di Australia pada awal tahun 1970an. Buku ini menggambarkan sebuah strategi
untuk melindungi capaian-capaian yang telah diperjuangkan dan meluaskan perjuangan untuk
membangun sebuah gerakan perempuan yang inklusif – yang bisa memenangkan
pembebasan untuk semua kaum perempuan.
2. Mana Tradisi Marxis Sejati: John Molyneux
Ini bukan sekadar bahwa orang yang mengaku Marxis memiliki pendapat berbeda mengenai
masalah-masalah tertentu (misalnya tentang kecenderungan turunnya laju profit, atau karakter
kelas Uni Soviet): yang wajar dalam setiap gerakan demokratik yang hidup. Persoalannya
yaitu bahwa kaum “Marxis” sering saling memenjarakan, memerangi serta membunuh, dan
yang lebih mendasar adalah, bahwa dalam semua konflik sosial penting di masa ini, ada
banyak dari mereka yang mengklaim diri sebagai “Marxis” mengambil sikap yang
bertentangan dengan barikade revolusioner. Misalnya antara Lenin dan Plekhanov [seorang
tokoh sosial-demokrat] di Rusia tahun 1917, Kautsky dan Luxemburg di tahun 1919, Partai
Komunis dan Partai Revolusioner POUM di Spanyol di masa pemberontakan di Barcelona
tahun 1936; dan di Eropa Timur (Hongaria tahun 1956 dan Polandia di tahun 1981) masa
ambruknya blok Soviet. Kontradiksi inilah yang mendorong kita untuk melontarkan
pertanyaan tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai Marxisme.
Feminisme dan Sosialisme, harga Rp 25.000,- diskon 40% menjadi Rp 15.000,-
Mana Tradisi Marxis Sejati? harga Rp 20.000,- diskon 40% menjadi Rp 12.000,-
Berlaku hingga Kamis 26 Desember 2015.
Untuk pemesanan hubungi Bintang Nusantara.
0 komentar:
Posting Komentar